🍁
Garis waktu ; suatu saat semuanya juga akan paham.
____________
"Mah please lah Mah, stop it. Mereka juga sebenarnya punya jalan nya sendiri-sendiri, mereka udah dewasa enggak perlu segitunya Mama atur hidup nya, mereka bukan anak-anak lagi." Entahlah sudah berapa kali Shani — anak sulung dari keluarga Arsyanendra ini berbicara hanya untuk membantu mengutarakan apa yang selama ini menjadi beban untuk adik-adiknya, yang mungkin tak pernah di keluarkan langsung karena rasa segan dan kata hormat yang malah membuat semuanya merasa tersakiti dan tersiksa, terlebih Vito, adik sulungnya yang lebih memilih pergi dibandingkan terus mendebatkan hal yang sama dengan sang ibunda. Shani — dia merasa sudah banyak yang dikorbankan hanya karena egoisme sang Mamah yang tak bisa dengan mudah dimengerti, tapi Winda seolah tak ingin tau lebih jauh soal perasaan masing-masing. Sebab, Winda — sang Mamah barangkali harusnya sudah mulai jengah dengan penuturan yang hanya berisikan sebuah desakan semata,
Wanita paruh baya itu menarik nafasnya dalam, menatap Shani yang kini berdiri di hadapannya dengan segala tuntutan yang dia bawa di hadapannya untuk kesekian kali, jika ditanya sungguh Winda jengah. Tapi satu hal hang menjadi fakta tersendiri, yaitu ; dia mempunyai anak-anak yang sama kerasnya. "Kamu ngerti lah Shan maksud Mamah tuh gimana, enggak mungkin Mamah asal-asalan nyuruh Vito nikahin Mira, ya kan?" Ucap Winda dengan tegasnya, Shani menarik nafasnya sesekali tangannya ia gunakan untuk memijat kepalanya yang mulai terasa begitu pening. Ia paham betul, bahwasanya Winda — sang Mamah nya ini typekal yang sangat keras kepala dengan segala pendirian juga ketentuannya, apapun Shani sangat paham ini juga akan ditentang oleh Winda.
"Tapi itu asal-asalan bagi mereka. Mamah mikirin perasaan mereka enggak sih? Vito juga sekarang masih pacaran sama Chika."
"Justru itu, karena Chika sekarang kemungkinan umurnya enggak pan—"
"Mah!" Keduanya menoleh menatap Anin—anak keduanya dengan sorot pandangannya yang muak dengan tingkah sang Mamah. Shani menggelengkan kepalanya pelan kala Anin mendekat dengan berbagai perasaan yang ia yakin sudah dia bawa sebagai bekal, namun Anin perempuan 27 tahun itu rasanya enggan untuk melihat isyarat dari sang Kakak, dengan raut wajah yang merah benar-benar tergambarkan bahwa dia sudah berada dititik marah dan tak akan kembali diam.
"Nin, enggak usah." Lirih Shani, namun sekali lagi perempuan itu enggan mendengar nya.
Anin berdiri menatap lekat Winda yang kini mengernyitkan dahinya menatap tingkah Anin. "Kenapa sayang?" Tanya Winda dengan amat sangat lembut. Ya, barangkali Winda memang selalu bersikap seperti itu. Namun, tak disambut baik oleh Anin, bahkan uluran tangan Winda yang biasanya terasa begitu hangat Anin hindari begitu saja dengan sorot mata yang mulai berkaca-kaca. Shani berdecak kesal menyadari apa yang akan terjadi setelahnya.
"Are you oke?"
"Harusnya Mamah tanya sama diri Mamah sendiri!"
"Loh, kamu kenapa? Dateng-dateng teriak, sekarang marah-marah. Ada apa?" Lagi, Winda mempertanyakan sesuatu yang bagi Anin seharusnya sang Mamah paham. Anin menggelengkan kepalanya, "Mau mamah apa sih mah, hem? Enggak cukup bikin kita harus ada ditangan Mamah terus? Enggak cukup aku sama ci Shani yang jadi korban keegoisan Mamah? Iya mah?!" Seru Anin keras, bahkan tangan Shani pun kembali dia tepis begitu saja seolah ia harus menyelesaikan ini dengan Winda — sang Mamah.
"Mamah emang enggak pernah mikirin perasaan anak-anak Mamah. Mamah lupa, ada dua anak Mamah yang terpaksa ikutin apa mau Mamah dengan kedok bahagia? Ci Shani yang harus putus dari Gracio dan nikah sama Vino, aku yang harus ninggalin Marcel dan nikah sama Boby, sekarang? Sekarang Mamah masih mau ambil keputusan buat Vito? Hati Mamah dimana sin Mah?" Tangan nya Anin gunakan untuk menghapus kasar air matanya yang jatuh. Sebenarnya — benar apa yang dimaksud sang Mamah selalu mendatangkan kebaikan, tapi jika dipikir-pikir kebaikan yang dimaksudkan itu selalu memberikan celah untuk merasakan sakit. Jika membayangkan beberapa tahun kebelakang Anin tentu saja merasa muak, meskipun benat bahwa ; baik Boby maupun Vino benar-benar memberikan kebahagiaan yang dimaksud oleh Winda. Tapi, rasanya tetap saja sakit jika harus mengingatnya kembali.
