Memories

1.3K 135 4
                                    

Naruto, Hinata, NaruHina (c) faihyuu

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Rated T

Warning(s): Canon, AU, Miss Typo(s), OOC (sebisa mungkin untuk dibuat IC), dsb.

Untuk #NHMonth2021.

Penulis tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari cerita ini selain kepuasan batin.

• Memories—Musim Dingin •

(Canon)

|•|•|•|•|

Salju masih turun di pagi ini dengan setianya. Ketika dipandang, sebuah kenangan menciumi pria itu dengan mesra. Kilatan memori yang mampu membuatnya terpana.

Putih, dingin, jalanan nan licin—begitu yang diingatnya.

Ada sesosok gadis kecil di sana. Kecil, berpipi bakpao kemerahan—dan yang paling familier, mahkotanya nan nila.

Nila.

"Hinata,"

Si wanita itu memiliki mahkota nila, kini sebahu agar leluasa menjaga para jiwa-jiwa kecil milik mereka yang lain, menoleh dengan tanya. Kecubung pucat itu bak rembulan, bulat—tampak besar. Kirana cantik bertemu dengan langit siang. Rajutan syalnya terhenti. Merah, merah—bagai warna titik penting kehidupan.

"Jikalau aku tak menyelamatkanmu hari itu, apakah kau akan tetap mencintaiku?"

Belasan musim dingin yang lalu, Naruto memang pernah menolong seorang gadis kecil. Menyelamatkan si mungil nila hangat dengan nama pembawa banyak harap.

Pertama, ingatan menghantui tentang menemukan gadis kecil itu meringkuk menangis sendiri di tengah malam nan sepi. Malam yang terkadang dimimpikan Naruto kecil untuk menjadi hangat di dalam sebuah pelukan juga kecupan penuh cinta dari siapa pun itu. Kedua, si pemuda menemukannya saat sekelompok anak-anak kurang mampu menjaga tata bahasa menghina rembulan malam yang unik.

Hening menyelimuti ruang. Namun hanya sekejap—lima kedipan mata.

"Aku tidak tahu, tapi kurasa aku akan tetap mencintaimu."

"Mengapa?"

Siluet baskara yang menantang semesta menghantui. Teriakan penuh semangat dan usaha keras nan tak mengkhianati.

Pelangi mengurva di tubir si wanita.

"Ada banyak hal," Hinata kembali merajut. Bukan hanya syal, tetapi juga hatinya. Seakan-akan pula wanita itu menyadari sesuatu. "P-pokoknya, karena Naruto-kun adalah Naruto-kun."

"Hee?" Si matahari tertawa kecil melihat setitik rona bak senja merah di pipi putih. "Kau memerah!"

"I-itu..."

Naruto mendekat, menghadiahkan sebuah kecupan manis di pipi. "Ekor kita sudah ada dua, kau tahu?"

Pipi yang masih bak persik agak menggembung. Dengan gemas pula pipi berkumis itu dicubit mesra oleh sang wanita.

Tawa makin membara.

Akhir dari interaksi mereka, safir kembali mengintip. Langit tak lagi dituruni butir-butir salju.

"Kurasa aku ingin sedikit pemanasan, sekaligus membersihkan halaman belakang."

Sebelum bangkit pun, seperti tak puas—dikecup lagi dengan singkat pipi gembil itu. Kembali tawa menghiasi.

Tenang. Hening menguasai, tetapi entah mengapa—ada rasa nyaman. Apalagi saat tahu, di dalam rumah nan hangat ini; ada kehangatan senior yang sedang merajut syal untuknya; ada pula ekor-ekor kecil nan bermain bersama di dalam ruang mereka. Sebenarnya, mereka lebih dari ekor; mereka bintang. Mereka harapan. Mereka cahaya bagi Naruto dan Hinata.

Naruto menggerakkan tubuhnya, tak takut akan licin. Bagaimanapun, hidupnya dikenal sebagai seorang ninja. Menjaga keseimbangan menjadi syarat agar dapat senantiasa bernyawa.

"Tou-chan!"

"Too-chan!"

"Ayo, bermain bersama kami, ttebasa!"

Langkah-langkah kaki kecil menyapa. Begitu pula dengan suara-suara menggemaskan.

Berat terasa di kedua kakinya. Menimbulkan tawa yang dirasa selalu hadir sejak tadi. Ada manik yang serupa, bahkan lebih dalam menatapnya.

Mereka terjatuh di atas salju lembut. Tertawa dan saling memeluk.

"Hei, jangan keluar rumah tanpa pakai alas kaki." Suara lembut bagai bulu, mengandung kehangatan pula terdengar.

Hangat, hangat, hangat. Begitulah yang pria itu pikirkan. Menjadi memori baru tersendiri di atas salju dan sebuah dekapan hangat.

Naruto, Hinata, NaruHinaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora