Misunderstanding and The Proposal

351 63 0
                                    

Naruto, Hinata, NaruHina (c) faihyuu

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Rated T

Warning(s): Canon, AU, Miss Typo(s), OOC (sebisa mungkin untuk dibuat IC), dsb.

Untuk #NHMonth2021.

Penulis tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari cerita ini selain kepuasan batin.

• Misunderstanding and The Proposal—Membangun Galaksi nan Bercahaya •

(Canon)

|•|•|•|•|

Setiap keping bak salju ingatan tentang malam itu selalu berhasil mencumbui keseluruhan memori milik pria baskara—si Uzumaki. Ketika lembayung malam cerah diramaikan bintang, pun rembulan yang bersinar menggantikan mentari. Dengan sesosok gadis yang paling dicintai. Pemuda itu benar-benar telah menyerahkan segala untuk Hinata, terutama hati.

Namun, di balik seluruh kebahagiaan hari itu, terdapat setitik kesalahpahaman nan juga selalu menjadi memori. Tidak besar, memang—tetapi selalu membuat senyum konyol keduanya terpatri.

Kala itu baskara turun dari takhta angkasa bumi-manusia; Naruto baru saja pulang dari misi bersama timnya ketika senja tiba. Sebuah determinasi dari segala keputusan dalam hari demi harinya pun hadir pula. Keinginan pemuda mana pun di dunia untuk meminang gadis nan dicinta.

Melamar Hinata. Mengubah Hyuuga menjadi Uzumaki, menjadi belahan jiwanya.

Mentari memiliki janji temu dengan bulan malam ini; setelah segala macam sepak terjang misi dan pribadi, Naruto datang ke sebuah tempat bertemu dengan gadisnya. Segala puji Sang Kuasa pula, pemuda itu merasa tertampan di Konoha—membersihkan diri lebih awal dari rutinitas, mahkota terang disisir rapi, dan diam-diam mengenakan wewangian sitrus juga.

Tak sia-sia segala upaya sang pemuda—rupa Hinata yang ditinggalkannya baru seminggu tampak makin cantik, manis, hangat, dan bercahaya.

Makin gugup pula si pemuda.

Pertama, mengajak gadis rembulannya menjamu rasa lapar; hanya ramen dari kios paling tercinta. Kedua, mengajak Hinata menikmati dersik dan memanjakan diri akan keindahan malam berbintang pada angkasa Konoha.

Selanjutnya—

"Hinata,"

Si wanita nila bak personifikasi sempurna malam ini menoleh dengan kurva pelangi di bibirnya.

"I-itu—" Rasanya dibungkam oleh awang-awang; ruang; juga detak jantung nan hampir keluar dari dada. Begitu pula ketika menyadari lontaran kata yang akan disuarakan baru dirasa janggal, memalukan, dan agak tolol baginya. Lontaran kata yang telah dilatih sejak beberapa malam dilaluinya. "A-aku—"

"Ada apa, Naruto-kun?"

"B-begini Putri Bulan, bagaimana kalau kita p-putus—" Naruto tak tahan untuk tidak meleleh, raganya melemas. Jiwanya berteriak, tetapi sudah terlanjur terucap. "A-aku ingin kita p-putus."

Rasanya—angkasa; realita; masa; dan segala sedang memberi penghakiman pada si pemuda.

Perlahan tetapi pasti, kurva bibir gadisnya memudar. Kembali hadir memang, tetapi dengan manik kecubung nan semakin berembun. "B-baiklah kalau i-itu keputusanmu."

Sial, sial. Terkutuk di neraka Sai dan segala majalah berbau romantismenya! Atau segala gombalan milik sang guru nan didasarkan dari novel seksualitas! Pun Sakura yang hanya menyeringai saja ketika Naruto memberitahu niat juga maksud selama puluhan kencannya dengan Hinata.

Gadis itu menatap kadru, jerau, dan hijau-hijau tanah nan dipijaki mereka. "A-aku—kurasa sudah agak malam. Uhm, aku i-ingin kembali terlebih dahulu—"

Gila. Gila.

"—aku, aku menerima segala keputusan Naruto-kun. Kalau Naruto-kun merasa inilah yang terbaik. Semoga, semoga bahagia selalu menyertai kita semua." Kehangatan seluruh jiwanya mundur, membuat Naruto hampir sekarat.

Dengan cepat sang baskara membawa kirana cintanya ke dalam dekap, dibawa melesat ke atas patung ayahanda sang pemuda. Terlihat seluruh rupa dan indah Konoha.

"Aku mencintaimu, Hinata. Berpisah darimu itu rasanya membuat segala ruang dan angkasa dalam diriku hancur abadi." Dalam satu tarikan napas, si Uzumaki bersuara. Dipencudangi rasa panik hingga dicumbui getar takut ketika mendapati air terjun telah menodai wajah yang diinginkannya selalu dapat bahagia. "Hinata, maafkan aku—"

"—N-Naruto-kun," Sang mentari berusaha menghapus air mata gadisnya. Naruto kembali memeluk cintanya.

"Jangan menangis, Hinata. Maafkan aku."

Menggeleng pelan, tetapi Naruto tahu Hinata berusaha menghentikan tangisnya.

"A-aku—" Gadis itu mencicit. "Juga minta maaf karena cengeng."

"Kau tidak, kau tidak perlu meminta maaf atas ketololanku."

"Tidak apa-apa, Naruto-kun. Jikalau kau memang—"

"—maukah kau mendengarkanku, Hinata?" Semua orang tahu, jika memotong ucapan bukanlah sesuatu nan baik. Akan tetapi, Naruto merasa perlu. "Maksud perkataanku tadi," Dilupakannya segala yang telah direncanakan, lebih memilih klandestin menatap bulan nan terang berpendar di atas mereka.

Juga manik serupa kecubung keperakan indah tengah menatapnya dengan hidung, pipi yang mengerut senja kemerahan milik puan si cinta.

"Maukah, Tuan Putri Rembulan hidup bersamaku untuk selamanya dalam galaksi dan segala angkasa? Menciptakan bintang-bintang pembawa harapan seluruh manusia?" Naruto akhir-akhir pandai beramsal (rahasia karena diam-diam pernah membaca satu dua novel karya Jiraiya). Dan Hinata nan perlu beberapa napas, untuk menyadari segala keinginan pemuda nan dicintai. Kesalahpahaman singkat karena gombalan ambigu.

"Maksudku, maukah kau menikah denganku, Hinata?"

Jawabannya tentu dapat ditebak oleh semesta. Karena kini, matahari dan bulan benar-benar menetapkan diri mereka sebagai belahan jiwa bagi manusia. Pun dengan segala bintang-bintang yang kini hadir di angkasa. Baskara nan makin menghangatkan, kirana yang makln bercahaya. Keluarga galaksi angkasa penerang bagi bumi, untuk para manusia.

Naruto, Hinata, NaruHinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang