2. misora, sang sepi

14 1 0
                                    

Aku sampai di rumah disambut dengan pandangan datar dari kak Dera, ayah dan ibu, padahal sebelum aku masuk, aku mendengar keasikkan mereka yang sedang berbincang mengenai project-project terbaru kak Dera.

"Sore." sapaku, pelan. Aku membuka sepatuku dan menaruh tasku di kamar.
"Makan, Misora." kata ayah, aku mengangguk lalu aku duduk di kursi di sebelah kak Dera.

"Jadi gitu, ayah. Aku seneng banget karena aku dapet project jadi aktris utama. Akhirnya!" kata kak Dera, kegirangan, disambut oleh elusan manis di puncak kepalanya—oleh ayah. Aku hanya tersenyum kecil.

"Kamu udah tau siapa aktor yang nanti akan bersanding sama kamu?" tanya ibu.
"Udah lihat fotonya sih, ibu." kata kak Dera dengan ekspresi seseorang yang sedang—jatuh cinta (?)

Ibu mencubit pipi kak Dera. "Ganteng ya?"
Wajah kak Dera langsung memerah.

"Kalo dari ekspresi kamu, kayaknya memang ganteng dianya." kata ayah.

"Iya, dia emang ganteng ayah, tapi Dera biasa aja. Seriusan! Dera biasa aja. Cuma mengagumi kegantengannya doang!" kak Dera memberikan jawaban terbaiknya, namun aku tahu betul kalau kak Dera sedang beralasan.

Meski 'koneksi' kakak-adik kami sudah lama terpisah dan terputus, aku masih ingat dulu ekspresi kak Dera ketika bercerita mengenai seorang laki-laki yang ia sukai. Sama persis dengan sekarang. 7 tahun yang lalu seingatku, aku masih kelas 5 SD, dan kak Dera kelas 2 SMP. Ia belum menjadi artis dan semuanya masih baik-baik saja diantara kami.

Aku hanya terdiam menyaksikan keluarga bahagia ini berbincang-bincang, tak memerdulikan diriku yang sebenarnya ingin sekali ikut mengobrol dengan mereka. Namun aku sadar bahwa aku tidak ada apa-apa dibandingkan kak Dera.

"Anak ibu yang satu ini memang hebat. Ibu bangga sama kamu, sayang. Semoga sukses syutingnya dan semoga ramai filmnya nanti." kata ibu, lalu mereka bertiga berdiri dari meja makan secara bersamaan, membuatku bingung.

"Misora, gak apa-apa ya malam ini tidur sendirian? Ibu, ayah sama kak Dera mau pergi ke lokasi syuting, Dera mau ada reading untuk film barunya." kata ibu.

"Oh-oh, nggak apa-apa, ibu." kataku meski sebenarnya ada apa-apa.

"Aku baru tahu kak Dera ada film baru." timpalku. Mereka bertiga pun menengok.
"Terus kenapa?" tanya kak Dera dengan nada sinis.

"Oh gak apa-apa, cuma agak sedih aja, kenapa aku baru tahu. Itupun kalian kan gak kasih tahu ke aku secara personal, aku yang tahu dari obrolan kalian bertiga tadi." curahku. Ibu dan ayah menghela napas, kak Dera memandangku tidak suka.

"Emang kenapa lo harus tau? Ya suka-suka gue lah mau kasih tau ke lo atau nggak. Syukur lo masih diperbolehin dengerin obrolan gue sama ayah ibu tadi." jawab kak Dera.

"Kenapa aku gak punya hak untuk tahu? Memangnya aku ini orang asing? Nggak kan? Masa aku gak boleh tahu?" timpalku, kesal karena omongan kak Dera.

"Kalau gue boleh mengasingkan lo, gue mau banget deh, Ra." jawab kak Dera, simple namun sangat menusuk hati.

"Dera, Rara, sudah. Cukup." lerai ayah. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik tangan kak Dera dan ibu keluar dari rumah.

Aku menghela napas. Sejujurnya, aku tidak tahu apa salahku sehingga mereka memperlakukanku seperti ini. Perilaku mereka semua berubah drastis semenjak kak Dera mulai membintangi iklan, mulai mendapatkan perhatian yang banyak dari masyarakat Indonesia. Semenjak itu, seperti ada border yang sangat tebal diantara aku dan mereka bertiga.

Nafsu makanku sudah hilang, padahal aku baru memakan beberapa suap. Aku memutuskan untuk pergi ke luar, menghirup angin malam, agar perasaan tidak enak di hati sedikit terobati.

Aku sampai di suatu taman besar, taman yang sering menjadi tempat pelampiasanku saat merasa lelah akan sikap keluargaku.

Aku menitikkan air mata. Awalnya hanya rintik, semakin lama semakin deras.

"Apa Tuhan? Apa? Salahku apa sama mereka?" aku berbicara keras. Mataku memandang ke arah langit, seolah aku sedang berhadapan langsung dengan penciptanya, berharap sebuah meteor melintasi pandanganku, memberikan jawaban.

Namun yang ku lihat hanyalah kegelapan. Hanya puluhan lampu tamanlah yang menyinari gelap malam. Bintang? Tidak ada satupun.

Kata orang, terdapat jutaan bintang yang menghiasi langit saat malam hari. Tugas utama mereka ialah menyinari gelapnya malam. Namun, mengapa aku tidak pernah melihat mereka sekalipun dalam hidupku?

Seperti yang kalian tahu, aku tidak buta. Buta warna? Tidak juga. Lalu apa yang membuat mata ini tidak bisa mendeteksi keberadaan bintang di langit?

Namun sejujurnya aku merasa sedikit lega, karena setelah bertahun-tahun berdiam dan hanya bisa berpasrah, hari ini, aku kembali berbicara di depan keluargaku. Entah apa yang merasuki tubuhku di rumah tadi!

Berbicara tentang 'merasuki', aku memiliki sebuah pengakuan! Tolong jangan menertawakan pengakuanku!

Sepertinya aku sudah kembali dirasuki oleh pesona cinta lamaku. JANGAN TERTAWA!

Sepertinya, cintaku pada kak El telah kembali tumbuh. Atau memang hatiku tidak pernah pergi darinya? Ah aku pusing! Sekali pertemuan tak disengaja terjadi setelah beberapa tahun, dan hati 'baperan'ku ini kembali memihak padanya? Alright Ra, you're so freaking vulnerable!

Atau mungkin beberapa tahun belakangan ini, dunia terasa sangat kejam dan mengecewakan, dan seketika sebuah pelangi muncul, memberi warna pada hidupku meskipun hanya sementara. Sungguh indah dan menyenangkan namun aku terlalu larut dalam keindahan yang aku tahu betul--tak akan pernah terjadi lagi.

Setelah ini, aku akan kembali mencintainya dalam diam, sama seperti dulu.

Tiada Bintang Di Atas LangitWhere stories live. Discover now