01| Masuk sekolah?

666 83 16
                                    

Selamat Membaca

Megaraya merupakan provinsi baru di Indonesia dengan tingkat kejahatan cukup besar, salah satunya adalah perdagangan anak dibawah umur. Eksploitasi dilakukan untuk tujuan prostitusi, seksual atau buruh paksa.

Para pelaku mengeksploitas anak-anak itu untuk pekerjaan ilegal seperti menjual obat terlarang, melayani orang-orang hidung belang serta pekerjaan lainnya yang penuh paksaan.

Baru-baru ini sekelompok orang yang melakukan kejahatan itu ditangkap, kebanyakan dari korban adalah perempuan di bawah umur, sisanya anak lelaki yang masih sangat muda.

Kini, para korban trafficking berada di Rumah Perlindungan Sementara Anak (RPSA) guna mendapat pelayan yang baik, perlindungan, rehabilitasi, pemulihan kondisi mental dan trauma, advokasi, serta mempertemukan mereka dengan keluarga asli atau keluarga pengganti.

Hal itu, dialami oleh Adhitama Pradipa, seorang bocah berusia 10 tahun yang harus mengalami penderitaan cukup berat sejak usianya tujuh tahun. Tatapan sayu dan penuh kekosongan, salah satu anak yang sulit didekati sejak berada di RPSA.

Hari ini, paman dan bibinya datang ke RPSA setelah mendapat informasi tentang Tama, mereka sudah dapat membawa Tama pulang ke rumah, tetapi naas, saat di rumah dia mendapati ibunya meraung seperti orang gila saat melihatnya. Tidak ada yang berubah, bahkan setelah tiga tahun dirinya menghilang.

"Semua karenamu! Kamu tidak bisa diandalkan!

Tama tertegun. Mata besarnya yang hitam menatap getir wanita dewasa yang meraung-raung seperti orang gila. Rambut berantakan, pakaian lusuh, serta ekspresi yang selalu marah, Tama selalu mendapati ibunya dalam kondisi seperti itu.

Padahal sudah tiga tahun sejak dirinya hilang dan baru kembali sekarang, tapi sejak tiga tahun berlalu, ibu masih menyimpan dendam padanya. Dia hanya bocah lelaki berusia 10 tahun yang rindu hidup harmonis bersama keluarga yang utuh. Akan tetapi, semua hancur ketika ayahnya ketahuan berselingkuh lalu adiknya meninggal karena ia lalai. Tidak lama setelah itu, ibunya jadi gila.

"Kenapa anak ini ada lagi?!" Wanita itu melempar gelas kaca ke arah Tama.

"Ah!" Tama tersentak saat gelas kaca mengenai kepalanya. Wanita yang disebut ibu itu menjadi tidak waras setelah kepergian adiknya.

"Kakak, tenanglah!" Bibinya memeluk wanita itu, mencoba mengekang agar tidak menyakiti Tama.

"Kenapa kamu tidak mati sekalian! Tinggalkan aku sendiri di dunia ini!"

Kalimat-kalimat wanita itu makin menjadi. Tama bisa melihat bagaimana cekalan dari paman dan bibinya meninggalkan jejak kemerahan di kulit pucat ibunya.

Tama menangis, rasa sakit akibat gelas kalah dengan rasa sakit di dadanya. Bocah itu berlari keluar, meninggalkan rumah lagi walaupun bibi dan paman terus memanggil namanya. Berpikir lebih baik kembali ke jalanan dan hidup luntang-lantung dari pada harus melihat ibu sendiri menggila hanya melihat dirinya. Namun, pada akhirnya Tama kembali lagi pada malam hari bersama bibi yang berhasil menemukannya. Saat masuk rumah, Tama mendapati pria berperawakan tinggi, kurus dan berotot datang ke rumah.

Tama melihat pamannya menerima amplop cokelat tebal diiringi ekspresi sangat bahagia.

"Saya akan membawanya sekarang," kata sosok itu seraya melempar pandang pada Tama. Sorot mata itu membuat langkah Tama tersurut, auranya mengerikan.

Pamannya mendekat, berdiri di hadapan Tama dengan tatapan merendahkan.

"Mulai sekarang kamu ikut paman itu, lebih baik ketimbang menyulitkan ibumu di sini," katanya.

A Light that Never DimsWhere stories live. Discover now