PROLOG

10.8K 1K 39
                                    

"Romeo, minumlah darahku," Aku memandang matanya ketika mengatakan wasiat terakhirku. Sang komandan tampak gentar. Aku paham yang ada di pikirannya saat ini. Itu seakan-akan aku memintanya bunuh diri bersamaku.

Romeo adalah seorang patriot. Dia mungkin memilih untuk mati dibunuh ketimbang melarikan diri ke akhirat seperti pengecut. Beda halnya kalau musuh berusaha mengorek informasi dari kita—kami sudah dilatih untuk menggigit lidah agar mati keracunan darah kami sendiri. Tapi kami sudah benar-benar kalah. Informasi apapun tidak berharga lagi bagi mereka.

"Sir Valor, aku akan menunggu sampai mereka menusuk jantungku dan memancung kepalaku. Biarkan kepalaku menjadi hiasan tombak yang ditancapkan sebagai pagar kastil mereka. Setidaknya keluargaku tahu aku bukan pengecut," dia menolak tawaranku.

Aku tersedak, bicara saja sudah sulit bagiku. Mereka telah memutilasi lengan kananku, dan sebagian telingaku. Kakiku diatur bertumpukan, kemudian dipaku pada lantai kayu menggunakan besi tajam berkarat sebagai pengganti rantai. Saking menyakitkannya—aku merasa kebal. Indera perasaku sudah hilang.

Tapi mereka belum sempat memotong lidahku. Para kesatria Avalon itu, ingin kami menjemput kematian dengan cara yang menyakitkan. Mereka menyisakan beberapa organ di tubuh kami, yang akan mereka pancung begitu luka kami sembuh. Aku sudah pasrah selama beberapa hari ini, sampai Raphael D'Artagnan, salah satu komandan kami, dijebloskan satu sel bersamaku.

Dia akan mengalami segala siksaan yang mendera fisik dan jiwa. Tapi aku ingin menyelamatkannya. Mungkin aku bisa berbuat sesuatu yang heroik kali ini. Aku tidak ingin nama keluargaku tercemar karena mengirimkan kesatria tidak berguna di perang mengerikan ini.

"Kau tidak akan mati, Raphael," kataku lemah.

"Sir Valor, meminum darah laki-laki hanya akan menyakiti kami. Sudah berapa lama kau hidup sebagai vampir? Aku menolak untuk bunuh diri," dia menolak tegas. Dia masih cukup segar. Tapi aku tahu kepercayaan dirinya akan runtuh begitu dia mencicipi kekejaman para kesatria Rasputin yang terkutuk.

"Namaku bukan Valor Dubois, sir," aku mengaku. Kali ini dia melihatku dengan sedikit membelalakkan mata.

"Apa maksudmu?"

"Kita sudah berjuang bersama selama lima tahun lamanya. Walaupun aku tidak terlalu berguna, tapi kau selalu membantuku. Kini, izinkan aku membalas budiku. Minumlah darahku. Aku seorang darah murni, dan aku perempuan," kali ini Raphael tersentak. Aku tidak mengira dia sekaget itu. Kukira, dia sedikit banyak sudah bisa menebaknya. Karena selama ini aku tidak pernah mau mandi atau membuka pakaianku bersama para kesatria lainnya.

"Sir Valor, kau—"

"Lihatlah, kita kini ditawan di ruang bawah tanah yang ada di kastil raja Dimitri, kau bisa membebaskan diri dan mencarinya. Kau harus membunuhnya, dengan begitu pasukan musuh akan melemah signifikan. Minumlah darahku, itu akan memberikanmu kekuatan," aku berkata yakin. Aku tidak mengizinkan keraguan terdengar dari suaraku.

"Kau benar-benar perempuan?"

"Aku tidak akan menjebakmu, Lord D'Artagnan. Aku seorang patriot, sama sepertimu. Izinkan aku mengakhiri hidupku dengan cara yang terhormat,"

Aku pun melepas gelungan rambutku, memperlihatkan helai Surai keperakan yang jarang kupamerkan. Aku tarik lepas rompiku, menunjukkan tunik putih yang kini penuh noda darah dan tanah. Aku melanjutkannya dengan membuka kancing atas bajuku, membiarkan sir Raphael menyaksikan leherku yang pucat. Aku lalu memiringkan kepalaku, dan mengekspos nadi yang masih berdenyut dan memompa darahku.

Aku menyaksikan matanya berubah, pupilnya membesar dan nafasnya sedikit memburu. Itu adalah fase berburunya, dimana dorongan iblis dalam dirinya memaksa untuk mengkonsumsi darah dan memuaskan dahaganya. Aku tahu dia sudah lama tidak minum, perang kali ini berlangsung sangat lama sampai kami tidak sempat menemukan donor.

The Great Vampire General is a GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang