I

79 36 183
                                    

Cinta.
Kosakata yang begitu banyak digumamkan manusia, meski memiliki sudut pandang dan pengertian berbeda dalam menjabarkannya.

Cinta.
Ketika luka mendera sebab terlalu mencinta, siapa yang patut dipersalahkan perihal datangnya tanpa sengaja.

Cinta.
Bagaimana aku bisa melepasnya dari keseharian, jika disekitarku saja tak pernah lepas dari rasa cinta.

{ ... 🍭 ... }

Kerumunan masih mengular, dari kejauhan gadis ini tampak jenuh menunggu barisan yang entah kapan akan surut. Salahnya mendaftar di hari terakhir, ia harus rela antre sesuai nomor urut yang diambil dari loket depan. Gadis itu memilih duduk, mencoba mengamati pergerakan dari jauh yang sepertinya akan memakan waktu lebih lama. Sebotol air mineral terulur, gadis itu mendongak sembari mengulas senyum kala melihat lelaki di depannya.

"Baik banget," ujarnya tersenyum, "makasih, Al."

Lelaki itu duduk di samping sang gadis. "Masih lama nomer urut lo, Tin?" tanyanya kemudian.

"Tan-tin-tan-tin ... lo pikir gue klakson mobil."

"Haha ... lo berharap gue panggil apa, udahlah terima aja."

"What? Nama gue Christine Alleysia Roundbell, cakep gitu lo bisa cari panggilan lain kek."

"Nggak bisa, gue sukanya manggil Tin," pungkas Al sembari mengacak rambut Christine lalu pergi dengan tawa riangnya.

"Untung sahabatan dari kecil," gumam Christine, "kalo nggak--"

"Nomer urut selanjutnya!"

Gumaman Christine terpotong panggilan salah satu panitia, dia bergegas masuk karena ternyata waktu berlalu tanpa disadari. Christine duduk setelah dipersilahkan oleh salah satu panitia yang ada di dalam, kali ini ia yakin akan pilihannya pada sekolah yang dulu bahkan tak pernah ia lirik.

"Jadi, Christine Alleysia Roundbell harus dipanggil apa?" tanya ketua tim interview.

"Christine, Pak."

"Ya. Christine, nama yang cantik."

Interview tersebut berlangsung kurang lebih lima belas sampai dua puluh menit, Christine keluar setelah menjabat tangan keseluruhan tim yang mengantarnya berdiri dengan senyum merekah. Tidak ada cacat, jelas Christine paham dia memiliki banyak kelebihan yang bisa menambah poin untuk masuk sekolah ini. Gadis itu akan memulai Sekolah Menengah Atas, tetapi harus membuat pilihan yang cukup berat karena sejak satu minggu lalu ia berhenti berharap pada keputusan orang dewasa.

Gadis bersurai cokelat keriting gantung itu memang ceria, gigi gingsulnya menambah kesan cantik yang mendalam pada sosok yang sangat menyukai hari Minggu tersebut. Christine melangkah ke taman, tugasnya hari ini selesai dan ia masih belum memutuskan akan memilih agenda apa setelah kembali ke rumah.

"Naik angkot?" tanya Al.

"Iya, biasa lah," jawab Christine sembari menghalau wajahnya dari sengatan matahari.

"Bareng gue, ke rumah dulu," putus Al.

"Ada apaan?"

"Bunda kangen sama lo."

Tak ada pilihan lain, Al selalu paham cara untuk mengajak Christine dengan mudah. Hanya cukup membawa nama sang bunda, maka gadis itu tak ada alasan untuk menolak tawaran sahabat kecilnya. Christine memang dekat dengan kedua orang tua Al, entah mengapa ia merasa lebih nyaman dengan mereka dibanding bersama kedua orang tuanya sendiri.

Motor Al tiba di garasi, Christine segera turun dan meninggalkan lelaki itu di belakang. Ia masuk ke rumah, menuju ke dapur seolah paham di mana tempat favorite wanita berpawakan bak model dengan mata sipit yang manis.

"Bunda ...."

Suara Christine sangat menggemaskan, membuat wanita yang baru saja membereskan gelas tersenyum lalu merentangkan tangan. Christine mendekapnya, seolah mereka adalah pasangan anak dan ibu yang kian lama terpisah dan baru dipertemukan oleh takdir.

"Bunda kangen, kamu kok udah jarang main kesini sih," ujar Whina--bunda Al.

"Lagi sibuk, Bunda." Christine memperhatikan wajah manis Whina yang tetap cantik seolah tak termakan usia.

Di ruang televisi, Al mendudukkan dirinya di sofa dan membiarkan sang Ayah terganggu. Pria empat puluhan itu memperhatikan putranya, lalu melihat ke arah dapur untuk memastikan jika pendengarannya tidak salah.

"Kamu di sini, terus yang sama bunda siapa?" tanya Paul--ayah Al.

"Biasa, anak kandungnya."

"Heee?" Paul menaikkan kacamatanya, meneliti hingga membuat Al risih.

"Christine, Ayah. Siapa lagi yang berani manja sama bunda selain dia."

Lalu Paul hanya ber-oh ria, ia tidak melanjutkan pertanyaan melainkan kembali fokus kearah televisi. Membiarkan istri dan sahabat putranya perlahan mengerjakan sesuatu di dapur, dua perempuan itu ketika bertemu selalu saja cocok. Hal yang membuat Al terkadang bertanya, sebab Whina tak pernah sekompak itu dengan dirinya.

"Jadi, kamu bakal satu sekolah dong sama Al?" tanya Whina disela kepiawaian jemarinya memotong timun.

"Iya, Bund. Akhirnya aku punya temen, deh."

"Gitu dong. Lagian, ya, orang tua kamu juga aneh dari dulu. Masa' kamu selalu gak boleh satu sekolah sama Al."

Christine hanya tersenyum, menyebut kata orang tua selalu memiliki rasa tersendiri di sudut hatinya. Whina yang menyadari mulai serba salah, ia lupa jika hubungan Christine dan kedua orang tuanya saat ini kurang baik. Wanita itu tak kehilangan akal untuk memancing tawa Christine, mereka terus berkutat dengan beberapa menu yang baru saja Whina dapat dari teman onlinenya.

Makan malam sehangat ini tak pernah Christine temui di rumah, sekalinya kedua orang tua bertemu pasti selalu berakhir dengan adu mulut hingga ia memilih pergi ke kamar atau orang tuanya yang meninggalkan meja makan.

Di sini tawa Christine tak pernah palsu, ia selalu senang berada di tengah obrolan Paul dan Whina yang senantiasa harmonis setiap waktu. Walaupun di sisi lain, harus ada pihak yang dikorbankan menjadi bahan bully mereka bertiga. Siapa lagi kalau bukan cowok berhidung mancung yang masih berkutat dengan piringnya, nasib selalu menyeret dia menjadi bahan lelucon kedua orang tuanya.

"Eh, tau gak sih, Christ. Al dari kecil paling takut makan ikan," mulai Whina.

"Emang kenapa, Bunda?"

"Dia bilang, duri ikan bisa memotong lehernya. Padahal itu cuma akal-akalan dokter gigi aja pas dia sakit abis makan ikan teri."

"Lah, ikan teri nggak ada durinya kali, Ma," sahut Paul.

"Itulah ... hahaha makanya Mama heran kenapa dia percaya aja."

Suara tawa menyembur, Al terpaksa diam setelah suara sumbangnya membela diri tak dihiraukan. Salah siapa? Anak kecil akan selalu percaya dengan apa yang dikatakan orang dewasa, belum lagi waktu itu Al sangat menderita setelah ditemukan lobang pada giginya. Tatapan Al selalu terpana dengan tawa Christine, sudah lama mereka bersama hanya saja ia selalu menemukan tawa hambar dari gadis itu.

Seberat apa ujian hidup lo?, batin Al.

Obrolan masih berlanjut kala Whina bersih keras ingin menyisir rambut Christine, ia tidak sabar bermanja dengan gadis satu ini. Al dan Paul hanya menatap mereka dari sofa, dua lelaki itu juga menikmati kesenangan wanita yang beberapa waktu ini uring-uringan karena Christine sudah jarang datang ke rumah.

---- •° ----

02 Jan 22
-1011 kata-

Re-Upload : 25 Jan 2023

*** ☕ ***

Hai ...
Kaget?
Enggak lah, ya.
Aku sengaja re-upload ini sembari menunggu proses cetak.
Kali aja ada yang mampir dan suka.
Kalian bisa chat buat pemesanan bukunya.
🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭

A Broke Of Triangle's Love [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now