II

50 32 85
                                    

Whina masih membiarkan Christine duduk di sampingnya, menonton televisi sembari menyandarkan bahu seolah hanya ada mereka di sana. Padahal Paul dan Al tengah memantau dua perempuan itu, entah apa yang mereka pikirkan sehingga dengan mudah melupakan kehadiran dua kaum adam yang sejak tadi hanya saling bertukar senyum.

"Eh, kalian sekarang satu sekolah, 'kan?" tanya Paul.

"Iya, Pa," jawab Al.

"Iya nih, Om. Aku jadi ada ojek gratis, deh, sekarang," seloroh Christine.

"Christ, tinggal sini aja sama bunda," celetuk Whina.

"Sekalian aja masukin dia di kartu keluarga, Ma." Al menatap Whina yang masih berbinar.

"Ide bagus!" ujar Whina, "nanti Christine namanya di bawah nama Bunda."

"Lah terus Al di mana, Ma?"

"Di bawah Papa aja," tawar Paul.

"Ya ... nggak bisa dong, kan Papa kepala keluarga terus di bawah harus pasangannya."

"Yaudah, kalo gitu Al sama Papa pecah KK aja gimana?"

Al dan Paul spontan menatap Whina, wanita itu berucap tanpa dosa dan masih tenang menyuapi Christine nastar keju. Sungguh keluarga bahagia, seselip senyum Christine urai dalam diamnya menikmati keributan keluarga impiannya. Tak sadar waktu beranjak larut, ia segera mengajak Al agar mengantarnya kembali ke rumah.

"Bund, aku balik dulu kayaknya ini udah malem banget," ujar Christine.

"Eh, tapi anak cewek gak boleh pulang malem-malem," sahut Paul, "kalo pulang pagi gapapa ... hehehe."

Al dan Whina menatap Paul yang salah tingkah dengan ucapannya sendiri, sedang Christine tak habis pikir dengan tingkah keluarga ini. Ia pun berpamitan pada pasangan senja itu lalu mengikuti Al yang sudah menstarter motor, Whina masih saja mencoba menawarkan Christine untuk menginap. Gadis itu tak bisa, pasalnya dua pesan yang masuk secara bersamaan memaksanya berhenti bermimpi menikmati indahnya keluarga harmonis.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Al ketika mereka sudah keluar gerbang.

"Emang lo mau kemana?" tanya balik Christine.

"Nggak ada yang nunggu lo di rumah, 'kan?"

Christine spontan mengangkat bahu. "Sepuluh menitan terlambat boleh aja, sih."

Motor Al berbelok ke kiri, mereka menuju sebuah taman yang biasanya akan ramai dikala malam. Jelas, satu-satunya tempat dengan jajaran kuliner dan berbagai hal menarik tertata rapi di sana. Christine menunggu Al yang berlari menuju sebuah stand, di sini mereka biasanya melepas penat meski hari-hari yang dilalui keduanya jauh berbeda.

Sesuatu yang dingin dan lengket menempel di hidung Christine, ia mengembungkan pipinya pertanda protes akan kelakuan absurd sang sahabat.

"Al, hidung gue jadi pesek tau!" pekik Christine sembari menghentakkan kakinya.

"Haha ... gapapa, lo kan emang dari dulu udah pesek."

"Iih enggak, ya, hidung mancung paripurna gue sejak kapan pesek?"

"Lo ngaku sendiri tadi."

"Al ... iih sebel!"

Begitulah mereka, menjalani hari yang meski tak selalu bersama karena sejak Sekolah Dasar orang tua Christine tidak mengijinkan gadis itu memilih sekolah semaunya. Mereka selalu mengatur selama sembilan tahun pendidikan puterinya, hanya luka yang dibiarkan menganga itu lambat laun membentuk sebuah kekuatan baru bagi Christine. Di akhir sekolah menengah pertama, ia dengan tegas mengatakan hidupnya adalah miliknya dan kedua orang tua hanya bertugas membimbing bukan sebagai pengendali.

"Are you okey?" tanya Al.

Christine menatap lurus jalanan yang mulai lengang, perlahan ia mengangguk lalu tak lama menggeleng. "I don't know."

Al mengarahkan kepala gadis itu ke pundaknya, meski tak setiap waktu ia bersama Christine tentu kedekatan mereka tidak bisa dianggap remeh. Satu-satunya sosok yang selalu Christine cari hanya Al, di setiap hal berat yang gadis itu tak mampu pikul sendiri pasti dibaginya dengan lelaki ini.

"Can I die, Al?"

"No. Biggest No!"

"Why?" terdengar suara isakan kecil. "I'm so tired."

"You are strong, and always be strong."

"Tapi sampai kapan?"

"Sampai semua mimpi dan harapan lo terjadi."

"Can I do?"

"Of course. You can do that!"

Perlahan isak Christine lenyap, ia merasa beban yang beberapa menit lalu dipikulnya dengan berat mulai sedikit ringan. Ia mengajak Al beranjak saat mengetahui ada panggilan tak terjawab lagi di gawainya, gadis itu harus bersiap akan pertempuran yang sebentar lagi memanas. Ya. Tempatnya kembali bukanlah rumah, sebab sejatinya rumah adalah tempat untuk pulang. Tempat yang menjadi perlindungan, bahkan rumah harusnya menjadi tempat lari dan bersembunyi yang paling aman.

Lantas, bagaimana jika rumah justru menjadi penjara, tempat yang ingin dihindari tapi kaki tak bisa melangkah lebih jauh lagi?

Seolah ada pengikat kuat yang menghentikan jejak, memaksa agar tetap tinggal dan kembali bersama luka juga duka yang kian mengungkung secara nyata.

Al berhenti di depan gerbang putih, ia menerima helm yang Christine serahkan dan menunggu gadis itu masuk. Sebenarnya ada rasa berat melepasnya pulang, bukan Al tak bisa hanya ia tak mampu menjelaskan alasannya.

"Gue masuk, ya." pamit Christine.

"Ok. See you."

Christine menghilang di balik gerbang, gadis itu mendengar suara motor Al perlahan menjauh. Menghentakkan kaki kirinya sebelum masuk, itu adalah caranya menguatkan diri selama ini yang jarang diketahui.

Rumah terang benderang, hal yang berbeda jika dua orang itu ke luar kota atau sibuk dengan urusannya. Christine membuka pintu, langkahnya langsung disambut oleh sosok wanita masih dengan setelan kantor yang kini berkacak pinggang dan seorang lelaki dengan kemeja kusutnya berdiri di samping kiri.

"Dari mana aja kamu?" bentak Tomo--Papa Christine.

"Kebiasaan kalau ditinggal, keluyuran aja kerjaannya," sambung Jihan--Mama Christine.

"Duduk!" perintah Tomo.

Christine menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu, ia sudah tak merasa takut lagi dengan perlakuan dua orang di hadapannya. Jika Christine yang kini duduk adalah sosoknya sepuluh tahun lalu, mungkin dia akan bergetar dan tak sanggup menatap raut marah dua orang dihadapannya. Sayangnya, Christine yang ini adalah sosok yang terpaksa kuat karena keadaan dan dia tak bisa menjadi lemah jika tak ingin semuanya hancur.

Plak!

---- °• ----

Menyadari atau tidak, bersyukurlah jika kamu memiliki keluarga bahagia.
Sebab, begitu banyak anak di luaran sana yang kehilangan definisi keluarga sebagai tempat pulang.

Apa yang terjadi pada Christine?

A Broke Of Triangle's Love [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang