Allesandro Dafarendra

53 32 87
                                    

Christine menatap jengah dua orang yang seperti siap menerkamnya itu, gadis itu tersenyum di sudut bibir melihat mereka seolah menganggap puterinya sendiri sebagai tawanan.

"Sudah merasa bebas, sudah salah pergaulan sekarang, hah!" mulai Jihan.

"Kemana kamu seharian ini?" tanya Tomo.

"Sekolah."

"Ada sekolah yang buka sampai jam setengah sepuluh malam. Nonsense!" sinis Jihan.

"Jawab jujur," geram Tomo.

"Dari sekolah langsung ke rumah Al. Puas!" Christine tak sadar jika nada suaranya meninggi, ia pun sampai berdiri dari sofa.

"Sudah berani ngebentak kamu, ya! Siapa yang ngajarin?" Jihan sudah tak mampu menahan emosi.

"Nggak ada. Kalian, 'kan, yang tiap hari ngebentak terus, nggak capek apa sukanya berantem nggak tahu waktu." Christine membalas tatapan Jihan tak kalah sengit.

"Christine!" Tomo menatap intens puterinya.

"Kenapa, Pa?" tanya gadis itu tak gentar, "kalian tuh kompak kalau lagi marahin aku aja. Selama ini kalau aku butuh, kalian kemana?"

"Ngomong apa sih anak ini, apa kebutuhan kamu yang nggak bisa kami penuhi selama ini?" Jihan masih menatap Christine dengan geram, tak habis pikir dengan gadis yang notabene adalah darah dagingnya itu.

"Waktu!" sentak Christine, "kapan kalian punya waktu buat aku?"

"Christine, kamu tahu Papa sibuk," bela Tomo.

"Ya. Mama juga sibuk ngurusin bisnis sana-sini," timpal Jihan.

Christine hanya menatap dua orang itu dengan remeh, ia mengangguk membenarkan ucapan keduanya sembari perlahan beranjak dari ruang tamu.

"Mungkin ... kalo aku mati pun, kalian nggak bakal ada waktu buat ngurusin jenazahku."

"Christine ...." suara Tomo mulai merendah.

Christine masuk kamar dan mengunci pintu, ia tak bisa berlama-lama di sana karena uap yang menggenang akan segera turun dengan derasnya. Mungkin di depan Tomo dan Jihan gadis ini bisa memasang wajah tegar dan dingin, tetapi setelah pintu tertutup selalu ada tangis yang mengiringi malamnya.

Gadis itu kalah lagi, dadanya sesak dan setiap hari bukan berkurang malah semakin bertambah. Kembali terdengar suara pertengkaran saling menyalahkan di luar, hingga deru mobil Jihan terdengar meninggalkan garasi.

"Ck! Dua-duanya sama aja," decak Christine disela isakannya.

[ ... 🍭🍭 ... ]

Pagi ini SMU Negeri Amigdala mulai ramai, dengan banyak seragam berbeda menghiasi lapangan. Siapa lagi jika bukan murid baru yang akan ditentukan nasibnya melalui beberapa lembar kertas keputusan petinggi sekolah, begitu banyak jenis raut wajah yang dipasang mulai dari takut, cemas, penuh harap bahkan ada pula yang cuek.

Sekolah ini memang bukan sekolah unggulan, tetapi lulusan dan jaringannya selalu menjadi yang paling unggul. Begitu ajaibnya tangan pendidik di dalam hingga mampu mencetak siswa-siswi berprestasi, hal yang menjadi pertimbangan beberapa orang tua untuk tidak memasukkan anaknya ke sekolah lain.

Jika beberapa siswa tengah harap-harap cemas, maka berbeda dengan siswa yang berada di barisan kanan depan. Beberapa dari mereka sudah dinyatakan lulus satu pekan lalu, tidak perlu merasa cemas karena di seragam mereka telah melekat lencana istimewa yang diperoleh khusus bagi siswa berprestasi.

Allesandro Dafarendra salah satunya, siswa yang terlihat mencolok karena kulit putih bersihnya ini jelas menjadi satu diantara beberapa siswa pilihan. Bakatnya di bidang olahraga tidak perlu diragukan, ia sempat menjadi duta sekolah menengah pertama dan menjadi ikon membanggakan di mana pun perlombaan diadakan. Bahkan sebelum memutuskan untuk masuk SMU Negeri Amigdala, siswa yang biasa disapa Al ini telah mendapat tawaran dari beberapa sekolah unggulan bahkan lengkap dengan iming-iming beasiswa penuh sampai lulus.

Sekolah mana yang tidak bangga, jika siswa berprestasi mengisi daftar nama siswa maupun alumninya. Namun, siapa sangka hal tersebut kadang membuat Al jenuh karena seolah semua berkonspirasi dengan keadaan dan memaksanya untuk sepakat.

Beberapa pasang mata terus mencuri pandang kearah Al, tetapi lelaki itu justru mencari sesuatu yang sejak tadi tak pernah berhasil didapatkan retinanya. Saat sosok itu mulai nampak, seulas senyum terukir di bibir tipisnya membuat beberapa siswi memekik hebat. Al menemukan dia, gadis yang diam saja di tengah kerumunan siswa yang mungkin saling asing.

Christine memang satu-satunya yang terlihat mengenakan atasan hijau dan rok hijau botol yang lebih gelap dari kemejanya. Seragam andalan SMP Ductessia, sekolah khusus perempuan yang dipilih oleh Tomo sebagai tempat gadis ini menekur pendidikan.

"Baik ... Selamat Pagi, Adik-adik!"

Suara bapak berkepala plontos terdengar di microfon, wajah lucu dengan perut tambunnya membuat beberapa orang tidak menduga jika dia seorang Kepala Sekolah. Beberapa patahan kata sempat terlontar, ada pesan selamat untuk yang lulus nantinya dan juga suntikan motivasi bagi siswa yang mungkin belum berhasil.

"Psst!"

"Ssstt!"

"Huss!"

"Cewek ... seragam ijo."

Suara lirih nan ribut itu mengalihkan perhatian Christine, ia menatap seragamnya yang berwarna hijau dan melempar ekspresi seolah bertanya pada dua gadis di samping kiri.

"Iya, lo."

"Sini ... sini."

Christine berjalan mendekat ke samping ketika Kepala Sekolah sudah turun dari podium, beberapa siswa mulai berhamburan ke papan informasi. Christine menatap dua gadis di depannya dengan bingung, meski selama ini sekolahnya khusus perempuan tapi belum tentu gadis ini pandai bersosialisasi.

"Gue Dhea."

"Gue Ghea."

"Kembar?"

"Nggak," jawab Dhea

"Beda ih," sahut Ghea.

Christine tergelak, pasalnya mereka seolah menolak saat dikatakan kembar sedang keduanya saling merangkul. Jika di luar sana, mereka yang tidak ingin dikatakan kembar akan saling mendorong atau memalingkan wajah maka berbeda dengan dua gadis berseragam cokelat ini.

"Gue Christine."

"Yes! Akhirnya punya temen baru," pekik Ghea.

"Biasa aja kali," seru Dhea sembari menonyor kening suadarinya, "salam kenal."

Tiga gadis itu mulai berceloteh panjang lebar, hingga tak menyadari datangnya makhluk bening di depan mereka. Al yang melihat Christine sudah menemukan teman baru tentu ikut senang, ia mendekat lalu menatap gadis yang kini tertawa lebar karena tingkah si duo kembar.

"Bahagia banget, sampai nggak mau lihat pengumuman," ujar Al.

"Wah ada mas Terang," seru Ghea.

"Terang apa, terang bulan?" tanya Dhea.

"Makanan mulu otak lo," protes Ghea, "nih depan kita ada ... mas Bright!"

"Namanya Al," ujar Christine, "Al, kenalin ini Dhea dan yang ini Ghea."

"Oh, kenalin gue Al. Kalian kembar ya?"

"Nggak."

"Beda kok."

Lagi. Al pun ikut terheran dengan tingkah dua gadis ini, mereka menolak tapi saling merangkul bahkan bisa dikatakan berpelukan. Lelaki itu malah mengacak rambut Christine, membuat duo kembar semakin baper tak karuan.

"Nggak mau lihat pengumuman?" tanya Al.

"Lo udah?" tanya balik Christine.

"Gue kan udah lolos minggu lalu."

"Eh iya, kalian gak mau lihat pengumuman?" tanya Christine pada dua teman barunya.

---- °• ----

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 29, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Broke Of Triangle's Love [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now