| Chapter 33 | : Fearless

20 6 0
                                    

Hujan turun tidak seperti biasanya. Meskipun rasa gelisah hinggap akan pencahayaan kompleks akan segera lenyap. Listrik di rumahku selalu mati ketika hujan dan cuaca buruk datang. Entah sudah menjadi kebiasaan, semenjak aku bisa mengingat untuk pertama kalinya hujan turun bersamaan dengan kegelapan penuh di setiap rumah-rumah.

Jendela kamarku sudah basah karena terciprati air hujan. Sengaja tirai tidak kutarik karena aku ingin menikmati cuaca yang tidak kusukai ini. Langit terlalu mendung, sehingga malam terlihat akan datang lebih cepat. Masih ada dua jam lagi sebelum pukul delapan belas. Tapi sepertinya bokongku begitu betah dan tubuhku menyukai menghadap ke arah luar. Meskipun perasaan tidak enak ini datang selama berhari-hari. Mungkin biasanya juga seperti itu. Akan tetapi sekarang seolah persentasenya bertambah. Jauh lebih gelisah. Kekhawatiran yang berlebihan.

Ponsel pintar ditanganku seperti benda tak berharga. Entah kapan aku memainkannya. Hanya saja aku bukan tifekal mengutak-ngatik layar licin ponsel. Aku lebih suka tidur.

Sinar dari layar ponsel membuat mataku berkedut sesaat. Tanda bahwa jarang sekali indera penglihatku menatap layar ponsel. Dari menu utama sampai ikon-ikon kecil tidak sama sekali membuatku ingin bermain lebih lama lagi. Hanya ketika dalam urutan nomor yang pernah kusimpan. Nomor ponsel Galan, Euna dan rumah. Tempatnya begitu kosong. Nama Euna tertera paling atas dengan ikon anak ayam berwarna kekuningan mengingatkanku pada tingkah lakunya yang malu-malu. Rasa sedih mengingatkanku bahwa Euna sudah pergi jauh. Sekali saja aku bersikap egois, ketika kugeser nomornya untuk masuk ke dalam panggilan yang sejak awal aku tahu perbuatanku seperti orang bodoh. Dering panggilan masih berlanjut sepersekian menit dan aku menikmatinya sambil berkaca-kaca. Memohon jika dalam sekilas aku bisa mendengar sapaan Euna sama seperti kami berdua berada di sekolah atau pun ke mana saja bersama-sama.

Panggilan masih berlanjut hampir masuk ke menit kedua hingga tanpa kusadari sepersekian detik selanjutnya panggilanku terjawab. Panggilanku masuk!

"Apa?" bisiku sambil menatap layar ponselku dengan gemetar. Panggilan terjawab. Suara panggilan kutambahkan menjadi lebih keras. Meskipun tak bisa kubohongi saat ini jari-jariku bergetar hebat.

Aku bisa mendengar suara berisik seperti suara kertas yang dirobek dan tarikan napas kasar dari seberang sana. Tak ada tanggapan lebih sampai menit ke tiga ada helaan napas yang lebih kasar. Sontak bisikan-bisikan prasangka tanpa tahu malu mengisi kepalaku. Pasti dia!

"Kau menungguku?"

Hampir saja denyut jantungku berhenti sejenak dan mulai dengan ritme menggila. Aku masih menatap layar dengan tak percaya jika nomor Euna berhasil masuk dalam panggilanku dan aku tebak siapa yang mengangkat panggilan ini.

Hadiswa!

"Kenapa diam? Kau percaya suara ini adalah milikku?"

"Kenapa kau menyimpan ponsel Euna?" Suaraku ikut bergetar, sekuat tenaga menahan rasa ingin marah dan takut secara bersamaan. Ternyata menyiksa antara ketakutanmu berbalut amarah, ditambah gambaran jelas teman-teman yang meregang nyawa malam itu.

"Butuh alasan untuk pertanyaamu barusan? Tidak penting sama sekali."

"Di mana kau sekarang?"

Ada tawa renyah setelah aku bertanya demikian. Suara yang paling kubenci mulai sekarang adalah tawa tanpa dosanya itu.

"Kau ingin menangkapku? Oh benarkah! Dengarlah, sebelum itu terjadi, aku akan memberikan pelajaran lebih dulu untuk kekasihmu itu. Ck, dia sungguh mengganggu."

Kedua mataku membelalak tak terima. "Jangan ganggu Galan!"

Lagi-lagi tawa sialan itu pecah di telingaku yang sudah menolak untuk mendengarnya.

THE SCREAM : Whos Next? ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя