Chapter 1

35 10 1
                                    

Dia, Tsukiashi Haruya

.
.
.

Gema hentakan kaki, suara riuh tawa, gesekan kaki meja, dan dering bel tanda masuk rasanya terdengar samar di telinganya tatkala atensi itu sepenuhnya tertuju pada satu titik di luar jendela sana. Tepatnya pada siluet yang melesat cepat dari balik pohon ke pohon lain di taman sisi pagar tersebut.

Tsukiashi Haruya sedikitpun tak mengalihkan pandangannya sejak melihat siluet itu muncul dari balik salah satu bangunan sekolah. Bahkan setelah menyadari siluet itu mengenakan seragam yang sama dengan yang Ia kenakan, ekspresi Tsukashi tetap terlihat seperti orang yang sudah melihat sesuatu yang aneh, padahal tak ada yang aneh dari seorang siswa yang mencoba bolos tersebut. Ya, setelah mengendap-endap, siluet itu tampak memanjat pagar sekolah yang tingginya hampir 2 meter, melompat dan mendaratkan kakinya ke area luar sekolah, sebuah bukit kecil yang yang mengarah ke hutan, lalu berlari cepat dan menghilang di balik deretan dahan-dahan besar itu.

Alis Tsukiashi bertaut, Ia sendiri tidak mengerti apa yang aneh sehingga dirinya terdiam di tengah lorong.
Entahlah, mungkin ini efek dari gugup, pikirnya.

Mengeratkan pegangannya pada tas, Tsukiashi menarik nafas panjang untuk menetralkan degup jantung yang selalu saja berdebar setiap kali mengingat bahwa hari ini adalah hari pertama dirinya menjadi murid pindahan.

Sejak pindah ke kota kecil ini, Tsukiashi seringkali cemas. Ia berfikir apakah rumah barunya, sekolah barunya, teman-teman barunya bisa cocok dengannya? Akankah ia betah dan tidak ingin kembali ke kota besar semenyenangkan Yokohama—rumah lamanya? Akankah Tsukiashi membolos juga seperti siswa tadi ketika merasa bahwa dunia yang berjalan di sekolah ini tidaklah cocok untuknya?

Mikir apa aku? Mengusap wajah, Tsukiashi menertawakan dirinya sendiri. Semua kemungkinan yang melintas dikepalanya itu rasanya terdengar konyol. Sebab Tsukiashi Haruya hanya orang biasa.

Benar-benar biasa.

Tidak ada gunanya berdiam diri untuk meredakan kegugupannya kadang hilang dan kadang timbul, Tsukiashi memilih untuk mengabaikan kecamuk perasaan itu. Dengan langkah yang sedikit cepat, Ia kembali menelusuri lorong yang akan mengarahkannya menuju ruang guru.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang karena sempat salah berbelok, akhirnya remaja itu sampai di depan pintu yang diatasnya tergantung papan bertuliskan ruang guru. Dari luar dapat terdengar hiruk pikuk percakapan guru-guru selagi mereka bersiap-siap untuk memulai aktivitas mengajarnya.

“Aku ingin tahu berapa nilai bocah itu?”

“A-ahaha, itu ... dia dapat tiga.”

“Lagi?!”

“Sebenarnya, semua jawabannya benar meskipun aku harus ekstra teliti melihat tulisannya. Hanya saja masalahnya, dia hanya menjawab 3 soal, lalu ...”

“Lalu kabur?”

“Ehehe, begitulah. Dia bahkan lupa menuliskan namanya di lembar ulangan.”

“Astaga harus ku didik bagaimana lagi bocah itu?!"

Tiga puluh detik berlalu, Tsukiashi menyadari bahwa dirinya masih berdiri memandangi pintu putih itu tanpa alasan yang jelas. Kenapa aku jadi lebih sering melamun sejak tadi pagi? batinya tertawa.

Tsukiashi menjulurkan tanganya menyentuh handle. Dan pintu pun bergeser terbuka dari dalam sebelum Ia sempat melakukannya.

“Astaga!” Lembaran kertas tiba-tiba berhamburan ke muka Tsukiashi sampai membuatnya refleks melangkah mundur karena terkejut. Namun sosok di depan tampaknya lebih terkejut lagi dibanding Tsukiashi. Dengan wajah pucat, wanita berseragam guru itu merenggut, “Kamu membuatku kaget, Nak!”

Meet in a Dream [夢の中で会う]Where stories live. Discover now