Row Between Lovers

2K 211 2
                                    

Seumur-umur kenal Reza, aku nggak pernah sampai semarah kemarin tidak peduli seberapa iseng manusia asli Magelang itu. Bukan cuma aku, Kak Yeva, Ryan, dan El pun ikutan kesal lantaran dia begitu cerobohnya lupa menyalakan mute dan membuat Mas Baskara tidak sengaja mendengar percakapan kami. 

I mean, kalau aku ya sudah pasti ketiban sial, tapi yang lain juga ikutan terancam. Coba kalau kami lagi gibahin senior atau kantor? Bisa kelar perkara. Sebagai permintaan maaf alias sogokan, minum kami semua ditraktir dia yang mungkin bakal puasa sampai akhir minggu ini. 

Peduli amat. Paling kalau sudah nggak tega aku bakal nyumbang mie instan satu kardus.

Ngomong-ngomong soal sogok menyogok, ini yang sekarang lagi aku lakukan pada Mas Rokhi lewat dua bungkus rokok agar dia mau mengungkap persoalan CCTV. 

"Nggak ada Mbak, sumpah. Masa saya mau bohong sama Mbak Lunar?"

"Serius nggak sih Mas? Tapi kata El dia lihat orang malem-malem masang kamera. Kamera apa dong maksudnya kalau bukan CCTV?"

Mas Rokhi mencoba keras mengingat-ingat kejadian yang aku maksud sebelum seketika melonjak penuh semangat. "Oh saya inget Mbak. Itu maksudnya kamera webcam yang di ruang meeting. Kan ruang meeting gede adanya di wing tengah."

"Yakin nggak Mas Rokhi?" Jemariku sengaja mengetuk-ngetuk kotak rokok, mukaku dibuat datar. Taktik seolah mengancam supply rokok supaya dapat terbaca bila Mas Rokhi bohong. Kalau dia nggak jujur pasti mukanya terlihat panik. 

"Sumpah demi Allah, Mbak," berhubung tampang Sunda asli Garut-nya tidak menyiratkan tanda-tanda mencurigakan aku langsung menyodorkan rokok-rokok tadi. 

"Ya udah, makasih ya Mas Rokhi. Inget, saya nggak pernah tanya soal CCTV sama Mas ya. Oke?" Terjemahan halusnya, jangan sampai dia berani-berani gosip ke supporting staff dan driver lain kalau aku cari info perihal CCTV. Kayak aku nggak tahu aja dia sebelumnya pasti bakal langsung cerita.

Supaya makin yakin, aku memutuskan menginvestigasi sendiri ke ruang server di belakang pantry. Ya memang pengetahuan teknologiku terbatas, tapi tidak ada salahnya mencoba kan? Apalagi ketika hidupku yang jadi taruhannya.

Hanya saja seseorang mengalahkanku dengan menempati ruangan itu duluan. 

"Kamu juga jangan marah-marah gitu dong. Kan bisa dibicarain baik-baik Bi," aku baru dengan Thareq bicara pakai nada setinggi itu hari ini. Tentu saja aku jadi penasaran dan memilih perbuatan tidak terpuji menguping pembicaraan yang tidak seharusnya aku dengar.

"Aku tahu kamu berhak kesel, aku paham, Mikha. Tapi kan kamu tahu aku masih perlu ikut apa kata seniorku. Nggak bisa aku semena-mena ambil keputusan termasuk soal cuti. Masa udah bertahun-tahun kamu belum terima juga?"

Ah, pasti soal kesibukan kerja lagi masalahnya. Thareq itu orangnya berdedikasi sama pekerjaan. Jauh lebih dari pada aku, harus aku akui. Kalau aku yang keseringan tidak ada kepentingan ini sebisa mungkin pulang tenggo alias jam enam tepat supaya bisa rebahan atau nongkrong-nongkrong nggak jelas, kebalikannya Thareq yang padahal punya banyak kepentingan malah sering lembur di kantor. 

Pernah sekali-kalinya dia pulang tenggo itupun karena dia ada acara pengajian keluarga. Oh, dan waktu dia perlu mengurus acara tunangannya juga. 

Kadang aku tidak sadar kalau setelah pertunangan akan ada pernikahan. Artinya dia pasti lagi sibuk mempersiapkan semuanya. Kebayang sih seheboh apa. Orang acara tunangannya aja semeriah itu.

"Mikh, aku juga maunya tiap hari bisa antar jemput kamu. Kamu sabar-sabar dong sampai aku punya kantor sendiri."

Oh, aku lupa cerita pasti. Mikhaila itu punya kantor wedding planner sendiri. Jadi nggak heran kalau suka nggak relate sama Thareq yang kerja masih ikut orang. Sebagai konsultan pula.

ResignWhere stories live. Discover now