Sua yang Kurang Sui

13 1 0
                                    

A Short Story By Desni

03:00
Remang-remang.
Mataku terbuka pelan. Aku bukan terbangun sendiri. Alarm HP selalu setia membangunkan.

Tunggu, kenapa aku bangun jam segini? Sebentar...

Rupanya akan ada pertemuan. Tidak hanya aku dan Mas Vero yang bersua, namun orang tua kami akan saling beradu pandang.

Apa yang belum masuk ke tas, ya?
Jangan sampai ada yang ketinggalan. Ujarku dalam hati tiga kali. Kuucapkan seperti sedang merapal mantra.

16:30
Banyak drama selama perjalanan. Jika dijabarkan, pasti mengalahkan sinetron di channel ikan terbang. Tempat (baca: rumah) Mas Vero bukanlah bak istana atau perumahan. Namun, muat untuk kami. Perjalanan yang melelahkan tak bisa lepas dari tubuhku begitu saja. Rasa pening dan mual memelukku semakin erat. Rasa yang bercampur itu seketika memberontak saat aku di depan kamar mandi. Aku bukan gadis yang rajin, namun, kakiku belum pernah menginjak kamar mandi seperti itu.
Tak layak, pikirku.

Kami bersemuka kembali. Padahal baru minggu kemarin Mas Vero datang ke rumahku.
Sekarang sudah ada orang tua kami. Aku dan Mas Vero? Kami berada di kafe terdekat. Aku datang ke Mojokerto bukan untuk pertemuan keluarga, tetapi untuk menghadiri acara wisuda Mas Vero.
"Berapa lama di bus tadi, Yang?" Mas Vero membuka percakapan setelah memesan minuman.
"Alhamdulillah cuma bentar, tadi lewat tol." Jawabku yang kini memakai tunik ungu muda.
"Kita di sini dulu, ya. Aku kangen me time sama kamu." Sambungku, "aku baru sadar, kita kan udah ketemu minggu kemarin."
"Hahahahaha. Kamu pelupa." Mas Vero diam sejenak, "eh, penyakit itu gak menular, kan?" Tanyanya serius.
"Penyakit apa?" Tanyaku balik tak kalah serius.
Mas Vero memandang jauh ke luar jendela. Pelan, Mas Vero mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.
Tidak. Ini bukan adegan romantis. Batinku, sambil menahan nafas.
"Penyakit... Pelupa." Jawab mas Vero datar.
"Ih! Gak lucu, Mas!" Tanpa sadar, orang-orang sudah menoleh ke arah kami.
Sepertinya suaraku lebih keras ketimbang musiknya. Atau mereka mengira akan ada adegan romantis antara kami? Jangan harap.
Sepulang dari kafe, mamaku langsung memanggil, "Nak, sini." Tak butuh basa-basi, mama langsung mengucapkan, "Fokus kuliah, nggih. Jangan kebanyakan pacaran. Masa depanmu masih panjang. Kamu boleh nikah setelah sarjana."
Ada yang menggelegar, namun bukan petir.
Ada yang retak, namun bukan gading.
Dadaku terasa tertusuk. Seketika.
Kenapa? Ada apa? Apa hubungan kami gak direstui? Kenapa kuliahku dijadikan alasan? Apa aku ngelakuin kesalahan fatal?

Dinginnya malam pergi dengan cepat. Tak terasa pagi menjelang. Walau kantukku sulit hadir.
Tidak betah. Kepikiran. Keduanya.
Aku ingin sekali mengatakan apa yang ada di pikiran dan kalbu. Seperti biasanya.
Tidak. Sekali lagi. Aku harus tetap tersenyum dan menganggap tidak ada yang salah. Akan ada solusi untuk semua ini. Semoga saja.
Aku mengakhiri lawatan di kota yang baru kukunjungi dengan bermain di air terjun Sanggar.
Kuamati sebuah foto lamat-lamat. Air bening mengalir di pipi, namun tak sampai menetes. Kulihat kami berenam yang tersenyum Pepsodent. Ucapan Mas Vero membuat hatiku sedikit terobati.
"Sabar, ya. Jangan fokus menanti. Biar gak kerasa capeknya menunggu. Kamu akan sarjana, terus nikah."

Cerpen DesniWhere stories live. Discover now