🌱 5. Sedang mencari 🌱

6.8K 558 7
                                    

Haven memukuli wajah Mika serta menendang apapun yang bisa diraih kakinya. Kalau tes itu dilakukan, hidupnya berakhir. Papa akan mencabut semua fasilitasnya dan ia diusir dari rumah. Haven tak akan biarkan itu terjadi sekalipun dirinya terjebak dalam tubuh bayi.

Mika sukses dibuat kesal oleh bayi yang ia gendong. Tubuh gemuk itu semakin berat saat bergerak-gerak. Jeritannya seakan ingin membuat telinganya tuli. Apalagi pipi Mika kena tampar berkali-kali. Saat akan membenahi pelukannya, tangannya licin. Haven pun meluncur bebas ke lantai. Tubuhnya jatuh terduduk. Teriakan keras seorang bayi mengalihkan perhatian. Semua orang terkejut. Atmosfer berubah tegang. Ditambah tangisan Haven, keadaan rumah berubah panas. Farel menutup mulut syok sementara Aqilla bergegas mengambil Haven. Ia memeriksa tubuh Haven dengan saksama

Mika, Farel, dan Theo merasa bersalah karena mengacaukan keadaan. Mika minta maaf berkali-kali.

🌱🌱🌱

"Mungkin nggak sih kalo Aqilla ada hubungan sama Haven?"

"Mulut dijaga. Gue kenal Qilla dari bayi, anaknya pinter, nggak mau repot. Mana mau ngurusi Haven. Tadi juga dia nanya siapa Haven, kan? Otomatis Qilla nggak tau siapa itu Haven." Mika membalas dengan emosi.

Farel melirik gadis di sebelahnya. Mika memiliki kulit sawo matang. Wajahnya kecil dengan mata coklat. "Iya, iya. Qilla emang cantik, pinter, nggak neko-neko. Nggak kayak lu."

"Apa lo bilang?!"

"Gue bilang lo jelek."

Amarah berkumpul di kepala Mika. Namun, ia menahannya. Saat marah dirinya mengucapkan kebenaran. Dengan mendengus, Mika berbelok ke kanan di perempatan.

"Theo, yuk kita ke gang belakang mall," ajak Farel tiba-tiba.

"Ngapain?"

"Ya buat cari jejak Haven. Terakhir kali dia kan di sana. Mungkin aja kita bisa nemu CCTV di sekitar sana. Ayo."

Theo menggeleng. Bagian berpikir, ia suka, tapi bagian bertindak ia tidak mau. "Udah sore, gue balik dulu," pamitnya dan langsung pergi.

Farel mengerucutkan bibir. Hanya tersisa dirinya yang bersemangat mencari Haven serta asal usul Irfan. Laki-laki itu menghela napas panjang kemudian melangkah ke sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler.

🌱🌱🌱

Aqilla menyendok bubur dan mendiamkannya sejenak supaya lebih dingin. Lalu ia mendekatkan sendok ke Haven. "Anak pinter," pujinya setelah Haven menelan makan malamnya.

Haven tidak menggubris pujian itu. Ia sedang berpikir keras cara membuat Mika mematahkan kutukannya. Kesempatan bertemu gadis itu sangat sedikit. Haven tidak bisa langsung menemuinya. Mika harus berada di rumah ini jika ingin mengajaknya bicara. Haven menggaruk pipi. Berada di tubuh ini sangat sulit. Tubuh gemuk ini mudah lapar, haus, dan cengeng. Apalagi buang air tanpa sadar. Haven bergidik ngeri mengingat saat-saat pertama kali dirinya memakai popok.

"Qilla, ayo makan. Biar Bunda yang suapin Irfan." Bunda keluar dari dapur. Kakinya melangkah menuju ruang tamu.

Aqilla mendongak. "Iya, Bunda," sahutnya dan meletakkan mangkuk di meja. Gadis itu pun pergi ke dapur.

"Pesawatnya datang. Ngeng ... ngeng."

Haven bergidik mendengarnya. Ia menatap sendok yang diterbangkan layaknya jet tempur. Dirinya bisa makan tanpa dibujuk seperti itu. Haven menunjukkan mulutnya, mengisyaratkan agar langsung menyuapinya. Namun, sepertinya Bunda tidak berniat menuruti. Dengan terpaksa Haven bersabar.

Selesai makan, Haven kabur ke televisi. Kepalanya menengok ke sana kemari mencari remote. Mungkin saja Papa sudah mengerahkan orang untuk mencarinya dan berita hilangnya Haven akan masuk televisi atau surat kabar. Haven menekan tombol berkali-kali saat tidak menemukan berita terkait dirinya. "Iih, iih. Ta!" "Ih, masa nggak ada?"

Jari Haven berhenti menekan remote saat muncul kartun dua anak berkepala botak. Haven membanting remote lalu tersenyum lebar.

Aqilla kembali dan langsung mendengar tawa bayi yang renyah. Wajahnya menghangat melihat sebuah tubuh kecil bertepuk tangan gembira. Tidak mau menganggu, Aqilla berjalan perlahan ke sofa. Secara diam-diam ia mengamati punggung Haven yang gemetar beberapa kali karena tertawa. Anak kecil mudah menemukan kebahagiaan, batinnya.

Lima belas menit kemudian, Haven mendapatkan kembali kesadarannya. Ia memeriksa tubuhnya dan tidak menemukan keanehan, kecuali air liur yang bertebaran di wajahnya. Haven bergegas mengelapnya. Di tengah kesibukannya, terdengar suara benda jatuh dari belakang.

Aqilla hendak mangambil gelas di meja. Namun, ia ceroboh dan malah menjatuhkannya. Ketika Haven menoleh ke belakang, spontan Aqilla tertawa. Biasanya bayi ikut tertawa bila orang di sekitarnya tertawa. Namun, perkiraannya salah.

"Huwaaa!"

Itu bukan karena terkejut, melainkan malu. Walau segala yang dilakukan tubuh bayi ini tidak masalah di mata orang lain, bagi Haven itu masalah. Bahkan kini Aqilla tertawa. Itu sangat melukai harga dirinya.

"Irfan kaget ya? Maaf, Kak Qilla nggak sengaja. Irfan mau maafin Kak Qilla?"

Haven menggeleng. Sekarang ia sudah dendam. Merangkak mendekati gelas, ia meraihnya, kemudian melempar ke arah Aqilla. Biar sekalian gadis itu kesakitan, itu sepadan dengan perbuatannya. Namun, reaksi yang ditunggu Haven tidak muncul. Ia pun mengambil gelas dan melemparnya kembali. Tetap tak ada juga jerit kesakitan. Sambil berteriak, Haven memukuli kaki Aqilla, berharap dapat mendengar teriakan gadis itu. Lalu lagi-lagi telinganya mendengar suara tawa Aqilla. Sekarang gadis itu juga melangkah mundur seakan mereka berdua sedang bermain.

"Lin!" "Nyebelin!"

Aqilla terus melangkah mundur. Sangat menggemaskan wajah polos yang memerah. Kemudian Aqilla merasa cukup. Ia berhenti dan menggendong Haven. Lantai rumah keras, pasti sakit untuk merangkak di atasnya, pikirnya.

"Lin!" "Nyebelin!"

"Iya, iya. Maaf ya? Irfan gemes banget, jadinya Kak Qilla jailin," sesal Aqilla.

Haven menggeram lalu bersiap memukul lagi. Namun, ketika tubuhnya dipeluk tiba-tiba, niatnya terhalang. Rasa nyaman dan hangat, juga tepukan yang lembut membawa Haven mengingat sosok yang hampir terlupakan. Meski ia sering berbuat kenakalan, sosok itu tetap menyayanginya. "Ma," lirihnya.

Aqilla mendengar itu. Ia menghela napas. Untuk anak sekecil ini, pasti sangat merindukan ibunya. "Tunggu ya, Irfan. Kak Qilla lagi cari Mama sama Papa Irfan," beritahunya.

The Prince's CurseNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ