Bagian 4

123 13 0
                                    

RAMAYANA
POV Rama

"Disaat kau hilang, disitulah aku sadar bahwa aku membutuhkanmu. Bukan karena kau cantik dan menawan, tapi karena aku mencintaimu. Tunggulah aku Shinta."
~Rama

***

Aku adalah Sri Rama, Putera Mahkota dari Kosala yang gagal naik tahta. Aku adalah ksatria gagah perkasa yang berhasil mempersunting Shinta, sang puteri yang kecantikannya melebihi bidadari, yang wangi kulitnya tercium dari jauh, dan wanita yang lemah lembut serta berbudi luhur.

Aku adalah pujangga cinta yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk merebut kembali kekasihnya dari sang Dasamuka. Aku adalah ksatria terhebat di tanah India yang tak malu meminta bantuan bangsa Wanara demi menyelamatkan Shinta.

Akhirnya setelah tiga tahun pencarian, aku mendengar kabar Shinta. Kekasihku ditawan oleh raksasa keji di kerajaan Alengka tepat di seberang lautan. Segera kuperintahkan pasukan besarku dan penghuni lautan untuk membuat jembatan. Dengan bantuan dewa pengatur samudra, jembatan itu terwujud. Kami pun menyeberang seperti air bah yang akan menenggelamkan Alengka.

Pertempuran dimulai.

Pasukan Wanara yang dipimpin Hanoman serta ribuan ksatria hebat dari berbagai kerajaan di India diserang oleh pasukan raksasa yang dipimpin langsung oleh Putera Mahkota Alengka, Indrajit. Teriakan semangat, dentuman pedang, dan darah menyiprat kemana-mana. Mayat bergelimpangan. Keringat bercampur dengan debu dan darah. Pertempuran itu berlangsung sepanjang hari.

Karena kurangnya pengetahuan tentang medan tempur, pasukan kami terdesak hingga panah sakti Indrajit merobohkan Lesmana dan melukaiku. Aku pun membawa pasukan mundur ke gunung Suwela.

Saat itulah sang Garuda, saudara Jatayu, menyembuhkanku dan Lesmana, serta membawa pasukan tambahan. Pasukan kami pun kembali ke medan tempur hingga Indrajit pun akhirnya tewas terbunuh di tangan Lesmana. Taktik perang Hanoman sangatlah hebat, kami terus maju mengalahkan para raksasa hingga menuju istana.

Di halaman besar istana yang hangus itu berdiri Rahwana dengan marah dan Shinta yang amat kurindukan di belakangnya. Rahwana mengacungkan senjatanya padaku dan berseru lantang, "Rama! Aku mencintai Shinta, bahkan lebih dari engkau. Aku rela melakukan apa pun untuknya. Aku benar-benar mencintainya, bahkan sebelum dia lahir. Di dalam tubuhnya ada sedikit sukma istriku, Setyawati. Tidak seperti kau yang menikahinya hanya karena memenangkan sayembara. Sebenarnya perbuatanku yang kau sebut mengacau ini adalah usahaku untuk mendapatkan cintaku kembali."

"Biarlah Shinta yang memutuskan," teriakku.

Hening. Semua orang menatap Shinta. Dengan gelisah dia berkata, "Rahwana, kau sesungguhnya adalah raksasa penuh cinta, tapi kau telah dibutakan kebencian. Dan aku adalah wanita yang telah disumpah untuk tulus dan setia. Pantang bagiku untuk mengkhianati Rama dan memilihmu. Aku mencintai Rama dengan segenap hatiku."

Ucapan itu benar-benar mematahkan hati Rahwana. Dia berteriak putus asa hingga tanduknya muncul dengan megah. Pertempuran antara aku dan Rahwana memang tak bisa dihindari, kami saling mengangkat senjata dan mulai menyerang. Kami berdua sama-sama digdaya. Kami bertarung di bumi dan langit Alengka, dentuman benturan pusaka memekakan telinga dan kilatan cahaya ajian kami menyilaukan mata.

Ternyata kesaktiannya bukanlah isapan jempol belaka. Saat panahku memutuskan lehernya, kepala Rahwana selalu menyatu lagi dengan badannya. Begitu terus hingga ratusan kali. Pertarungan berlangsung begitu dahsyat hingga tujuh hari tujuh malam. Lalu aku ingat ucapan Wibisana, adik Rahwana, yang memberitahuku kelemahannya. Pada akhirnya panahku menembus jantung Rahwana dan memisahkan kepalanya. Sebelum mereka menyatu dan hidup kembali kutanam tubuhnya diantara dua gunung, sementara kepala Rahwana dibawa Hanoman untuk melemparnya ke perut gunung Sumawana. Bahkan saat Rahwana diujung maut dia masih mengucap nama Shinta. Oh, sungguh raksasa yang patah hati.

Rahwana akhirnya telah tewas, dan Shinta kembali kepelukanku.

Pesta besar pun diadakan di Alengka. Kutepati janjiku, kulantik Wibisana menjadi raja baru dan mengubah nama kerajaan menjadi Singgelapura. Istana yang dibakar Hanoman pun digantikan istana baru. Alengka negeri para raksasa itu pun tinggal sejarah.

Pada saat itu datanglah adik tiriku, Barata, yang memintaku untuk kembali ke Ayodya. Sudah empat belas tahun ternyata sejak pengusiranku, itu artinya masa pengasinganku sudah berakhir. Barata ingin kembali menyerahkan tahta Kosala padaku. Sudah waktunya aku hidup bahagia di istana, tapi bisik-bisik dalam kepalaku membuatku gusar.

Di suatu malam aku bicara pada adikku, Lesmana. "Wahai adik kesayanganku, aku sedang gusar saat ini. Aku akan segera menjadi Raja, tapi aku takut menjadikan Shinta sebagai Ratu Kerajaan."

"Mengapa, Kakanda? Apa yang kau ragukan?" tanya Lesmana.

"Tiga tahun Shinta lepas dari pandanganku. Tiga tahun Shinta berada di rumah Rahwana. Apakah Shinta tetap suci? Dia dijaga belasan raksasa bengis. Mampukah Shinta menjaga kehormatan dirinya?"

Lesmana amat terkejut dengan pertanyaanku. "Omong kosong, Kakanda. Itu hanya pemikiran kotor. Apa kau sungguh akan meninggalkannya di negeri bekas penjaranya ini?"

Kupandang bulan dengan putus asa. "Hanya ada satu cara untuk menjadikannya Ratu Kosala. Yaitu pembuktian api suci."

"Kau sudah gila, Kakanda. Percaya adalah pondasi sebuah cinta. Jika kau terus berprasangka kau akan kehilangan pondasi itu. Pikiran kotor itu tak akan ada habisnya, besok Shinta pasti bisa melewati api suci. Tapi Kakanda apa bisa melewati api dalam dirimu sendiri. Suatu saat nanti kejadian ini akan tetulang lagi."

Malam berikutnya, setelah kusampaikan keputusanku itu pada adik-adikku, aku makin gusar. Melihatku risau, Shinta pun bertanya ada apa. Awalnya aku ragu, tapi aku tak tahan menahan prasangka itu. Setiap kata yang terucap dari mulutku seperti duri yang menusuk daging. Oh Shinta, maafkan aku yang terlalu menyayangimu hingga cemburu yang tak beralaskan.

Berulang kali Shinta menyangkalnya. Hatiku sangat percaya padanya, tapi otakku tidak. Rakyat juga berpikiran yang sama, kabar burung tentang Shinta telah meracuni Ayodya. Bahkan tanpa Shinta di dalamnya.

Ingin sekali aku percaya, tapi aku tak bisa menghilangkannya dari benakku. Oh Brahma, mengapa aku tidak bisa seperti adik-adikku yang mudah percaya pada Shinta?

Titah kerajaan pun turun. Jika Shinta memang suci, api suci tak akan pernah menyentuhnya. Tapi bila sebaliknya, dia akan terpanggang hingga mati. Sungguh aku masih mencintainya lebih dari apapun. Begitu pula Shinta, dia rela melewati kobaran api demi diriku.

Lesmana memintaku membatalkan ujian itu. Bukan dia tak yakin Shinta bisa melewatinya, tapi dia takut aku tak bisa melawati api dalam diriku sendiri.

"Apa kau masih mencintai Shinta?"

"Tentu. Tapi keputusan sudah dibuat."

Lesmana sangat kecewa dengan keputusanku. Akhirnya dia pergi untuk menjadi pertapa. Katanya ini adalah sebuah kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi dari sebuah cinta, dan aku telah kehilangan pondasi itu.

Ujian itu diadakan di halaman istana baru Alengka dan disaksikan ribuan orang. Shinta sudah bersiap melakukan ritual, dia dibalut pakaian putih, wajahnya tetap jelita walau tanpa riasan dan rambutnya terurai panjang. Wangi kulitnya memenuhi halaman istana. Api ditengah halaman sudah berkobar tinggi.

Jujur aku takut dia tak bisa melewati ujian ini, aku akan kehilangan dia selamanya. Tapi aku harus melakukannya dan dia pasti bisa melaluinya. Pasti. Itulah kata yang aku kukuhkan dalam hatiku saat ini. Sementara Shinta tak menunjukkan keraguan sedikit pun saat mengambil langkah pertamanya menuju kobaran.

Genderang mulai ditabu, lonceng berdenting di setiap langkah Shinta, nyanyian para Resi mulai didendangkan. Jantungku berdetak cepat saat Shinta melangkah masuk ke kobaran api, aku memejamkan mata, tak sanggup melihat.

Benar kata Lesmana, semenit kemudian Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran. Oh, hatiku sangat lega. Ternyata dia masih suci, tak terjamah oleh Rahwana. Begitu selesai aku pun memeluknya, meminta maaf atas keraguanku padanya.

Akhirnya kami pun kembali ke Kosala dengan perasaan senang. Aku memerintah kerajaan dengan damai, hingga suatu saat aku mendengar kabar kotor bahwa Shinta menipuku. Api suci itu adalah kebohongan.

Benarkah? Oh, celakalah aku.

###

RAMAYANA: The Legend of LoveWhere stories live. Discover now