Bagian 6

97 9 0
                                    

RAMAYANA
POV Valmiki

"Buat apa cinta jika Rama tidak percaya pada Shinta, buat apa sayang jika Rama terus berprasangka yang bukan-bukan."
~Valmiki

***

Aku adalah Valmiki, seorang Resi yang menulis kitab yang berisi syair-syair Ramayana. Aku adalah Resi paling arif dan bijak di dunia yang hidup dalam hutan rimba. Aku satu-satunya Resi yang menolak duduk di dewan kerajaan semasa Barata rajanya. Aku adalah petapa tua yang menyelamatkan Shinta di tengah hutan dari terkaman beruang gila saat Lesmana meninggalkannya di tepi sungai Gangga.

Dia, Shinta, yang diasingkan dalam hutan oleh suaminya sendiri hanya karena prasangka dan kabar burung yang tidak dapat dipercaya. Aku yang membawanya ke padepokan yang terletak jauh diantara pepohonan.

Di padepokan, Shinta merahasiakan identitasnya, dia ingin berbaur dengan orang-orang tanpa ada gelar Ratunya. Dia tidak ingin diperlakukan istimewa. Duhai, sungguh mulia pribadinya. Tapi, hatinya hancur tak tersisa.

Setiap hari dia pergi ke air terjun sungai Gangga untuk menyanyikan lagu-lagu rindu, mengingat bagaimana sebuah apel mempertemukannya dengan Rama, dan wajah gembira saat Rama menarik busur Dewa Siwa di sayembara. Hanya cinta yang bisa membuat seseorang sesakit itu. Mungkin dimakan beruang lebih baik baginya daripada hidup seperti ini.

Hari demi hari berlalu, perutnya mulai membesar. Ternyata dia sedang mengandung, hingga beberapa bulan kemudian ia melahirkan. Anak kembar yang diberi nama Lawa dan Kusa yang tak pernah tahu Ayahnya punya mereka. Kelahirannya disambut oleh alam semesta. Angin bertiup girang, bunga-bunga bermekaran, dan seluruh penghuni padepokan menghormatinya. Bahkan Dewa Brahma turun ke bumi dan menghadiahi mereka dengan panah sakti mandraguna.

Shinta menitipkan anaknya padaku agar aku mendidiknya menjadi pemuda terhormat seperti Ayahnya, Rama.

Aku selalu teringat ucapan Shinta saat ia melahirkan. Dia berbisik pada kedua bayinya, "Semuanya akan baik-baik saja, kalian dan Ibu akan kuat, Nak. Sepuluh tahun lagi Ayah kalian akan menjemput kita. Bersabarlah. Waktu takkan mampu melunturkan cinta kami."

Tapi sepuluh tahun berlalu Rama tak kunjung datang. Kemana dia sebenarnya? Padahal di sini tak ada Rahwana yang akan menghadangnya. Pertanyaannya sekarang, apa Rama sudah tidak mencintai Shinta lagi? Apa Rama sudah melupakannya?

Untuk menjawabnya aku pergi ke istana Ayodya, aku melihat Prabu Rama yang gagah perkasa sedang duduk di tahtanya. Dari matanya tersirat bahwa dia masih mencintai Shinta seperti pertama bertemu, dia juga sangat merindukan Shinta. Dia bahkan membuat patung Shinta dari emas untuk mengobati kerinduannya. Setiap saat dia menyebut namanya. Tapi resah dan curiga menghapus itu semua. Dia masih menyimpan prasangka buruk pada Shinta.

Sepuluh tahun pengasingannya sudah berakhir. Tapi tak ada kabar sedikit pun dari istana. Dua tahun kembali berlalu. Kini Shinta tak lagi pergi ke air terjun, melainkan ke gerbang padepokan untuk menunggu suaminya datang. Kini putra kembarnya sudah hampir dua belas tahun, mereka menjadi sangat hebat seperti Ayahnya. Seperti yang dijanjikan Brahma.

Waktu seakan melambat, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan puteri Wideha yang melegenda itu masih tersisa banyak, tapi pengharapan yang tak kunjung datang menghabisi banyak hal.

Melihat ibunya terus bersedih sepanjang waktu, suatu hari Lawa dan Kusa pergi ke kamarku untuk mencari tahu. Mereka menemukan kitabku, kisah awal Ramayana yang kutulis berdasarkan cerita Shinta. Tentang bagaimana ibunya setia menemani Rama dipengasingan hingga diculik Rahwana, namun setelah bebas kesuciannya dipertanyakan, bahkan melewati panasnya api tidaklah cukup.

Marah.

Benci.

Sakit.

Itulah hal yang dirasakan Lawa dan Kusa saat tahu Ayahnya adalah seseorang yang lapuk hatinya dan membuat Ibunya terus bersedih. Tanpa sepengetahuan seorang pun mereka pergi ke Ayodya untuk memenuhi amarahnya dengan membawa busur pemberian Dewa Brahma, hadiah kelahiran mereka, busur yang sakti mandraguna seperti busur Rama.

Mereka menyerbu satu demi satu benteng kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar.

Hari itu, Kosala sedang mengadakan Asmaweda, yaitu upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah kerajaan. Negara mana dilewati kuda itu harus tunduk pada Rama dan membayar upeti, kalau tidak maka menyatakan peperangan. Kuda itu bukan sembarang kuda, dia adalah hewan yang patuh pada tuannya. Melihat Lawa dan Kusa yang di dalam tubuhnya mengalir darah Rama sebagai tuannya, ia berlutut pada dua anak kecil itu.

Lawa dan Kusa sangat takjub pada kuda itu. Mereka memeriksa sadelnya dan menemukan mahkota kerajaan Kosala. Lalu diperintahkanlah kuda itu pergi ke tepi sungai Gangga untuk menemui Shinta. Mereka mengikat kalung buatan ibunya di mahkota Rama sebagai tanda bahwa mereka akan segera mengembalikan tahta ibunya sebagai Ratu Kosala. Berangkatlah kuda itu dengan cepat.

Mendengar ada keributan dan kudanya diganggu, Prabu Rama sangat murka. Diutuslah kesatria terhebatnya bersama bala tentara Hanoman yang dipanggil kembali untuk mengatasi hal tersebut. Pertumpahan darah pun terjadi. Tapi siapa sangka pasukan Wanara yang mampu menghancurkan negeri para raksasa menjadi debu, kalah dalam melawan dua anak kecil.

Si Kembar melepaskan satu anak panah ke langit, lalu datang beribu anak panah yang turun seperti hujan. Seketika Pasukan Wanara menjadi tumpukan bangkai kera. Terpaksa Hanoman harus mundur kembali ke Ayodya.

Mendengar kekalahan itu Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala untuk berkumpul di istana, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.

Sementara itu kuda putih utusan Lawa dan Kusa sudah sampai di padepokan. Betapa senangnya Shinta melihat ada kuda kerajaan yang datang. Dia berlari girang menuju kuda itu, mengira Rama datang menjemputnya. Tapi kesenangannya tinggal harapan saat melihat kalung anak-anaknya terikat di mahkota Rama yang dibawa sang kuda.

Shinta pun panik dan berseru sedih padaku, "Duhai Resi Valmiki Yang Agung, apa yang harus aku lakukan? Orang-orang yang kucintai akan segera berperang. Oh Resi, apakah sebenarnya cinta itu?"

Segeralah aku dan Shinta berkuda secepat mungkin ke Ibukota sebelum pusaka Dewa Siwa dan Brahma bertemu dan menghanguskan bumi India.

Di Ayodya, sambil mendendangkan syair tentang Rama yang mengalahkan Rahwana demi Shinta yang dibacanya di bukuku, Lawa dan Kusa dengan mudahnya menembus pasukan Kosala. Manyat bergelimpangan, jalanan dipenuhi darah. Penduduk Ayodya yang bertabiat buruk berseru ketakutan.

Dengan debu di bawah kaki kedua anak itu dan kebencian dihati mereka. Lawa dan Kusa menjebol gerbang istana lalu memasuki halaman, melihat Rama di atas singgahsana dengan busur di pungungnya. Pertempuran besar itu hanya soal waktu.

Mereka semua dikuasai amarah. Lawa dan Kusa menarik busur mereka. Begitu juga Rama.

Ketegangan menyelimuti Ayodya.

Hingga tiba-tiba suara teriakan Shinta yang tersengal menghentikan mereka. Kami sudah sampai. "Hentikan! Berhenti. Aku mohon!" Shinta langsung memeluk anak-anaknya.

Perlahan Rama menurunkan busurnya. "Shinta, kaukah itu?" Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya. Dengan lunglai tak percaya, Prabu menuruni tangga. "Oh Adinda, ini benar-benar kau. Tapi siapa anak-anak ini? Mengapa kau memeluk mereka dengan linangan air mata, duhai Kekasihku?"

"Mereka adalah anak-anakmu, wahai Prabu Sri Rama. Mereka lahir dari rahim Kanjeng Dewi Shinta di padepokanku," sahutku mantap.

"Apa?" Rama terkejut setengah mati. "Tidak mungkin, kau pendusta. Shinta selama ini di pengasingan, bagaimana dia bisa hamil."

Hening.

"Kecuali..."

Kecuali...

"Kecuali... Shinta telah berzina dengan laki-laki lain."

#*#*#

RAMAYANA: The Legend of LoveWhere stories live. Discover now