bab 3

7 7 0
                                    

Sore itu ....

Mobil van putih terparkir tepat di halaman sebuah vila dengan tulisan "Dirgantara Villa" terpampang di sana. Orang-orang yang menaiki mobil itu turun satu persatu.

Kara dengan kamera di tangannya hanya sibuk memotret alam sekitar.

"Jauh banget, ya, ternyata? Tapi gak main sih vilanya mewah banget!" Seru Kheya dengan takjub memerhatikan vila yang berada tepat di hadapannya. Ia terpesona, bahwa di tengah hutan ada vila yang seperti ini.

"Iya, terbayar dengan capeknya kita yang sedari tadi entah berapa lama terlelap dalam alam mimpi." Loly menyahut.

"Ya ... itu, lo, Lol, dari tadi sibuk mendengkur ... aja." Kheya menimpalinya.

"Eh, siapa yang mendengkur? Enggak kok! Kayaknya, tadi di perjalanan pada tidur semua gak, sih?"

"Ah, iya! Makanya dari tadi kepala gue rasanya berat gitu. Padahal gue paling susah buat tidur, kecuali kalo minum obat dulu sebelumnya," ujar Kheya ragu-ragu.

"Udah, itu namanya anugerah! Bisa tidur, repot, susah tidur, repot! Maunya apaan, sih." Loly menimpalinya sambil memerhatikan Haze hanya berdiri mematung memandangi Zora yang tengah sibuk menelpon di pojok halaman dengan raut wajah serius.

"Eh, Zora itu ngapain, sih, dari tadi sibuk telponan mulu?" Loly tiba-tiba mendekati Haze.

Haze pun menyahutinya, "Mungkin dari Nyokapnya, kali."

"Lo gak tahu Zora apa? Mana ada Zora ditelponin nyokapnya," Kheya menyahutinya, bergabung untuk bergosip ala emak-emak arisan.

"Emangnya kenapa?" tanya Haze penasaran.

"Bokap Nyokap Zora itu mana peduli dengan kehidupan anaknya, paling hamil di luar nikah pun gak bakal peduli," terangnya dengan serius.

Haze hanya mengangguk-ngagguk kecil mendengar jawaban Kheya. Ia berlagak tidak peduli tetapi isi kepalanya seakan-akan tengah bekerja. Ia yang memang baru mengenal Zora hanya setengah tahun itu, dibuat makin penasaran dengannya.

"Gue juga penasaran, sih. Selama berangkat dari rumahnya pun dia sibuk berkutat sama HPnya terus. Udah kayak orang sibuk nge-olshop ikan teri aja," celoteh Kheya seadanya.

"Emangnya ada?" tanya Loly serius.

"Iyalah ada, ikan asin pun lagi ngetren-ngetrennya!" Timpal gadis berkacamata menggoda Loly yang memang sungguh-sungguh atas pertanyaan yang membuat Kheya mulai sedikit kesal terhadapnya.

"Kak Isabell pernah beli?" tanyanya lagi dengan polosnya.

"Huh! Iya buat hadiah ulang tahun lo nanti!" timpal Kheya frustasi.

"Iiiihhh!!" Loly kesal dengan memanyunkan kedua bibirnya.

Sementara para gadis sibuk dengan perbincangan yang tidak penting, para lelaki sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kenzo berbincang dengan kepala staf di sana, Kara berkutat dengan kameranya, Gaska duduk dengan Ghio sambil memerhatikan orang yang berbeda.

Jika Gaska memerhatika Haze karena ia suka, lain dengan Ghio memerhatikan Zora karena hal yang tak dapat terbaca. Seakan-akan mengiyakan perkataan teman-teman gadisnya itu benar, semenjak Zora berangkat tadi, ia memang bertingkah aneh.

*******

"Kenapa lo bisa seyakin itu?" sahut Kara dari kejauhan, menghampiri Ghio yang sudah menuduh saudarinya sembarangan.

"Tanya aja sama adik kesayangan, lo itu! Lagian di sini kita udah ngerasa aneh sedari tadi setelah nyampek ke vila ini!" Ghio menghentikan ucapannya sejenak, lalu melihat Isabell dan berkata, "Isabell, lo, tadi, sama Loly, Kheya dan Haze juga ngerasa aneh 'kan dengan tingkah Zora yang selalu sibuk telponan sama orang?"

Isabell mengangguk ragu, sedangkan Loly memegang tangan Ghio agar ia bisa menahan emosinya.

"Hanya telponan aja, lo sangkut pautin sama kejadian ini?" tanya Kara, dengan penuh ejekan.

"Huh? Lo udah lupa?" tanyanya, melangkah mendekat pada Kara.

"Maksud lo, apa? Huh!" serunya sembari mendorong Ghio.

"Jeha! Lo udah lupa sama Jeha?" teriak Ghio lantang.

Sesaat, suasana menjadi hening. Mata Ghio mulai memerah, lalu mendobrak meja yang berada di hadapan Kenzo-Si ketua markas the empire. Ghio pergi dengan frustasi. Loly pun mengikutinya.

"Kak Ghio, tunggu!" teriak Loly cepat-cepat menghampiri Ghio yang mengepalkan tangannya.

"Ini pesta apaan, sih, kok tegang banget!" Sahut gadis dengan rambut yang dikuncir dua, menghampiri Leo.

"Mungkin memang sebaiknya kita pergi istirahat dulu saja."

"Lalu? Gak mau cari siapa yang isengin kita?"

Tiba-tiba ada teriakan dari dalam. Terdengar seperti suara Zora. Sehingga Kara bergegas menuju ke kamarnya, lalu disusul oleh yang lainnya.

Sesampainya di kamar Zora, dengan napas yang memburu karena panik, Kara memanggil nama saudarinya itu. Sebab, tidak ada Zora di sana. Perlahan, Kara melangkah mendekati pintu kamar mandi yang terbuka sedikit. Ia mendengar suara Zora yang ketakutan samar-samar. Ketika ia membuka pintu itu perlahan terlihat Zora meringkuk di pojokan dengan memeluk lututnya sendiri.

"Hei, lo kenapa?" tanya Kara khawatir layaknya seorang kakak.

Zora meracau, "Jangan mendekat ... pergi sana ... pergi, pergi," gumamnya dengan tubuh yang sedikit bergetar.

"Hei, Zo!" Kara menyentuh pundak Zora yang hanya mengenakan tanktop putih polos. Zora menghempaskannya dengan kasar sebelum tahu bahwa yang memegangnya itu Kara.

Secepat kilat pun matanya berbinar, lalu menyemburkan tubuhnya di pelukan Kara, setelah menyadari bahwa itu kakakanya sendiri.

"Ada gumpalan rambut di sana!" teriak Zora sambil menutup matanya.

"Di mana?" tanyanya bingung.

"Di sana!" teriak Zora lagi dengan menunjuk-nunjukkan jarinya ke lantai dan dinding kamar mandi.

Kara kebingungan melihat tingkah saudarinya. Ia tidak melihat apapun di sana. Sehingg membuatnya tidak ada pilihan lain, selain menengankan sang adik. Tubuh Zora masih bergetar dalam pelukan Kara. Ia hanya mengusap-ngusap kecil tubuh adiknya yang ringkih itu.

Setelah sedikit lebih tenang, Kara menyuruh Zora untuk istirahat saja dan mengganti pakaiannya.

"Emangnya kamu tadi kenapa, Zo?" tanyanya lagi penasaran.

Pertanyaan yang dilontarkan Kara berulang kali itupun tak dijawab sama sekali oleh Zora. Pikiranya masih terngiang-ngiang dengan hal yang ia lihat barusan. Ia merasa hal itu diluar nalar.
Terbayang dalam ingatannya, nampak jelas terlihat olehnya, bagaimana gumpalan rambut hitam turun bagaikan air dari dinding kamar mandi. Merayap ke arahnya, menyentuh kakinya yang telanjang. Sentuhan itu sampai saat ini seperti masih ia rasakan, membuatnya mengusap-ngusap kasar kakinya yang bersih karena memang tak ada sehelai rambut pun di sana.

Kara hanya memerhatikan tingkah adiknya itu. Perilakunya yang aneh membuat Kara bingung harus berbuat apa.

"Aku mau pulang!" rengeknya.

"Ya, besok kita pulang. Sekarang lo tidur, aja dulu," jawabnya penuh perhatian.

"Tapi, Abang jangan kemana-mana," pintanya lagi.

Kara hanya mengangguk menuruti apa yang diminta oleh adik satu-satunya itu. Pikirannya menerawang entah ke mana. Berbagai pertanyaan berkelana dalam otaknya. Setelah beberapa hal yang terjadi di malam ini, membuat ia begitu yakin bahwa tempat ini memang ada yang tidak beres.

PETAK UMPET | SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang