꒰⚘݄꒱Lupakanlah

908 178 57
                                    

[Name] berhasil berbicara dengan Jean. Namun, dirinya tak berhasil mendapatkan kepastian mengenai Jean memaafkannya atau tidak. Karena yang [Name] dapatkan hanya satu, yaitu lupakan.

Saat itu, ketika [Name] mengajak Jean untuk berbicara secara empat mata dan jauh dari dokter Rose, hawa yang melanda sudah tidak enak lagi. Hingga pada akhirnya mereka berdua berhenti tepat di ujung lorong ruangan kesehatan. Lorong yang diterangi oleh obor serta sunyi ketara.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Saat itu Jean bertanya dengan tatapan sayunya. Pemuda berambut moca itu benar-benar lelah kala berhadapan dengan [Name]. Ditambah seperti yang dokter Rose katakan bahwa Jean datang ke ruangan kesehatan dengan tujuan untuk meminta obat pereda sakit kepala. Jean sedang tidak berada di kondisi tubuhnya yang fit.

Menarik nafas kala itu, [Name] memegang kedua pundak tegas Jean Kirstein. "Jean," ujarnya, "aku ingin memperbaiki apa yang telah rusak."

Tatapan tak minat Jean perlihatkan.

"Ini perihal kita tiga tahun yang lalu. Sejak aku menghina keputusanmu waktu itu, hubungan kita merenggang dan kita tak pernah bertemu sama sekali setelah itu. Kemudian kini kita kembali bertemu di sini dan aku ingin meminta maaf atas kelancanganku dulu," jelas [Name]. Jari-jemari lentiknya tampak mengusap serat seragam pasukan pengintai yang Jean kenakan dengan wajah seriusnya.

"Kau menyesal?" [Name] mengangguk. "Apakah sifat realistismu sudah hilang?"

Terdiam, [Name] tahu jika Jean membenci dirinya yang menjujung realistis saat itu.

Jean menarik nafas panjang, lalu menyingkirkan tangan [Name] yang memegang pundaknya. Beralih menyandarkan punggungnya pada dinding lorong, tangan kanan ia simpan ke dalam saku seragamnya dengan tangan kiri memijit pelipisnya.

"[Name], aku tidak gemar memperpanjang masalah tiga tahun yang lalu. Kita dulunya hanya sebatas remaja tengik yang masih labil. Bagus jika kau sadar akan kesalahanmu. Jadi, lupakanlah masalah itu, kepalaku benar-benar pusing-"

Ketika Jean hendak berlalu pergi meninggalkannya, [Name] dengan segera memegang tangan Jean sehingga membuat langkah pemuda itu terhenti.

"Apakah kau memaafkanku?" tanyanya dengan kedua mata yang memandang serius. "Aku juga masih ingat dengan janji kita dulu. Bukankah kita pernah berjanji untuk selalu bersama?"

"Janji kita?" Jean mengulang sehingga membuat [Name] mengangguk kecil. "Kau masih menganggap itu sebagai sebuah janji?"

Hening.

[Name] rasa telinganya seketika langsung berdenging dengan tubuh yang membatu. Jean bertanya demikian? Apa jejaka ini sudah melupakan janji mereka?

"Kau sudah melupakan janji kita, Jean?" tanyanya pelan. Intonasi yang keluar seperti intonasi seseorang yang sedang berhati-hati serta kecewa.

Jean bergeleng. "Aku masih ingat. Hanya saja, itu hanya bualan dua bocah tengik yang tak perlu kita bahas lagi, [Name]. Lupakan saja."

Setelah itu Jean berlalu pergi meninggalkan [Name] menuju ruangan kesehatan. Pemuda itu ingin mengambil obat pereda sakit kepalanya yang tertunda karena kehadiran [Name].

Jean menyuruhnya untuk melupakan apa yang menjadi momok di dalam hidupnya. Begitu mudahnya Jean bertutur seperti itu.

***

Obat pereda sakit kepala yang Jean dapatkan dari dokter Rose tidak seampuh biasanya. Bahkan hingga pagi tiba, sakit kepalanya tak kunjung reda. Sehingga pilihan untuk tetap merebahkan diri adalah pilihan yang Jean lakukan.

Kedua matanya tak ada habisnya mengerjap serta tangan yang selalu memijit pelipisnya. Satu malam penuh Jean tak bisa tidur tenang usai bertemu dengan [Name].

𝐏𝐑𝐎𝐌𝐈𝐒𝐄 || Jean Kirstein || FAP ✔︎Where stories live. Discover now