Prolog: Menyibak Tirai

10 1 1
                                    

Angin seperti biasa menyambut kedatanganku sore ini. Gagahnya suara burung camar menyapa telingaku. Sudah lama. Debur ombak yang lumayan tinggi seolah menyalami rokku.

Sambil menunggu ayah, kugosok-gosok tepi sampanku yang lumutnya sudah menebal. Ini akibat Ayah terus-menerus menyuruhku belajar dan tidak melaut bersamanya. Barulah setelah ujian akhir, aku bisa menyapa ikan-ikan itu lagi!

Namaku Wanna. Ibuku tak tamat SD. Waktu kelahiranku, ibu ingin menamaiku dengan nama keren, katanya. Yang mengandung unsur bahasa Inggris begitu. Namun, Ibu hanya dapat mengingat kata 'Wanna' yang ibu sendiri lupa artinya.

Tak apa, aku bangga betul dengan nama ini. Aku sudah merasa amat keren menyandang nama ini sementara teman-temanku bernama Sari, Mirah, Ranti, Saunah, dan masih banyak lagi yang bagiku khas nama anak pesisir.

Aku tinggal di pesisir pantai Lampung. Tepatnya di daerah Pesisir Barat. Sebelum ayah berambisi untuk memasukkanku ke SMA nun jauh di pulau Jawa, aku rutin melaut bersama ayah. Jika aku sedang memiliki beberapa pekerjaan sekolah yang agak banyak, maka aku hanya bertugas membersihkan ikan-ikan lalu mengasapinya juga jika belum terlalu lelah.

Selanjutnya, ibulah yang menjualnya di pasar. Kami bekerja dalam tim. Hanya keluarga kami. Berempat. Di tambah nenekku yang terkadang hanya membantu melihat. Meskipun begitu, aku sangat bangga dengan keluargaku ini. Keluarga yang tak lama lagi akan kutinggalkan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi.

***

Pagi itu kusibak tirai. Suara debur laut memanggil. Namun maaf, kutinggalkan dulu sejenak, ya. Hari ini aku akan ke kota!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Capture YouWhere stories live. Discover now