8 | Brother

3.1K 491 57
                                    

Aku masih tak percaya bisa berada di mobil mewah berwarna hitam metalik ini. Bahkan, saat terpaksa naik taksi online karena kondisi mendesak pun aku tak pernah mendapatkan mobil sebagus ini.

Jadi, apakah aku harus bersyukur atau merasa malu? Pertama-tama baiknya bersyukur dulu. Karena di kampung halamanku tidak ada yang memiliki mobil begini. Yang interior dalamnya semua serba hitam mengilat. Aku tak tahu berapa harganya, yang aku tahu hanya tulisan Porsche di bagian belakang dan lambang kuda dengan tulisan Stuttgart di bagian depan mobil.

"Udah pakai sabuk pengamannya, Mal?" Suara Mas Guruh mengagetkanku.

"Eh, oh, iya, Mas. Baik, siap!"

"Hahaha .... Kamu ngapain, sih? Enggak usah gugup. Santai aja, Mala. Beneran enggak ngerepotin, kok." Mas Guruh mulai menjalankan mobil.

"Tapi, dari Jebres ke Yosodipuro, kan, balik lagi. Saya benar-benar ngrepoti njenengan, Mas." Aku makin tak enak hati. Tentu saja, karena Mas Guruh harus mengantarku pulang ke indekosku di wilayah Jebres, lalu kembali lagi ke rumahnya di Yosodipuro.

"Dibilangin enggak ngerepotin, kok. Saya udah biasa muter-muter Solo. Apalagi mumpung ada waktu luang begini, bisa liat-liat isi kota."

Okelah, aku kalah. Sepertinya Mas Guruh tipe orang yang tak bisa dibantah. Perawakannya yang tenang dan berwibawa, membuat orang lain segan jika akan mengajaknya adu argumen. Entah kenapa aku penasaran, perempuan seperti apa yang akan menaklukkan hatinya kelak.

"Hua! Sinting kamu, Mala!" Aku tak sadar berteriak, begitu pikiran gila tentang sosok istri masa depan Mas Guruh muncul di otakku. Wajahku pun langsung memerah. Tentu saja kelakuanku itu membuat Mas Guruh kaget.

"Mala, kamu kesurupan?" Pertanyaan Mas Guruh membuatku segera melempar tatapan bingung padanya. Dia sedang bercanda, ya? Kok, wajahnya tidak terlihat tengah melucu?

"Guyon⁸." Mas Guruh lalu tertawa. Sementara aku ikut tertawa juga secara formalitas, meski tak paham di mana letak lucu yang dirasakan Mas Guruh itu.

"Eh, tapi, Mas." Tiba-tiba aku tergelitik bertanya, setelah kami selesai tertawa. "Kok, Mas Guruh enggak diantar sopir kalau ke mana-mana?"

Mas Guruh melirikku sekilas. "Kadang diantar, kok. Apalagi kalau perjalanan agak jauh. Tapi, lebih seneng nyetir pakai mobil sendiri."

"Tapi, di tv itu kalau presdir biasanya dianterin sama sopir, Mas."

Mas Guruh diam sesaat sebelum terbahak-bahak. "Kamu kebanyakan nonton drakor, ya?" tanyanya di antara tawa.

Aku menggaruk pipiku yang tak gatal sambil mengangguk malu-malu. "Beda kali, Mala," lanjut Mas Guruh, "ini real life. Kehidupan nyata. Guruh yang ini bukan oppa-oppa Korea." Dia lalu tertawa lagi.

Aku akhirnya ikut tertawa. Entahlah, padahal juga baru kenal. Tidak pernah berkomunikasi kecuali mengirim dua pesan WA itu, dan berbincang juga hanya di saat pernikahan Mas Lingga dan hari ini. Namun, kenapa aku nyaman, ya, saat bersama Mas Guruh? Apa karena karakternya yang ramah dan mengayomi itu? Atau karena ....

"Jadi, gimana first impression kamu sama si Kembar?" Pertanyaan Mas Guruh membuatku bersyukur karena tak melanjutkan pikiran aneh yang tiba-tiba masuk otakku.

"Oh, ya, anu ... baik, Mas. Maksudnya mereka seru. Meski kadang banyak guyon, tapi kalau serius belajar ya mau belajar, kok." Aku tak sadar meremas-remas jemariku sendiri. Entah kenapa kedua pipiku memanas dan tak berani melirik ke arah Mas Guruh.

"Baguslah. Semoga selanjutnya betah, ya. Soalnya mereka kalau lagi bad mood benar-benar enggak banget. Mbak Devi aja sampai enggak bisa ngatasin."

Eunoia [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora