13 | Family Matters

2.8K 452 30
                                    

Cerita Rafif tadi siang benar-benar memberikan efek kurang baik padaku dalam menjalani sore sampai malam hari ini. Tentang bagaimana dia yang ternyata ingin menjadi guru SD tetapi harus terdampar di jurusan Kedokteran. Atau bagaimana Bu Rukmana yang selalu memberiku motivasi, ternyata melarang anaknya sendiri untuk meraih jurusan yang dikehendaki.

Ah, ternyata memang benar jika dikatakan bahwa apa yang tampak di depan kita itu belum tentu sesuai dengan apa yang ada di dalamnya. Seperti buah semangka yang luarnya berwarna hijau, ternyata dalamnya berwarna merah. Atau buah durian yang penuh duri, tetapi ternyata rasanya enak sekali.

Tanpa sadar aku menggeleng sedih, membuat Vano langsung berkomentar. "Mbak Mala sedang banyak pikiran kayanya."

Buru-buru aku menatap anak lelaki berkulit putih dengan hidung mancung dan ada tahi lalat di pipi kanannya itu. "Vano udah selesai ngerjainnya? Ada kesulitan?"

Vano menggeleng. Dia melirik Vandy yang masih asyik bermain game di ponselnya. "Mbak tanya dia aja. Aku risih liat dia begitu terus. Pantes aja enggak pinter."

"Bodo!" Vandy menatap Vano dengan sengit, lalu menjulurkan lidah.

"Van, kalau UTS ini kamu enggak bisa dapet sepuluh besar, ultah kita enggak jadi dirayain! Kamu mau cuma makan-makan sama keluarga besar aja? Kalau aku, sih, wegah¹¹!" Vano menyembur saudara kembarnya itu dengan kesal.

"Sudah, sudah." Aku menengahi. "Vandy juga. Kalau waktunya belajar ya belajar dulu, Van. Mbak Mala udah jauh-jauh ke sini, lho. Masa kamu malas-malasan?"

Vandy menatapku. "Kan, pas Noona ngasih penjelasan dan materi tadi aku perhatiin. Kalau PR emang aku lagi enggak mood, Noona! Aku kerjain besok aja. Lagian, PR masih minggu depan juga." Dia melirik sinis Vano. "Vano aja yang terlalu rajin."

"Itu karena aku khawatir sama kamu, Oon! Kalau kamu enggak dapat sepuluh besar lagi, aku ikutan susah. Ultah kita enggak bakal dirayain, padahal aku udah bilang temen-temen kalau--"

"Ya, itu salah kamu!" Vandy merengut. "Mulutmu itu emang lemes banget. Suka, ya, umbar-umbar sesuatu yang belum jelas? Songong!"

Vano yang tersinggung langsung berdiri dan aku hendak melarangnya untuk mendatangi Vandy, tetapi ada seseorang yang mendahuluiku melakukannya. Ah, suara itu. Mas Guruh. Rasanya seperti sudah seabad tak bertemu dengannya. Hampir sebulan kalau tidak salah sejak kejadian di mana aku menyuguhkan drama memalukan antara aku dan Rendy malam itu. Entah kenapa jantungku berdegup kencang, tak berani menatap ke arah Mas Guruh yang berjalan mendekatiku dan si Kembar.

"Udah jam sembilan kurang seperempat. Mbak Mala udah kelebihan seperempat jam dari waktu dia harusnya selesai ngajar kalian. Apa kalian enggak ngerasa kasihan?" Mas Guruh menyilangkan lengan di dada dengan ekspresi serius menatap kedua adiknya.

Vano dan Vandy tak menjawab apa pun, hanya saling lirik. Selama hampir sebulan lebih mengajar si Kembar, aku sudah tahu bahwa dua anak itu lebih takut pada Mas Guruh daripada Bu Devi. Sayangnya, Mas Guruh jarang datang saat mereka sedang les. Selama aku memberikan Kembar les privat, baru dua kali aku menemui Mas Guruh di rumah ini. Yaitu saat pertama mengajar, dan hari ini.

"Mas, kok, ke sini?" Vandy bertanya dengan agak takut-takut sambil meletakkan ponselnya ke meja.

"Sebenarnya mau bilang kalau ultah kalian minggu depan bisa dirayain di hotel kita. Tapi, melihat kalian begini, kayanya dibatalin aja dan kita makan-makan keluarga di restoran aja."

"Jangan, Mas!" Vano memohon. "Kan, Vandy yang salah. Kok, aku kena getah juga? Aku udah belajar rajin, enggak pernah dapat ranking di luar tiga besar, ngerjain PR juga. Tapi, kenapa gara-gara Vandy--"

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now