Bagaimana denganku?

19 3 6
                                    

Beruntung sekaligus menyebalkan bagi Hana. Sesuai dugaannya, hasil yang diterima olehnya sangatlah baik. Respons mata, suara, dan gerakannya sangat baik.

Tidak ada tanda-tanda cedera kepala parah yang bisa membahayakan Hana nantinya. Walau dirinya senang karena dijauhkan dari bahaya, tetapi sebenarnya hal ini juga menyebalkan bagi wanita itu.

Betapa tidak, sudah berkali-kali menolak, tapi dipaksa untuk menjalani pemeriksaan. Sudah membuang waktu, energi, dan uang. Begitu pikirnya.

Hana pun hanya diberi obat untuk menyembuhkan keseleonya dan diberikan kiat-kiat agar bisa cepat pulih dari keseleo dan pusingnya.

Di dalam mobil, Hana memasang wajah masam, sementara ketenangan terpancar di wajah Rifki.

"Gini, 'kan gua tenang, Han. Yaudah, sampai rumah kakek gua, lu langsung istirahat, jangan ngapa-ngapain. Istirahat penuh biar nanti pas kita balik, kondisi lu udah membaik," kata Rifki.

Hana tidak merespons perkataan itu dan hanya terus menatap keluar jendela. Menyaksikan deretan kebun dan sawah serta pohon-pohon yang rindang.

Sesekali, wanita berambut hitam panjang itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. Ia bersyukur masih ada di dunia ini setelah kecelakaan tadi. Lebih bersyukur lagi, ia tidak perlu menginap di rumah sakit dan masih bisa menghirup udara segar dengan bebas.

...

Suasana canggung menyelimuti Rifki dan Hana. Hari ini, sudah tepat satu bulan setelah mereka pulang dari rumah kakeknya Rifki.

Wanita itu benar-benar terkejut setelah mengetahui bahwa Rifki ternyata telah diterima bekerja di sebuah media.

Kalau dipikir-pikir lagi, Hana sebenarnya tidak ada hak untuk marah atau kecewa. Namun, Hana merasa dianggap tidak penting oleh Rifki. ini sahabatnya.

Orang terkasih kedua bagi Rifki setelah orang tuanya. Seharusnya, kabar ini diberitahukan juga lebih cepat kepadanya.

"Lu benar-benar nyerah sama mimpi lu, Ki?" tanya Hana.

Rifki mengembuskan napas panjang sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Hana sesungguhnya ingin marah ketika mengetahui bahwa Rifki tiba-tiba bekerja di sebuah media tanpa memberitahunya.

Akan tetapi, raut wajah pria itu terlihat jelas bahwa tidak terlalu senang atas pekerjaan yang diterimanya. Bukannya tidak bersyukur, tetapi bekerja karena keterpaksaan memang ujungnya akan melelahkan.

"Terpaksa kenapa?" Hana masih terus bertanya.

"Gua seorang laki-laki, Hana," ujar Rifki dengan sorot mata yang teduh.

Hah? Maksudnya? Laki-laki harus jadi jurnalis di sebuah media? Laki-laki tidak boleh bangun konten travelling? Maksudnya apa, sih?

Hana merespons ucapan Rifki dengan tubuh dan raut wajahnya. Wanita itu seketika membeku dan menampakkan wajah kebingungan.

"Sumpah, Han, lu nggak ngerti?" Kali ini, justru Rifkilah yang bingung dengan kebingungan Hana.

Hana hanya menggeleng pelan.

"Karena gua laki-laki, gua harus cari nafkah, cari rezeki, nggak bisa bergantung terus sama orang tua." Rifki menjelaskan suatu hal yang umum.

"Ohh, kalau gitu bocah TK juga tau, Ki. Kirain gua apaan. Jawaban lu sok keren gitu, sih. Tinggal ngomong karena lu pengen ngehasilin duit sendiri. Sok-sokan jawab karena aku lelaki. Pret banget," ledek Hana.

"Lu aja yang keseringan nonton drama yang tokoh cowoknya berlagak keren gitu pas ngomong."

"Yeh, biarin. Setidaknya ucapan sama aksi-aksi mereka di drama beneran keren daripada ucapan lu tadi."

Mereka pun sama-sama terkekeh. Sepasang sahabat ini mulai hanyut dalam obrolan lain. Setelah saling melempar canda, mereka berdua hanyut dalam berbagai macam topik obrolan.

Tidak sebatas lagi pekerjaan, mimpi, dan sebagainya. Topik obrolan mereka bahkan membahas perilaku tetangga, pedagang yang lewat di depan rumah mereka, sampai kenangan masa sekolah dan kuliah.

Suasana kafe yang nyaman dengan interior yang didominasi warna cokelat kayu mendukung kehangatan interaksi Hana dan Rifki.

Sesekali, obrolan mereka diiringi dengan suara merdu dari penyanyi kafe. Mereka berdua menikmati sajian lagu-lagu yang disajikan. Sampai akhirnya, ketika lagu dari Fourtwnty yang berjudul Zona Nyaman dimainkan, maka hal tersebut membuat Hana merenung.

Bukannya tidak menikmati lagu, tapi wanita itu memikirkan masa depannya.

Keluarlah dari zona nyaman? Aku sedang berada di zona mana? Apa passionku sebenarnya? Tunggu, kalau Rifki memilih berkarier di media, lalu bagaimana denganku? Bukannya aku harus mengikutinya? Iya. Aku harus keluar dari zona ini. Aku nggak bisa terus-terusan mengekor kepada Rifki.

"Jadi, bagaimana dengan gua, Ki?" Saat sedang bergulat dengan pikiran dan perasaannya, pertanyaan itu pun meluncur dari mulut Hana.

Apa? Apa yang maksudnya yang bagaimana Hana? Lu berharap Rifki mau jawab apa? Tadi bukannya kita udah sepakat buat keluar dari zona bergantung kepada Rifki? Kenapa, kenapa harus tanya bagaimana?

Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang