Haruskah Khawatir?

17 3 6
                                    

Apa? Apa yang maksudnya bagaimana Hana? Lu berharap Rifki mau jawab apa? Tadi bukannya kita udah sepakat buat keluar dari zona bergantung kepada Rifki? Kenapa, kenapa harus tanya bagaimana?

"Hah, kenapa, Han? Sorry, sorry. Gua nggak denger lu ngomong apa karena lagi asyik dengerin lagunya. Kenapa, kenapa?" tanya Rifki.

Hana yang tadinya panik akhirnya mulai bisa bernapas lega. Beruntung, Rifki belum mendengar pertanyaan darinya.

Ia pun berusaha mengatur napasnya dan menunjukkan senyum termanisnya. "Oh, gua tadi ngomong jadi maksud lu traktir gua di kafe ini buat ngerayain kalau lu udah diterima kerja?" tanya Hana yang sedikit mengeraskan suaranya karena harus beradu dengan suara musik.

"Ya, bolehlah itu jadi salah satu alasan. Tapi, alasan lainnya karena mungkin kita nggak bakal sesering dulu, Na bisa ketemu lagi. Gua udah nggak bisa tiba-tiba ngajakin lu jalan-jalan atau makan bareng gini lagi."

Deg!

Perasaan Hana yang baru sebentar tenang justru harus dibuat khawatir lagi dengan perkataan Rifki.

Membayangkan bahwa dirinya tidak lagi punya pegangan hidup. Seseorang yang bisa jadi petunjuk bagi Hana untuk melakukan apa hari ini, besok, dan lusa. Terdengar lebay, tapi memang itulah hal yang dirasakannya saat ini.

Setelah mendengar bahwa Rifki tidak akan bertemu sesering ini lagi, Hana tiba-tiba menjadi bingung dengan tujuan hidupnya sendiri.

Ia tidak tahu ingin melakukan apa besok. Saat kuliah, ia tahu bahwa setiap harinya harus pergi ke kampus dan belajar.

Saat hari libur pun, ada Rifki, Faris, Amel, dan Ardi yang siap menemani. Namun, sekarang, semua kegiatan kuliah sudah tidak ada, bahkan teman-temannya pun sudah sibuk juga dengan urusannya masing-masing.

Oleh sebab itu, saat ini hanya sahabat kecilnyalah yang bisa ia ikuti agar Hana punya kegiatan yang bisa dilakukan setiap harinya.

Namun, sahabatnya yang dikenal gigih dalam memperjuangkan mimpi dan menjadi harapan satu-satunya Hana pun mulai menyerah. Hana benar-benar akan sendirian kali ini.

"Jadi, gimana dengan gua, Ki?" tanya Hana tiba-tiba saat dirinya sedang merenung.

"Hah? Gimana apanya, Na?"

"Iya, di tempat lu ada lowongan, nggak?" tanya Hana dengan penuh harap.

"Menurut lo?" Rifki berkata dengan cara yang lebay.

"Oh, iya. Nggak mungkin ada, ya. Lu aja baru masuk di situ. Berarti, lowongannya udah keisi sama lu, ya." Hana berkata dengan canggung.

Rifki pun menyadari perubahan reaksi Hana yang kembali bersikap canggung seperti saat Hana mendengar kabar bahwa Rifki menyerah pada mimpi-mimpinya.

Pria itu mengira bahwa suasananya seharusnya sudah berubah menjadi santai setelah iringan lagu dan canda tawa dalam setiap topik obrolan tadi. Namun, ia salah. Ini belum selesai.

"Lu takut nggak ketemu gua lagi?" tanya Rifki lembut yang seolah-olah memahami Hana.

Hana hanya merespons pertanyaan itu dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Rifki bisa menebaknya.

Akhirnya, mode penenangnya dimulai kembali. Pria itu berusaha menenangkan Hana dengan mengatakan bahwa mereka berdua masih akan tetap bertetangga.

Rifki tidak akan pindah tempat tinggal ke dekat tempat bekerja. Selain itu, Rifki juga berjanji kalau setiap bulan, tepatnya setiap waktu gajian, ia akan selalu mentraktir Hana.

Jadi, mereka akan tetap bertemu setiap bulannya paling sedikit satu kali. Namun, karena dekatnya rumah mereka, pastinya kalau hanya sekadar menyapa bisa dilakukan setiap hari.

Mendengar itu, Hana pun berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan mengatur napasnya dan menampakkan senyum tipisnya sambil sekaligus mengangguk kepada Rifki. Membenarkan setiap perkataan pria itu.

Rifki nggak pergi ke mana-mana, kok. Lebay amat, sih. Apa yang harus dikhawatirin? Tapi, perasaan ini kok nggak enak, ya?

Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang