🔺Langkah kelima

29 4 14
                                    

A little sympathy, I hope you can show me
Sedikit simpati, berharap pun tak ada gunanya.

. . .

"Mas Nandi pergi sebulan setelah Lo nggak di rumah, gue... Sendirian."

Aku menggeleng kuat, sekali lagi aku menggeleng karena aku tidak percaya dengan semua hal yang kulihat adalah kepahitan. Apa yang aku alami tak akan pernah terjadi, kan? Langka ataukah dejavu?

Tidak ada yang tidak mungkin jika akhirnya aku harus kembali menatap mata panda dengan bibir pucat itu lagi, di lorong dingin hanya ditemani suara monitor yang menyala.

"Kemarin Mas baik-baik aja, kenapa Mas?" tanyaku. Mas Nandi hanya menatapku sendu. Rasanya aku ingin memaki semua orang yang berani menyakiti Mas Nandi. Bagaimana bisa, penyakit itu datang tanpa permisi lalu menyebarkan virusnya dengan cepat? Aku tidak peduli, sekali lagi, aku tidak akan menjelaskan penyakit sialan itu. Bahkan mendengarnya saja sudah muak.

"Mas, maaf kalau gue suka durhaka sama lo. Suka nggak dengerin kata-kata lo. Apalagi nurut, gue ngerasa kayak sampah yang harusnya dibuang begitu aja. Gue nggak bisa liat Lo tidur kayak gini. Baru juga kemarin terima pesanan disain, gue suka semua disain lo Mas. Jujur, gue benci kalau lo di sini."

Aku mengomel pun tidak akan ada gunanya. Mas Nandi hanya terkekeh. Dia pun meletakkan tangannya di atas punggung tanganku. Memejam sebentar kemudian bersuara, pelan sekali, hampir saja aku tidak dengar.

"Pergi yang jauh. Jika sudah berhasil mencari apa yang kamu ingin, kembali dan kabari aku. Kamu hanya akan lelah jika terus bersembunyi, Ger."

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Udah, gue baik-baik aja, sekarang kesehatan lo lebih penting."

Perkataanku hanya ditanggapi sebelah sudut saja. Tapi tidak didengar dengan benar. Mas Nandi justru memalingkan pandangnya seolah tak peduli dengan cuap yang aku lontarkan.

"Aku tidak akan mengulangnya sampai dua kali. Pilihanmu hanya dua. Tetap atau tinggal."

"Mas. Gue Gerhana, kapan aja gue mau, gue akan pergi dengan sendirinya. Kenapa lo maksa seolah ini sangat berat?"

"Tidak semua hal bisa dianggap semudah itu Ger. Tali simpul saja butuh proses untuk bisa menyimpulnya Bagaimana dengan hidupmu?"

"Akan jauh lebih mudah, kalau simpati datang dari keluarga. Kenapa sih, terus bahas masalah? Seberat apa masalah gue?"

Aku tidak tahu apa yang Mas Nandi pikirkan selama ini, dia ada atau tidak sebenarnya? Lalu dimensi apa ini? Semua pertanyaan konyol itu datang terus menerus. Seperti serangan meteor yang kapan saja bisa menghantam bumi. Belum lagi jika Venus dan Mars bersatu, tidak, tidak. Mengapa jadi bahas meteor dan galaksi? Ini aneh, benar-benar aneh. Belakangan rasa penasaranku semakin gila, belum lagi banyak jejak saat Mas Nandi dan Amnan bersama.

Adik kecil yang malang. Dia bungsu, namanya saja terlalu indah jika dia dikategorikan sebagai anak laki-laki.
Amnan Oktavanus Widiatma.  Jenis manusia yang paling langka yang pernah kutemui. Selain sedarah, kami juga serumah. Sekandung, dan sebisa mungkin aku menyayanginya. Itu harus, kan? Sudah pasti. Dia sosok yang paling mengagumi Mas Nandi, sejak belia, Amnan hanya punya dua pilihan,  ikut atau tetap. Semua sudah disepakati bersama. Ikut bersama Nenek, merupakan hal terburuk bagi kami, Nenek baik, di luarnya saja, tapi banyak problematika yang tidak pernah kunjung usai. Badai setiap hari selalu datang menyapa, belum lagi, jika Bubu datang bersama Ayah. Nenek tidak pernah ramah, kata-katanya selalu tajam seolah Bubu bukan anak kandungnya.

Menyesal? Rasanya kata itu tidak lagi pantas keluar dari mulutku. Hanya Amnan yang mampu menjelaskan bagaimana rasanya terbuang, padahal masih punya sanak saudara. Aku tidak pernah membayangkan hal apa pun selain kembali ke tempat yang seharusnya menjadi rumahku. Nyatanya, semua hal yang aku impikan sebelumnya, terkikis perlahan sampai tidak tersisa.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang