🔺Langkah Ketujuh belas

19 2 0
                                    

Kepahitan

. . .

Tidak lagi ada kata baik-baik saja, jika di tengah perbedaan masa hanya akan menimbulkan jejak. Melalui sajak aku hanya bisa menatap pepohonan hijau dengan dedaunan kering yang mulai berjatuhan. Langkah demi langkah, perlahan membuatku sadar akan sebuah peristiwa yang mungkin—aku melupakan sebagian dari seluruh memori yang ada di kepalaku. Butir keringat sudah berjatuhan tanpa permisi melintas di kedua pelipisku.

Sial!

Aku mengumpat saat menemukan jejak merah di atas lantai dingin yang cukup banyak. Aku mengikuti jejak itu sampai di depan kamar Mas Nandi. Lagi-lagi Mas Nandi. Mungkin kalian akan berkata aku tak waras, aku tak peduli, selama itu baik untukku. Pintu bernuansa klasik itu sedikit terbuka, saat aku menyembulkan kepalaku, aku bisa melihat Mas Nandi sedang duduk dipinggir kasur sambil menunduk.

Di sana aku melihat dengan jelas ada kotak tisu dan beberapa tisu bekas dengan warna yang tak lagi putih. Mas Nandi sakit? Tidak. Aku menggeleng kuat saat pertanyaan itu muncul tiba-tiba di kepalaku. Menyebalkan.

"Lo ngapain?" Aku terkejut saat Amnan menegurku. Aku pun berbalik menatap wajahnya dengan kesal.  Dari ujung kaki hingga kepala aku hanya memerhatikan seragam putih yang begitu kotor, belum lagi dengan kerah baju yang sedikit berantakan.

"Jangan tanya gue habis ngapaian. Gue habis bersihin gudang sekolah," balasnya cepat. Aku menatap wajahnya saat Amnan menunduk sambil mengusap lengannya yang sedikit kotor. Awalnya aku biasa saja, tapi pandanganku terpaku pada segores luka yang cukup panjang di sikut Amnan. Anak itu sempat tersentak karena tanganku langsung memegangnya.

"Jatuh dari sepeda. Udah, nggak usah kepo, urus diri lo sendiri."

Aku tidak peduli Amnan berkata apa padaku. Bahkan aku tidak menyingkir sedikitpun saat Amnan memintanya dengan kasar. Aku tetap di sana, memandang lekat luka yang ada di sikut Amnan.

"Bohong. Lo bohong, kan?"

"Enggak. Gue bukan pembohong kayak lo, Bang. Minggir!"

"Sepahit apa pun omongan orang di luar sana, lo nggak berhak ngomong kasar sama saudara lo sendiri, Nan."

Aku dan Amnan menoleh bersamaan saat langkah Prasasti mulai mendekat ke arah kami berdua. Dia berdiri tepat di antara aku dan Amnan. Dia begitu gagah dengan seragam kebesarannya juga sepatu PDH yang berbunyi ketika mulai melangkah.

"Lo kapan sampai?"

"Nggak penting kapan gue sampai, yang penting, tuh, kapan bocil satu ini jadi adik yang nurut."

Amnan mendengus, ia kesal karena panggilan kesayangan Prasasti tidak pernah berubah.  Sejak dulu Prasasti tidak pernah menganggap Amnan sudah besar, padahal anak itu sudah jadi remaja yang tampan. Lebih daripada dirinya atau yang lain.

"Gue bukan bocil! Abang baru selesai dinas?"  Prasasti menggeleng, lalu memegang bahu Amnan sambil membalik tubuhnya agar ia bisa melihat bagaimana wajah kesal adiknya yang sangat menggemaskan.

"Prasasti. Lo lupa, udah ada Mas Nandi, Bang Ger, lo harus manggil gue apa?"

"Iya, iya, Prasasti. Kalau orang lain denger atau guru gue tahu, bisa-bisa catatan murid teladan gue didiskualifikasi karena nggak sopan."

Prasasti tertawa setelah mendengar pengakuan ajaib Amnan  yang sangat berambisi menjadi siswa teladan. Prasasti selalu mengingat ucapanku saat aku menelponnya atau sebaliknya. Dia tertawa begitu puas padahal, dia tidak melihat bagaimana wajah Amnan ketika aku membangunkannya di pagi hari. Wajah muka bantal selalu menjadi objek pertama yang kulihat.

"Kalau itu, tergantung sama lo. Kalau lo bisa membedakan pasti orang akan merasa kalau lo itu bukan anak yang kurang dididik."

Aku hanya menonton perbincangan mereka yang memang sangat jarang. Amnan hanya berbicara seperlunya pada Prasasti. Katanya, Prasasti terlalu banyak omong, selalu memberi sajak lewat aksara. Dia tidak suka aksara, tapi Prasasti memaksanya untuk mencintai aksara melalui kalimat. Heran, padahal setiap kali mengobrol denganku, Prasasti biasa-biasa saja.

Aku pernah mendengar Prasasti berbicara dengan teman tongkrongannya saat SMA dulu. Katanya, sepahit apa pun kehidupan-mu kelak, kamu akan tetap merasa bahagia, jika dirimu bisa melupakan apa masalah utamanya. Sejahat-jahatnya manusia, tidak akan lebih jahat, jika kita membohongi diri sendiri untuk suatu kebahagiaan yang padahal, itu hasil dari menghancurkan atau merusak kehidupan orang lain.

Aku tertawa, tapi Prasasti membuatku tertegun dengan caranya menyampaikan kembali apa yang pernah dia ceritakan pada temannya itu. Bahkan di sela kalimatnya, dia menyelipkan sebuah kata indah sampai aku tidak percaya kalau dia seorang sastrawan yang bijaksana.

Prasasti selalu berkata padaku setiap kali kami duduk bersama. Dia bilang padaku sambil bergurau, aku pikir dia benar-benar bercanda. Nyatanya tidak. Prasasti serius menyampaikannya agar aku bisa melihat, kalau di depan sana banyak rintangan yang sudah pasti akan lebih sulit dari hari ini. Temanmu adalah musuh-mu. Sahabatmu bukan berarti yang terbaik untukmu. Tapi percayalah, dia berkata selalu dengan penjabaran yang singkat, itulah mengapa aku senang meski terkadang aku tidak begitu paham maksudnya.

Dalam hidup masih perlu pencapaian yang harus dicapai, contoh kecil lulus dengan nilai yang bagus. Memiliki pekerjaan yang baik, dan pasangan hidup yang bisa menuntun, bukan menuntut. Iya aku tahu, setiap kehidupan seseorang pasti berbeda-beda, kesibukan berbeda-beda, juga masalah yang sudah pasti berbeda. Tapi tidak dengan Prasasti.  Kakak keduaku yang selalu mengenyampingkan masalah dengan suatu kesenangan.

Dia sempat berkata kalau kematian tertinggi seseorang bukan karena penyakit. Tapi karena tekanan mental yang tinggi. Misal saja seperti depresi, stres? Aku menggeleng kenapa Prasasti memiliki pemikiran itu, tapi dia bilang itu lebih penting dari sebuah emas yang dijual dengan harga tinggi sekalipun. Artinya, Prasasti peduli, semahal apa pun harga yang ditawarkan, jauh lebih berharga kehidupan seseorang dengan cara tidak memojokkan atau menyalahkannya dengan alasan apa pun.

Seseorang berhak hidup, meski pahit, pasti orang punya alasan untuk bisa bertahan. Setidaknya memilih rekan yang tepat, bisa mendukung saat susah ataupun senang, itu jauh lebih berharga daripada sebuah emas dengan harga yang mahal.  Prasasti selalu bilang, emas masih bisa dibeli, tapi kepercayaan yang patah, sulit diperbaiki. Jika sudah kecewa, bagaimana bisa utuh kembali. Iya, aku setuju.

Banyak hal yang perlu diperbaiki dalam kehidupan, selain  harus saling menghargai,  seseorang juga harus bisa menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung. Katanya, kejujuran jauh lebih baik meski itu pahit untuk didengar daripada harus berbohong demi kebahagiaan sesaaat.

"Ger, ternyata lo sekeren itu, gue baru sadar. Lo sayang banget sama kakak lo, Prasasti, ya?"

"Karena dia motivasi gue sampai detik ini. Kalau nggak ada dia, mungkin gue udah jadi anak jalanan sekarang. Gue berterima kasih karena Tuhan masih sayang sama gue, gue percaya kalau Prasasti masih ada."

"Ger, tugas diperbatasan itu tingkat keselamatannya minim, tapi gue nggak mau lo putus harapan. Gue percaya, Tuhan itu nggak tidur, seburuk apa pun lo di mata masyarakat, gue tahu lo itu orang baik. Sayang, nasib aja yang nggak beruntung. Dan lo sekamar sama gue, deh,  di sini."

Dasar gila, aku benar-benar lupa, kalau ceritaku sudah terlalu panjang sampai Kamal hampir saja memejamkan matanya karena ceritaku. Aku tidak sadar sudah berapa lama aku berdiri sambil bersandar di pagar-pagar dingin kamar ini.

"Iya." Aku hanya tersenyum walau aku tidak ingin. Aku kembali memejam sebelum akhirnya bisik itu kembali menggangguku.

"Dia tewas."

Prasasti benar, kepahitan terbesar dalam hidup adalah menyesali perbuatan baik itu tidak disengaja. Aku menyesal, tapi aku tidak ingin merugikan siapa pun.

⛔⛔

Hai, Gerhana back. Ada yang kangen? Yuk ramein, supaya aku makin semangat lagi nulisnya. Terima kasih telah berkunjung.

Salam manis Gerhana. 😘

Publish, 25 Februari 2022

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Where stories live. Discover now