🔺Langkah Kelima belas

18 1 0
                                    

Memilih.
. . .

Jangan percaya pada manusia. Manusia terkadang mampu membuatmu lupa pada tujuan utamamu. Aku hanya terkekeh saat mendengarnya. Belum lagi, saat suara lain menyahut kalimat yang beberapa menit lalu berlalu. Katanya, jangan terlalu yakin kalau kamu memiliki jodoh yang mirip denganmu. Atau terlalu sering mengidolakan seseorang dengan berlebih. Aku heran, tapi aku tetap mendengarkan setiap kata yang keluar, setelah mengatakan begitu keras di hadapan banyak orang. Dia itu seperti penyamun, bedanya hanya sikap dan cara bicaranya yang kurang mengenakan hati.

Saat aku duduk, suara lain justru terkesan meledek, aku hanya tersenyum setelah menoleh ke belakang. Di sana ada beberapa anak perempuan dan satu anak laki-laki yang tengah asyik bergosip. Terlihat seru memang, tapi tidak semenarik yang sedang kudengar dari orang yang kini tengah berdiri di depan kelas.

"Gerhana Laut. Orang yang manis tapi penyendiri. Udah kayak tawanan, lo!"

Alkana Prawira. Anak kelas sebelah yang selalu mencari kesenangan dengan menindas orang lain. Aku sendiri saja heran, tapi dia lebih sering menggangguku dibanding teman se-kelas-ku yang lain. Aneh? Tentu.

Dia itu baik sebenarnya, hanya sedikit kurang waras pada bagian kepala yang mungkin kurang diedukasi sistemnya. Bahkan, ketika dia datang ke kelasku saja, dia sudah membuat sapu di kelasku patah. Tidak hanya sekali, dan aku malas meladeninya. Aku hanya mendongak, saat melihatnya sudah duduk di atas mejaku.

"Bagi duit," katanya begitu ringan. Ingin sekali aku hajar, tapi aku sadar diri karena sering masuk ke ruang BK dengan alasan yang sama hingga membuat Mas Nandi atau Prasasti datang ke sekolah.

"Heh! Dengar nggak? Duit, Ger,"  katanya lagi. Jujur, kedua tanganku sudah terkepal kuat saat ini. Mungkin dalam hitungan detik bisa membuat Alkana terkapar di lantai dengan luka-luka di wajahnya.

"Yah, dia malah melotot. Tuli? Guys, Gerhana tuli, nih, perlu dibawa ke psikiater, nggak? Atau THT?"

Aku tidak peduli Alkana berkata apa tentang diriku. Tapi aku tidak terima saat Alkana mencoba mengejek Amnan di hadapanku. Cowok bengis seperti Alkana tidak sepantasnya berbuat kasar, walau itu hanya ucapan. Bukan berarti dia bisa seenaknya karena orang tuanya salah satu donatur di sekolah. Tidak bisa dibenarkan. Baik itu di sekolahku atau di manapun.

Aku masih bisa mendengar saat yang lain mentertawakan statusku. Bukan lagi ejek biasa yang masih bisa kutahan seperti sebelumnya. Awalnya aku masih baik-baik saja, masih terus berdiam di tempatku. Namun, kepal di tanganku sudah tak lagi bisa menahan gejolak kesal karena mulut Alkana yang terlalu licin menurutku. Alkana pun terjatuh saat aku melayangkan tinju padanya. Kelas yang semula cukup hening kembali ribut, hingga akhirnya perkelahian ku dengan Alkana tak lagi bisa dihentikan.

Aku sangat kesal, bukan tanpa alasan. Sekali lagi, aku kesal karena Alkana sudah berani mengejek Amnan di hadapanku. Sejelek apa pun Amnan, dia tetap adikku. Dia tetap anak remaja yang masih perlu diawasi perkembangannya. Aku tahu Amnan terlalu kasar, tapi aku bisa pastikan sikap Amnan yang kasar hanya padaku, bukan pada Mas Nandi apalagi dengan Prasasti.

Aku tidak ingin, keburukan keluarga dijadikan bahan perbincangan hanya karena kesenangan. Aku juga tidak ingin membicarakan urusan rumah dengan orang-orang hobinya bergosip. Aku hanya percaya dengan ucapan Prasasti ketika kami tengah bermain game bersama.

Prasasti pernah mengatakan banyak hal padaku, tapi aku hanya mengingatnya sedikit. Katanya, jangan terlalu terobsesi dengan hal-hal yang nantinya bisa membuatmu kecewa. Kamu tidak pernah merasakan dikecewakan sampai akhirnya kamu memilih jalan yang paling buruk dalam hidupmu nantinya.

Aku pun terdiam cukup lama, hingga akhirnya aku berani untuk membuat obrolan ringan sebelum Prasasti memilih pergi.

"Gini, ya, Ger. Tuhan itu adil, nggak pernah namanya nggak adil. Tuhan menciptakan siang dan malam, matahari dan bulan, langit dan bumi. Dan pastinya Tuhan nggak lupa sama manusia," katanya. Meski fokusnya pada layar besar yang ada di depan kami, jarinya yang tak henti menekan tombol stik, tapi mulutnya terus berbicara. Padahal pertanyaanku sederhana.

GERHANA✅ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang