2. chat on a gray day

197 21 0
                                    

enjoy the story!

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

enjoy the story!



[LYNN POV] - [2 HOURS AFTER]

"You hit him? really?"

Kau tahu? pembicaraan tak akan berhenti, akan banyak topik untuk dibicarakan. dan itulah yang kami lakukan. ditemani makanan ringan dan minuman soda. Makaroni yang tadi ku buat sudah habis, serta kotak donat kosong di tengah-tengah meja.

Aku terkekeh. "Ya, ku kira dia adalah penyusup. tak sengaja ku pukul dia hingga pingsan, baru sadar jika itu adalah Nathan."

Steve pun menghela, menegak sekaleng soda. "Kau tahu ...kau terdengar seperti kau merindukan mereka. kau masih berhubungan dengan Nathan atau Ashley?"

"Em, no." Aku terdiam. "Sudah lama, ...aku akan menghubungi jika tentang urusan keluarga. selebihnya aku tak ingin mengganggu." sambil lanjut mengunyah keripik, perhatian ku menuju sebelah TV dimana ada bingkai foto Nathan, Ashley dan aku saat di Shanghai.

Aku melanjutkan. "Yah, kami lebih fokus pada tugas masing-masing, apalagi Nathan. bagian eksekutif di AIC sejak 2008, membuatnya paling susah dihubungi. ...Ashley jadi bagian menteri intelijen di Moskow, dia masih punya banyak waktu denganku."

Steve mengangguk. sedikit merunduk, ku menghela. "Dan kakak mereka adalah penerus keluarga Kennedy, yang 'katanya terhormat'. Itu sangat sulit."

"That sad. ...maaf jika kau harus merasakan itu." ucap Steve terdengar iba. kekehan ku beri. "Tak apa. ...bukan sebuah masalah, setidaknya itu yang terbaik."

"Namun kurasa mereka menyayangi mu." balas Steve. "Mengingat saat Nathan bercerita jika kau punya beberapa kekurangan. dia terlihat sedih saat menyampaikannya. ...mereka tak akan melupakan sosok sepertimu, Lynn."

Demi Tuhan, pria ini seperti orang tua yang memberi wejangan.

Dua tangan melebar ke samping, menatap langit-langit. "Terasa seperti aku jadi anak kecil lagi, Steve. kau seperti orang tua."

"Memang aku orang yang tua." balas Steve percaya diri. "Tapi tampang jangan ditanya, aku masih tampan."

Kami terkekeh, lalu ku menarik nafas berat. "Yah, ku akui itu. ...kau jadi membuatku terharu."

"Oh ya? ...rasanya salah." Steve mengukir senyum. ku menggeleng pelan. "Tidak, tapi sungguh- ...kau keluar setelah zaman es berlalu lalu berubah jadi pria tertampan sejagat raya. walau umurmu hampir sepantaran nenek kakek ku."

"Oh jangan lagi." Steve memijat dahi. selalu mengibas tangan. "Kenapa, Steve? aku hanya ingin jujur. ...semakin tua kau semakin punya moral yang baik."

"Jadi kau memuji ku?"

"Jadi kau tersinggung, huh?"

"Bukan, aku pikir itu aneh tiba-tiba kau memuji." Steve menggaruk leher belakang. lidahku menempel di dinding mulut, memandang heran. "Sepertinya kau lah yang aneh, Rogers."

Berganti topik, aku betul ingin mengusir rasa sepi, dan sekarang sudah lebih mendingan dari beberapa jam lalu yang rasanya aku seperti sedang di hutan belantara. tapi mungkin basa-basi sudah cukup, apakah itu jawaban pasti?

"Sebentar, kau butuh sesuatu lagi?" tanya ku tiba-tiba sambil memperbaiki cara duduk. jari-jemari mengetuk atas sofa. Steve membalas dengan menggeleng. "Mungkin tidak, sepertinya aku juga sudah kenyang. kau?"

"Nah, I'm good. ...jauh lebih baik dari yang sebelumnya." Tapi, munculah sebuah ide obrolan dari otak ku tanpa diundang. "Uh hei, aku ingin menanyakan soal pasangan kencan, bukankah kita pernah membicarakan tentang hal itu?"

Yah, ini aneh jika aku menambah pernyataan nyeleneh pada Steve yang baru saja berdiri dan menggantung jaket di lengan, ditambah dia tak membalas. tapi Steve tersenyum. "Benarkah? ...lebih baik kau carikan pasangan yang tak mengada-ngada seperti yang minggu lalu."

Ku tertawa. "Wah, kau masih mengingatnya. ...uh, bagaimana jika kau berikan tipe gadis mu lagi? siapa tahu membantu."

"Kau tampaknya tak lelah setelah banyak mencarikanku wanita." Steve menggeleng menyeringai. "Kuberi dua tipe. dia suka berdansa, dan memakai baju bergaya tahun 1945."

Terkejutlah aku, orang ini waras atau bagaimana?

"Yang benar saja, Steve? mana ada wanita zaman sekarang menggunakan dress seperti di perang dunia kedua." tangkis ku bingung. tapi Steve menggeleng. "Bisa, kau mungkin tak menyadari."

"Berani sumpah, masa aku harus serepot ini mencari wanita tipe Captain America." Gumamku berusaha tak terdengar Steve. sayang ucapanku disadari pria itu. "Apa?"

Makin bingung sampai tersentak, gelengan terpaksa ku beri. "Uh, tidak—maksudku—baiklah, akan aku carikan."

Senyum kecil Steve singgung, dua bahu naik sebentar lalu ia segera pergi menjauhi sofa.

Jujur itu jawaban yang memaksa. tentu mencarikan pasangan bagi orang yang berasal dari zaman perang lalu bangkit di zaman sekarang adalah hal sulit, ditambah tipe Steve yang tidak masuk akal.

Yah, Lynn, ini hari yang berat, kau tahu?

Steve berbalik, memberikan ku tos. "Semoga kau tak marah, Lynn. tampangmu seperti kecewa." sedang aku terkekeh sambil membalas tos itu. "Tidak, aku tidak marah, tak masalah jika aku harus cari yang lain. ...hanya saja kau terlalu memilih, itu membuatku malas mencarikanmu wanita."

Rogers berjalan mendekati ambang pintu dengan ku menyusul. Steve berkacak pinggang. "Baiklah, mungkin sampai situ pembicaraannya. terima kasih untuk obrolan hari ini, atau bisa kusebut 'quality time'."

"Ahahah.. iya, tadi seru. kau sudah membuat hari penghujan ku jadi hangat, aku yang seharusnya berterima kasih." balasku membuat Rogers menyeringai. "Tak pernah berubah. hujan jadi bagian dari dirimu dikala sendu, ya?"

Aku menggaruk kepala belakang. "Yah, benar.. nyaman saja, banyak yang harus aku ratapi saat awan mendung."

"Tidak ada yang harus diratapi. ...selain kita terjebak disini bersama seorang Direktur aneh yang memberikan tugas yang tidak-tidak." Steve menyeringai. "Tapi kau tahu? aku menikmatinya. ...yang pasti kau juga menikmatinya."

"Tentu." aku menaikkan alis. 

"Jangan lupa minum obat dan istirahat. esok akan jadi hari bagus, entah jika aku bisa menjanjikannya, tapi- aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." tutur Steve.

"Siap, Captain. akan aku laksanakan." balasku memberi hormat dua jari, membuat Steve tertawa pelan.

Sibuk mengenakan jaket serta sepatu, setelah selesai Steve balik memandangku. "Kuharap malam mu menyenangkan. ...jika ada masalah kau bisa menghubungiku."

"Baiklah, akan aku ingat itu. hati-hati, Steve."

Ia menoleh sebelum mengambil langkah pergi, "I will. bye, Lynn." kemudian balik memandang koridor. aku bersandar di sudut pintu, melihat Steve yang menjauh. masih ku perhatikan dirinya menyusuri lorong dan pergi menuju lift.

Diam-diam senyum ku pudar, mendengar suara bel pertanda lift membawa Steve menuju lantai lobi, ku segera mundur dan menutup pintu.

Di dalam ruangan yang sekarang kembali sepi tanpa ramai canda tawa. mesin penghangat sekarang mendominasi bising di ruangan, serta suara kendaraan di jalan raya yang menggema.

Aku menghela berat. rasanya aneh, hening. apa hanya perasaanku? mungkin iya, berharap kepada hujan yang tiap kali menenangkan. sebuah anugerah awan tebal diatas langit-langit Washington D.C jadi kelabu.



To be Continued.

A/N NOTES: hi readers, ini fis. thank you very much telah membaca buku ku yang berjudul HOW ABOUT A FRIEND. please vote, comment, atau share tentang buku ini jika kalian suka dan ingin tahu kelanjutan chapter selanjutnya <3

How About A Friend? [2] ✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin