tiga puluh

21 3 0
                                    

Di tempat persembunyian di kompleks pergudangan kosong sisa kelompok Trah Sangka dan beberapa butha berkumpul. Andre alias Andara ada di antara mereka.

Sesosok pria bertubuh besar yang terbungkus kain putih dengan bercak darah berdiri di tengah-tengah.

"Maafkan aku, Ayahanda Diraja. Aku tak berhasil membawamu ke sini," Andre bersujud.

"Bagaimana dengan si pelintas?" suara Ractasa bergema di seluruh penjuru ruangan.

"Mati, Ayah. Dia telah mati aku bunuh."

"Bagus!" suara itu berseru senang. "Kapan kamu bisa membuka celah antar alam?"

"Aku sudah tahu cara kerja Tongkat Perunggu, Ayah,"

"Doruna, apa benar begitu?"

Lamtoro yang tubuhnya telah diambil alih oleh Doruna, memandang gugup ke arah Andre, "Be-benar, Diraja."

"Apa yang kamu tunggu?"

"Kami masih mencari tempat yang tepat," Andre yang menjawab.

"Segera temukan tempat itu!"

Lampu di seluruh ruangan berkedip-kedip seperti kehilangan daya kemudian kain putih jatuh menjuntai ke lantai.

Ractasa kembali ke alam gandarva.

Doruna mendekati Andre.

"Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?"

Andre tidak menjawab. Ia meninggalkan ruangan.

"Ractasa tidak suka dibohongi," seru Doruna.

"Saya tidak bohong!" teriak Andre.

Ia mengambil Tongkat Perunggu.

"Saya telah memecahkan cara kerja Tongkat Perunggu ini. Saya butuh tempat dengan medan magnet yang kuat."

"Pantai pasir besi," jawab Ulo yang mengambil alih tubuh Alan. "Di sana medan magnet alamnya cukup kuat."

"Kita berangkat ke sana. Malam ini!"

"Tapi apakah kamu yakin pelintas batas itu sudah mati?" tanya Doruna.

"Ya. Dia sudah mati. Saya tikam jantungnya berkali-kali!"

***

Bidadari KetujuhWhere stories live. Discover now