🍸 1. An Unexpected Surprise

679 44 1
                                    

Kuku-kuku berpoles french manicure sudah ratusan kali mengetuk meja. Ujung hak sepatuku mengentak lantai di titik yang sama. Pandanganku berulang kali berpindah dari arloji ke pintu restoran. Namun, setiap kali menangkap wajah pengunjung yang memasuki restoran, aku harus menelan rasa kecewa karena mereka bukanlah orang yang kutunggu-tunggu.

Seorang pelayan berkemeja kerah tinggi warna hitam dengan lining tipis berwarna merah maroon di bagian lengan menghampiriku. Perempuan berkucir kuda itu mengulas senyum prihatin sambil menukar gelas kosongku dengan anggur merah. Perutku sudah lelah menerima dua gelas pomegranate lime punchmocktail favoritku di restoran ini. Aku butuh sedikit sentuhan alkohol untuk menenangkan sistem saraf di tubuhku. Sambil mencecap wine, aku mengucapkan mantra yang sedari tadi berhasil membuatku batal menekuk wajah.

It's gonna be the best day of your life. You're gonna be the happiest girl in the world tonight.

Baru rileks sejenak, ritme jantungku kembali dibuat kacau karena ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar. Cepat-cepat aku menaruh gelas dan mengambil ponsel. Rupanya sahabatku meninggalkan sebuah pesan singkat.


Thea

Gimana hon? Dia sudah datang?


Aku menghela napas panjang. Ibu jariku hendak mengetik balasan ketika seseorang berhenti di depan meja. Aku mendongak. Mataku langsung bertumbukan dengan netra pria yang sudah kunanti sejak satu setengah jam yang lalu. Seperti biasa, pria itu tampak menawan dengan kemeja model slim fit.

"Isla[1]."

Tak banyak orang yang dapat menyebut namaku dengan benar. Begitu pun dengan pria yang duduk di hadapanku saat ini.

Kami bertemu dua tahun yang lalu. Kala itu, kantorku sedang mengadakan acara peluncuran produk ponsel untuk klien kami di hotel tempatnya bekerja. Sebagai seorang marketing manager, Theodore Purnomo harus memastikan kliennya mendapatkan fasilitas terbaik selama menyewa hall di hotelnya.

Ramah dan bersahabat menjadi dua kata yang selalu mampir ke telingaku setiap mendengar orang lain mendeskripsikan Ted. Para perempuan biasanya turut menambahkan kata tampan, apalagi kalau laki-laki itu sudah tersenyum lebar. Lesung pipit akan kian mempermanis wajahnya yang khas Indonesia. Didukung dengan rambut hitam cepak yang senantiasa ditata rapi dan postur tinggi berbalut setelan rapi, Ted bisa dikatakan sebagai laki-laki idaman setiap perempuan. Idamanku.

"Tertahan pekerjaan?" tanyaku, mencoba terdengar pengertian pada tuntutan pekerjaannya yang kerap mengharuskannya masuk di akhir pekan.

Ted mengangguk lemah. "Maaf, ya. Tadi ada klien yang mendadak minta ganti hall. Kamu belum pesan makan?"

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk memutar bola mata. Bukannya kami mau makan malam bersama? Bagaimana mungkin aku makan lebih dulu? Aku juga pasti akan terlihat menyedihkan karena makan seorang diri dengan busana dan riasan paripurna seperti ini.

Alih-alih menyuarakan isi pikiran, aku memilih untuk menggeleng dan segera memanggil pelayan. Baru setengah jalan mengangkat tangan, tiba-tiba Ted menghentikan gerakanku. Dia membawa tanganku kembali ke atas meja dan menggenggamnya. Detik itu, aku mengamati kegusarannya. Dia menghindari kontak mata denganku. Pemandangan ini sangat asing di mataku, sebab Ted selalu tampil percaya diri. Bahkan ketika dia tengah menghadapi komplain kliennya.

Saat itu, aku baru tiba di hotel tempatnya bekerja dan melihatnya tengah menghadapi komplain klien. Ted hanya memasang tampang tenang. Mendengarkan keluh kesah dan makian si klien dengan seksama. Aku mendengar Ted mengulang poin-poin komplain yang paling membuat sang klien kesal, seperti feedback dari alat pengeras suara yang menciptakan dengungan mengilukan di telinga dan lampu sorot yang mati. Padahal masalah tersebut bisa saja dilemparkannya ke bagian building management. Namun, Ted memilih langsung menghadapi kliennya.

Beer and MartiniWhere stories live. Discover now