🍸 3. Plus One

384 30 0
                                    

Spontan, aku menengok. Mataku langsung menemukan Kalen yang sudah memasang sikap siaga. Bahunya terlihat kian tegap ketika dia membusungkan dada seperti ini. Tatapannya lurus ke arah si pria mesum. Urat di sepanjang rahangnya menegang.

"Dia bilang nggak. Hormati keinginannya," lanjut Kalen.

Alih-alih ketakutan, pria itu malah mendengkus geli. "Apa urusannya sama kamu?"

Kalen hendak memutari kursiku agar bisa berhadapan langsung dengan laki-laki itu. Tanpa berpikir dua kali, aku menahan lengan Kalen. Tanganku yang lain kuletakkan di dadanya. Isi kepalaku berpikir cepat untuk memainkan sebuah skenario.

"Babe, sudah. Jangan bikin keributan di sini. Nggak enak." Dengan sengaja, aku mengencangkan volume suara agar pria mesum itu bisa mendengarku.

Kalen menunduk. Meski wajahnya masih tegang, matanya menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu diutarakan mulutnya. Aku mengikis jarak hingga wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter.

"Play along," bisikku tanpa suara sambil mengusap dadanya.

Rahang Kalen berkedut sekilas. Setelah menarik napas cepat, Kalen menuruti permintaanku. Dia mengangkat tangan dan membelai puncak kepalaku. Masih setengah menunduk, Kalen menggeser bola matanya ke arah pria tadi.

"Perempuan yang Bapak goda ini pacar saya. Jadi, tentu saja, ini urusan saya."

Bapak itu mendesis. "Ya, ya, terserah. Pacarmu juga nggak cakep-cakep amat. Terlalu sombong juga."

Mata Kalen langsung menggelap. Dia terlihat sudah siap menumpahkan sanggahan. Segera saja aku mengeratkan genggaman di lengan Kalen. Memberinya isyarat untuk tidak memancing emosi laki-laki itu dan membuat kegaduhan. Lagi pula, menanggapi pria mesum itu tidak ada gunanya. Yang penting dia sudah pergi.

Saat Kalen mengembalikan fokus padaku, sorot matanya melunak. Kekhawatiran memenuhi wajahnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Makasih, ya." Desah napas berat lolos dari hidung. "Inilah alasan saya nggak suka pergi ke bar sendirian."

Kalen seketika mengernyit. "Kamu lumayan tahu gimana cara pesan martini buat ukuran orang yang nggak terbiasa ke bar. Kamu tahu merek-merek gin. Paham terminologi martini. Bahkan, kamu bisa jelasin kenapa martini nggak seharusnya dikocok."

Senyum lemah terukir di bibirku. "Pekerjaan yang sedikit banyak bikin saya paham istilah-istilah seperti itu. Percayalah, saya mencoba belasan martini sampai akhirnya tahu kombinasi favorit saya."

Kalen tampak mengambil waktu untuk mencerna ucapanku. Dia lantas memberiku senyum prihatin. Mata cokelat terangnya menatapku dalam-dalam, seakan mencoba menyuarakan sesuatu. Tatapan itu juga membuatku tak berkutik. Bahkan untuk bernapas pun kulakukan dengan susah payah.

Lalu, sebuah dehaman dari arah meja bar memaksa kami menyudahi kontak mata. Aku menoleh dan menemukan bartender yang tadi menyajikan martini sudah memegang gelas berisi martini lagi. Bola matanya bergeser ke arahku dan Kalen secara bergantian sebelum jatuh ke ruang di antara aku dan Kalen.

Saat mengikuti arah pandangnya, aku mendapati tanganku masih bertengger nyaman di dada Kalen. Refleks, aku menarik tangan sambil menggumamkan kata maaf. Aksiku itu ikut mengejutkan Kalen, tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya ada semburat merah di wajahnya yang putih pucat. Aku yakin wajahku pun menampakkan rona yang sama.

Aku mengembalikan perhatian ke meja bar saat mendengar bartender itu meletakkan gelas berisi martini di samping botol birku. Buru-buru aku menggeser posisi duduk agar dapat berhadapan dengannya.

Beer and MartiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang