04. Dia Lagi

960 164 1
                                    


"Bisa diem? Nggak usah nyalahin gue trus, lagian itu salah lo sendiri nggak nyuruh gue." Cahaya mendesis, menghentak-hentakkan kakinya merasa sangat sebal dengan sepupunya.

"Bi Ima! Ral berangkat!" Bibi Ima yang kebetulan tengah menyiram tanaman mengangguk sembari mengacungkan ibu jarinya.

"Hati-hati, Nak!"

"Gue kan udah ingetin lo! Kalo setiap hari Rabu, gue olahraga!" Bulan melirik sinis kearah Cahaya yang duduk disebelahnya.

"Lagian lo kan udah pindah, ngapain masih olahraga disana? Lo kesekolah lo kan cuma buat tandatangan sama ngambil rapot doang." Cahaya mengerjap cepat, wajah muramnya berganti dengan ekspresi bingung yang mana membuat Bulan memutar bola matanya malas.

"Ehehe.. bener juga kata lo."

"Tai lo."

"Bun! Bunda! Langit berangkat dulu!" Langit mengernyit, menghentikan langkahnya ditengah anak tangga untuk menoleh kearah lantai atas.

"Bunda! Bunda!?" Menyampirkan jacket kulit miliknya, Langit kembali melangkah naik keatas guna menemukan presensi Ibunya.

"Bun--"

"Tapi, Bun.. Bintang juga pengen hidup normal kayak Langit."

"Bunda cuma nggak mau nanti kamu--"

"Bun.. Langit mau berangkat sekolah." Langit menyembulkan kepalanya kedalam kamar Bintang. Ia menatap Ibunya dan Bintang yang tengah duduk sambil berhadapan. Bintang yang melihat Langit hanya bisa memalingkan wajahnya karena merasa iri.

Marisa mengukir senyuman manis, dan Langit malah tidak suka melihat senyuman itu. Langit tahu itu hanya kebohongan belaka. Marisa mengusap puncak kepala Langit, ia mengecup pipi anaknya lalu mengangguk.

"Hati-hati, ya. Jangan ngebut, jangan telat pulang. Bunda mau masakin makanan kesukaan kamu." Langit mengangguk tanpa ekspresi, ia melirik Bintang yang melempar empat butir obatnya lalu memilih membaringkan tubuhnya kembali.

"Bunda kalo nggak kuat ngurus Bintang, bilang ya. Biar Langit yang ngurusin dia." Langit mengepalkan tangannya melihat Bintang yang tidak bisa menghargai Ibunya yang mati-matian menjaganya selama ini. Langit bahkan sering kali merasa iri karena Marisa lebih mementingkan Bintang daripada dirinya yang kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Namun Langit tidak pernah memaksa, karena ia paham, saudara kembarnya memiliki kekurangan yang sering kali membuat Ibunya menangis dan sakit hati.

"Emang kamu bisa ngurus adik kamu?" Langit diam, membuat Marisa terkekeh. "Udah sarapankan?" Langit menggeleng.

"Ntar sarapan dikantin aja, lagian Bi Riri udah bikinin bekel." Marisa mengangguk.

"Yaudah sana berangkat. Ntar telat, jangan tawuran, ya? Bunda nggak suka." Langit menarik kedua sudut bibirnya keatas, ia lalu memeluk Ibunya dan mengangguk.

"Iya, Bunda."


"Gue kesekolah lo habis jam pertama berakhir kayaknya." Bulan menatap datar kearah peresensi Cahaya yang baru saja turun dari dalam mobilnya.

"Terserah."

"Ntar kalo gue udah sampe disekolahan lo, gue nyari lo ya?"

BRITTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang