25. Camer

411 65 8
                                    

"J-jadi.. keponakan saya mengidap sakit kanker jantung?" Serina menatap Dokter Jihan dengan mata berkaca-kaca, mendengar penjelasan panjang Dokter Jihan benar-benar membuatnya mati kutu. Ia tidak menyangka jika Bulan mengidap penyakit serius seperti ini.

Dokter Jihan menghela napas, sedikit merasa bersalah pada Bulan yang tidak ingin ia membocorkan rahasia ini pada siapapun.

"Sebenarnya berat bagi saya untuk memberitahukan hal ini pada anda. Tapi, saya tidak bisa terus-terusan menuruti Bulan yang selalu ingin saya merahasiakan ini dari siapapun."

Serina mengusap air matanya, masih begitu terkejut atas ucapan Dokter Jihan.

"Saya adalah Dokter pribadi Bulan sejak lima bulan yang lalu, Nyonya. Dan saya mohon, anda harus bisa menjaga rahasia ini dari kedua orang tua Bulan."

Serina mengernyit. "Kenapa? M-mereka orang tua Bulan, mereka berhak untuk tau!"

Dokter Jihan memejam singkat. "Saya tau, jika bisa, saya'pun sudah pasti memberitahu orangtua Bulan sejak saya tahu Bulan mengidap tumor. Tapi.. saya masih menjaga perasaan Bulan yang menginginkan hal ini dirahasiakan terutama pada kedua orangtuanya. Bulan tidak mau kedua orangtuanya malah mendapat beban karena dirinya, Bulan tidak mau."

Serina terisak, sungguh merasa prihatin terhadap keponakannya yang ia ketahui memiliki hidup yang kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya.

"T-tapi.. mungkin jika kakak dan ipar saya tau Bulan sakit, mereka akan bisa menjaga Bulan.." sanggah Serina.

Dokter Jihan menggeleng. "Saya mohon, rahasiakan ini dan biarkan Bulan yang memberitahukan ini kepada kedua orangtuanya."





•••








Langit benar-benar pulang kerumahnya setelah jarum jam pendek sudah menunjuk angka satu dini hari. Pemuda itu mematikan kendaraannya saat telah sampai didepan gerbang rumah, sengaja karena tidak mau mengganggu Bundanya yang mungkin sudah terlelap.

Pelan-pelan ia membuka pintu gerbang yang tak dikunci, memasukkan motornya kegarasi, berusaha untuk tidak membuat suara apapun. Langit menghela napas, menyugar rambutnya yang sedikit basah akibat keringat.

Langit melepas jacket gengnya, meletakkannya diatas tangki motor kemudian masuk kedalam rumah. Keadaan ruang tengah sudah gelap, hanya ada cahaya temaram yang berasal dari dapur. Langit melangkah menaikki undakan tangga, mendecak saat tiba-tiba merasa haus dan memutar langkah untuk menuju kearah dapur.

Pemuda itu meraih gelas panjang, menuangkan air yang ia ambil didalam kulkas dan menenggaknya hingga tandas. Saat hendak menutup pintu kulkas, matanya tak sengaja menemukan sebuah kertas kecil yang tertempel digagang pintu kulkas.

'Bunda udah siapin nasi goreng pangsit buat kamu, sayang. Nasinya ada di microwife, sengaja Bunda taruh disana biar nggak keburu dingin. Selamat makan kesayangan Bunda.'

Langit menarik seulas senyuman tipis, matanya bahkan sampai berkaca-kaca sebab merasa begitu tersentuh. Langit tidak lapar, namun ia tetap membuka penutup microwife dan mengeluarkan nasi goreng pangsit buatan Bundanya dari dalam sana. Ia menarik kursi makan, mendudukinya dan memakan nasi goreng itu setelah menggumamkan do'a singkat.

"Enak." Lirihnya, setidaknya rasa emosionalnya teredam setelah mendapat perhatian kecil ini dari Bunda.

Esok, ia akan mengucapkan banyak terimakasih pada Bunda. Dan meminta maaf, sebab telah menjadi anak yang bandel dan nakal.


•••

Celina membuka pintu mobil dengan tergesa, meninggalkan Nauvan yang masih berada didalam mobil. Wanita itu berbicara dengan resepsionis, Nauvan yang melihatnya segera menghampiri dan mengusap bahu istrinya karena wanita itu masih menangis.

BRITTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang