Chapter 3

591 59 18
                                    

_Minah Hartika_

Hanya pukulan yang ada. Luka serta jeritan sakit. Jemari di tangan itu menyatu, membentuk satu gumpalan kuat hingga melukai siapapun yang ada di hadapannya. Ia tak peduli bahkan mereka dalam jumlah yang banyak. Lawannya, musuh-musuhnya. Ia tak peduli meski mereka adalah pemilik asli bangsa yang tanahnya kini ia injak. Ia tak peduli akan rambut pirang mereka yang berbeda dengan miliknya. Ia tak perlu menghawatirkan darah asia sepertinya, akan kalah oleh orang-orang berdarah asing itu.

Ia hanya perlu menghabisi semuanya, meski kini terdapat luka menganga di perutnya akibat sabetan benda tajam beberapa menit lalu. Darah mengucur namun, tak ia tampakkan raut sakit sedikitpun.

Ia tak sakit meski tubuhnya berkata lain. Dengan darah yang keluar semakin banyak itu, pandangannya mulai mengabur. Semua lawannya telah habis, mungkin juga dengan dirinya, yang kini berjalan sempoyongan entah kemana. Ia lemas, menatap ke arah langit dengan air mata menganak sungai di wajahnya meski diliputi sebuah tawa. Dalam hati ia berkata, "beruntung, aku masih bisa menangis, ge.."

[CHAPTER 3]

.

Langit-langit putih, menjadi pemandangannya setelah terakhir kali ia melihat langit yang biru sebelum ia jatuh dalam kegelapan itu. Ia hanya diam, hingga pintu ruangan dimana ia berada kini terbuka perlahan, menampakkan satu sosok wanita paruh baya yang sudah nampak rapuh. "Zhan, kau sudah bangun?" tanyanya pada dia yang baru saja terbangun itu. Xiao Zhan.

Hanya helaan nafas Zhan berikan. "Kenapa ibu membawaku ke rumah sakit lagi?" tanyanya.

"Apa yang kau katakan! Kau pikir ibu akan membawamu pulang dengan darah yang hampir memenuhi kemeja seragammu, huh?"

Zhan menatap sang ibu yang terduduk di kursi di samping ranjangnya, serta mengusap sayang helaian rambut kecoklatan miliknya. "Mengapa begitu hawatir? Toh aku tak merasakan sakitnya, bu. Aku akan baik-baik saja.." tuturnya sambil mengalihkan pandangannya pada setangkai bunga terendam separuh air di dalam vasnya, terletak di sisi jendela ruangan tersebut. Bunga rose yang disukai sang ibu.

"Benarkah?" ujar sang ibu, sambil terlihat mencibir. "Lalu mengapa kau bisa tak sadarkan diri, Zhan sayang?" tanyanya.

Xiao Zhan diam.

"Kita sama-sama tahu, kau tak lagi mampu merasakan sakit. Tapi tubuhmu tetap bereaksi terhadap luka-luka yang menimpamu. Bukan berarti darahmu tak akan pernah habis, Zhan. Jika kau terluka dan kehilangan banyak darah, kau akan tetap mati, kau tak menyadarinya?" jelas sang ibu.

"Biarkan saja begitu. Lagipula, aku tak berguna bu.."

Sejenak sang ibu terdiam, menelan kecut ludahnya, mencoba menahan buliran air yang akan keluar dari kedua matanya. "Ibu tahu kecewamu, Zhan.." ucapnya mulai bergetar, mengundang Xiao Zhan untuk menatapnya, hingga ia berusaha untuk menunjukkan satu senyuman tulus. "Ibu sakit melihatmu seperti ini.."

"Ibu, bukan maksudku.."

"Semua salahku," potong sang ibunda. "Semua salah kami, telah mengecewakan kalian, membuat kalian hancur seperti ini, meski ibu tak tahu, bagaimana dengan gegemu disana.." ucapnya, mulai mengelap air di ujung matanya.

"Ibu.."

"Sudah lama, Zhan. Bahkan sudah hampir menginjak sembilan tahun kau tinggal di sini bersama ibu. Ibu yang mengajakmu agar dapat sembuh dari sakitmu tapi, di sini kau lebih sakit.."

AGEUSIA [Remake]Where stories live. Discover now