prolog

6 2 1
                                    


Namaku Riana librata.

Seorang gadis bertubuh sehat, dengan tinggi di atas rata-rata. Aku masih kelas X jurusan perfilman di SMK Timur. Namun, sekarang aku pindah ke SMK Selatan di jurusan yang sama. Aku adalah seorang gadis yang masih labil. Aku bertingkah sesuai dengan apa yang aku mau.

Ciri khasku adalah gadis berhidung mancung, dengan mata berlensa coklat. Persis seperti lensa milik orang suku Jawa dengan bibir standar, tidak terlalu tipis atau terlalu tebal seperti mulut ikan.

Dulu, aku memiliki dua pipi chubby, dan aku lebih suka memanggil diriku sendiri dengan istilah gemoi.

Aku juga memiliki seorang sahabat yang terkesan sangat sempurna, tapi agak jaim. Dia berpredikat almost perfect di mataku.

Gadis ayu ini memiliki dua bola mata yang menawan dengan pandangan lembut. Lensa matanya hitam pekat. Ia beralis lebat, tergores seperti huruf nun. Dia memiliki hidung mungil dan berbibir tipis.

Dia memiliki bentuk wajah oval panjang dan bertubuh tinggi semampai sepertiku dengan bentuk tubuh mendekati definisi antara ramping dan kerempeng. Kulitnya mulus berwarna kuning langsat. Dia adalah sahabatku. Dilya Daneswari.

Jika Dilya memiliki julukan anggun  dan tenang, maka aku sebaliknya. Aku adalah gadis yang sebenarnya sangat suka bercanda, kadang ramah dan lebih sering tidak bisa diam. Kecuali, jika aku tengah berada di rumah, tapi itu dulu. Aku lebih menyukai hal-hal simpel dan warna gelap daripada warna mencolok seperti kesukaan para gadis-gadis lain.

Jika Dilya memiliki tutur kata yang sopan dengan intonasi suara halus, maka aku sebaliknya. Tutur kataku berantakan dan caraku berbicara cenderung blak-blakan. Aku tidak suka basa-basi, aku lebih suka bicara langsung pada poin pentingnya. Intonasi suaraku buruk, lebih terdengar seperti intonasi tidak peduli yang terdengar sinis, membuat orang-orang yang berbicara denganku kadang salah paham.

Orang-orang sering keliru memanggil antara aku dan Dilya. Mereka bilang kami mirip dan mendekati definisi kembar. Namun, menurutku baina Dilya wa Ria itu sungguh sangat bertolak belakang.

Mungkin, orang-orang tidak bisa membedakan antara aku dan Dilya dikarenakan seringnya kami berdua bersama. Di mana ada aku, pasti ada Dilya atau sebaliknya. Namun, menurutku tetap saja kami berdua tidak sama. Di luar sifatku yang memang tidak suka disamakan, Dilya dan aku benar-benar berbeda. Kami berdua amatlah kontras, bagai Ying dan Yang.

Jika Dilya adalah gadis disiplin dan penuh perhitungan, maka aku adalah kebalikannya, aku sangat sering melanggar peraturan. Hampir tiap hari aku telat memasuki gerbang dan kadang terpaksa menaiki pagar sekolah di bagian belakang yang lebih mirip tembok bercat putih dan tingginya kisaran dua meter.

Kalau sedang malas, aku akan memilih untuk langsung pulang atau skip alias sekolah, tapi tidak di kelas. Melainkan, berada di meja nyaman di dalam kafe sambil mendengarkan musik dan ditemani minuman kesukaanku, hot chocolate.

Aku adalah anak yang ceroboh. Aku lebih suka langsung bertindak daripada memikirkannya terlebih dahulu. Aku tahu dengan pasti sifatku yang satu ini membuatku terburu-buru dan bisa membuatku lupa dengan perintah awal hingga berakhir dengan nilai pas-pasan.

Aku juga tidak bisa menulis dengan bagus. Aku tidak suka menulis pelan-pelan seperti Dilya. Itu terlalu lama dan membosankan. Lebih baik aku menulis dengan cepat walaupun tulisanku buruk seperti tulisan anak SD.

Namun, diluar sifat-sifatku yang kurang baik dan sifat Dilya yang seolah sempurna, kami berdua jelas tetap memiliki sikap dan sifat lainnya.

Aku misalnya, bukannya sombong, tapi ini memang kenyataan. Aku mudah akrab dengan siapapun, aku gadis pemberani dan aku adalah tempat yang baik untuk seseorang yang ingin bercerita karena aku pendengar yang baik.

Aku mungkin mudah marah, tapi hanya sekejap. Aku tidak pernah bisa berlarut-larut dalam kemarahan atau kesedihan. Aku tidak pernah bisa membenci orang terlalu lama.

Sedangkan Dilya, meski dia sudah terlihat sempurna, tetap saja dia memiliki minus yang membuatnya turun ke predikat almost perfect. Gadis ayu itu terlalu dingin pada suasana tertentu. Dia kelewat cuek dan karena kepintarannya, dia sering mengkritik orang lain dengan sinis. Susah mendekati gadis itu. Dia membagi kehidupannya menjadi dua: publik dan privasi.

Sesuatu yang privasi tetaplah privasi. Namun, dia juga tipe gadis tidak enakan, jadi sifat buruknya kadang masih bisa terselamatkan.

Begitulah dua sifat, dan sikap kami yang bertolak belakang, tapi dapat disatukan hingga membentuk pelangi indah.

Ingatlah!

Tidak ada di dunia ini manusia yang benar-benar sempurna. Pasti dibalik aura sempurnanya itu, dia memiliki sudut kecil yang berbeda. Sesuatu yang minus. Itu berlaku pada seluruh manusia di bumi, seluruh makhluk Allah, itu sudah hukumnya. Kecuali Rasulullah tentunya. Namun, apakah persahabatan kami tidak memiliki rintangan konflik?

Tentu kami punya.

Entah, aku tidak tahu harus bilang apa kalau takdir justru memilih konflik konyol untuk warna-warni persahabatan kami berdua. Konflik konyol seperti di sinetron-sinetron yang tidak aku suka yang harus berakhir sendu.

Berakhir sendu kepada siapa? Dilya? atau aku?

Kalian akan tahu, jika kalian menyimak pemicu dan penyelesaian konflik konyol itu.

Ya, kalian benar, konflik itu ialah hal yang menurutku amatlah konyol.

konflik itu ialah....

Triangle love

Aku sedikit membenci konflik ini karena masalah ini meruntuhkan ikatan persahabatan kami berdua. Meski juga memberikan hikmah tak terduga, aku tetap menyesal menyukai pemuda yang sama dengan sahabatku sendiri.

***

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang