🌬️🪁Bab 22 : Putusnya tali Layangan🪁

8 4 1
                                    

Tepat pada hari ketika Qadra wafat Sinaya yang sedang melamun dan duduk di kursi panjang di depan teras rumahnya memiliki perasaan yang aneh, tiba-tiba saja Sinaya merasa sangat sedih sehingga air matanya mengalir dan tak tebenu tak lama hujan pun turun.

Sepertinya hati Sinaya merindukan seseorang.

"Aku harap Qadra dan Ayah bisa kembali dengan kebahagiaan di wajahnya sehingga aku bisa memeluk mereka dengan bangga," gumam Sinaya menghibur dirinya sendiri.

Rintikan hujan lama kelamaan menjadi deras disertai dengan suara guntur dan kilatan petir yang menyambar, angin yang tadinya hanya semilir berubah menjadi angin kencang sehingga pohon-pohon di sekitarnya condong mengikuti arah angin pergi. Udara semakin dingin Sinaya tak henti-hentinya menatap rintikan hujan, hatinya terasa pilu yang bahkan ia tak tahu apa penyebabnya dan jikalau ada orang yang melihatnya menangis pastilah orang-orang mengira bahwa Sinaya takut menjadi janda di usia muda, hati Sinaya mengelak ia bukannya takut menjanda hanya saja ia takut Keluarga dan Suami yang di sayanginya gugur di medan perang.

Marani yang melihat anaknya menangis tanpa isak pun menghampirinya, ia tahu anaknya sedang di landa ke khawatiran yang sama dengan yang dirasakannya, ia kemudian duduk di samping putrinya.

"Nak, apa kau merasa khawatir? Dari kemarin ku lihat kau selalu melamun bahkan kau sedikit sekali makan," ucap Marani sembari mengusap-usap bahu putrinya yang kemudian dipeluknya itu.

Tangis Sinaya yang tadinya hanya diam tanpa terisak kini pecah menjadi tangisan yang lepas.

"Ibu, aku takut, aku khawatir, aku rindu, aku begitu menyayangi mereka dari kemarin mimpiku membuatku gelisah, aku melihat begitu banyak darah dan mayat bahkan aku melihat Qadra dan Ayah tersenyum, tetapi aku tidak suka senyuman mereka Ibu," tutur Sinaya terisak menjelaskan mimpi yang di alaminya tadi malam.

Marani sebenarnya juga sangat khawatir dan sedih. Namun, ia menutupi perasaannya sehingga anak-anaknya tidak ikut khawatir dan sedikit lebih tegar ketika melihat Ibunya yang tampak tegar meskipun hanya luarnya saja.

"Nak, aku yakin mereka akan kembali dengan selamat, bahkan aku yakin mereka akan mendapatkan kemenangan." Marani mengeratkan pelukannya dan kembali mengusap bahu Sinaya.

Sinaya sedikit tenang mendengarkan ucapan Ibunya, pelukannya juga membuat tangisan Sinaya lama kelamaan berhenti sehingga ia tertidur di pelukan Marani seakan beban yang ada di pundaknya sedikit berkurang.

Rinsina yang sedari tadi di dalam kamar keluar mencari Ibunya setelah ia mencari ke setiap ruangan, Rinsina pergi menuju teras rumah dan ia melihat Sinaya dan Ibunya sedang berpelukan, ia tahu mereka tengah mengkhawatirkan hal yang sama dengannya kemudian ia menghampiri mereka dan memeluk Ibunya dari belakang.

"Apa Kak Sinaya tidur?" bisik Rinsina pada Ibunya.

Marani hanya mengangguk pelan, tangan kirinya berusaha menggapai wajah Rinsina setelah menggapainya ia kemudian mencium anak ke duanya itu.

"Dari kemarin malam Kak Sinaya tidak tidur Ibu, aku mendengar dari balik kamar isak tangisnya," bisiknya lagi.
Marani menghela napas, ia tersenyum getir.

***

Para prajurit yang telah gugur di kuburkan jauh di sebelah barat Kaharinda yang juga berupa lapangan luas, di sana juga nampak ribuan kuburan berjejer.

Mendadak para prajurit teringat kembali tentang kisah perseteruan antara Kerajaan Ardana dan Kerajaan Mayara yang pernah terjadi hingga mereka berperang mati-matian sampai memakan lebih banyak korban dari yang mereka alami sekarang bahkan dulu membuat kedua belah Kerajaan Ardana dan Kerajaan Mayara mengalami kerugian yang sangat besar tetapi peperangan mereka terhenti karena para Rajanya saling muhasabah diri dan para Ulama dari wilayah Jahmaja dikirim ke masing-masing Kerajaan untuk saling menenangkan dan menasehati hanya tinggal sisa-sisa sedikit rasa persaingan antara rakyatnya.

Barang-barang prajurit yang gugur di bawa oleh para prajurit yang mengenalinya sebagai titah raja untuk diberikan kepada para keluarga Prajurit gugur.

Keesokan harinya mereka pulang ke Kerajaan Ardana, dengan duka yang mendalam hanya sedikit perasaan gembira yang tersirat di wajah mereka. Namun, kebanyakan adalah rasa sedih kehilangan saudara mereka yang telah gugur.

Prajurit yang terluka di bawa menaiki kereta kuda yang memang telah di siapkan sebelumnya, beberapa prajurit yang masih bisa berdiri ada yang berjalan, dan beberapa juga membawa saudaranya yang terluka menaiki kuda sedangkan dirinya berjalan menggiring kudanya.

Segera mereka melanjutkan perjalanannya menuju Kerajaan Ardana yang membutuhkan waktu satu minggu.

"Panglima, sepulang kita nanti, kumpulkan para prajurit, kita akan bagikan persediaan makanan dan uang kerajaan Ardana dan tolong tuliskan orang-orang yang gugur dari pihak Kerajaan Ardana, tanyakan ke setiap orangnya dan kumpulkan para Kepala Desa yang turut berperang sehingga kita bisa mengunjungi tiap rumah para prajurit yang gugur," titah Raja Ardana pada Panglima Prahasta.

"Baiklah Raja, aku akan melaksanakan perintahmu," ucap Panglima Prahasta menyanggupi tugasnya.

Jindari berjalan membawa barang-barang di atas kudanya, matanya sayu dan terlihat dari wajahnya ia merasakan kehilangan bahkan batu tajam saja ia injak dengan telapak kakinya hingga berdarah, tetapi tidak terasa karena baginya kehilangan anak lelaki dan sahabatnya Baderi sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mati rasa. Sepanjang jalan jindari terus mengucapkan zikir dan istighfar, ini merupakan salah satu cara untuk tetap waras dan mengingat Tuhannya.

Pangeran Argara dan Runday sama terpukulnya dengan Jindari, mereka berdua telah kehilangan sahabat masa kecilnya meskipun beberapa saat terakhir Pangeran Argara dan Qadra merupakan lawan dalam percintaan, tetapi baru saja Pangeran Argara berfikir mengikhlaskannya Qadra telah di panggil oleh yang Maha Kuasa.

"Runday, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan surat ini kepada Sinaya, aku tidak akan sanggup melihatnya menangis, memikirkannya saja aku tidak bisa." Pangeran Argara menatap kosong pada jalan yang di laluinya.

"Aku juga tidak tahu, Sinaya bukan hanya kehilangan Qadra Suaminya, teteapi juga Ayahnya, entah ia sanggup atau tidak menerimanya," tutur Qadra.

"Kau benar, tetapi sepanjang aku mengetahui Sinaya aku tahu ia akan tegar hanya saja siapa yang bisa menahan kesedihan di tinggalkan dua orang yang dicintai sekaligus?" ucap Pangeran Argara.

"Lihatlah Ayahnya Qadra, ia memiliki banyak luka di sekujur tubuhnya tetapi bahkan tidak merasakan kesakitan apapun begitu sedihnya ia ditinggal oleh kedua orang yang begitu di sayanginya satu sisi di tinggalkan oleh anaknya dan satu sisinya lagi ia di tinggalkan oleh Paman Baderi sahabatnya." Runday turut pilu melihat setiap orang kehilangan orang yang dicintainya.

"Lihatlah sekeliling kita Runday, semua orang tertunduk menahan tangis jika ia tidak tertunduk pun matanya menatap kosong, bukan hanya berkorban harta, tetapi juga nyawa dan perasaan yang orang biasa bahkan bisa gila seketika," tutur Pangeran Argara.

***

Rombongan Kerajaan Mayara tengah sibuk mengurusi penasehat Agung yang terluka.

"Penasehat Agung! Bagaimana kau sekarang? Apakah kau tidak apa-apa," tanya Panama, salah seorang petinggi Mayara.

"Ya, aku tidak apa-apa hanya saja tusukannya terlalu dalam, sehinga tabib harus sedikit menjahitnya," lirih Dandara.

"Baiklah kapan kau akan siap kembali ke Kerajaan Mayara? Kita akan menunggu mu sampai kau siap," ujar Panama kepada Dandara.

"Obati juga para prajurit yang terluka, jangan sampai terlewat," tutur Dandara.

Sebab merasa sangat lemah kemudian ia kembali istirahat.





























Layangan SinayaWhere stories live. Discover now