; don't be in relationship

14K 1.6K 159
                                    

"Ta, bantuin beresin baju, dong."

Suara Gellar yang entah kenapa terdengar dikeras-kerasin, bikin seisi ruangan noleh semua. Jordan, Jena, Echan, Rea, dan pastinya yang namanya disebutin sama cowok itu, Tita.

"Malem-malem gini?" Tita mengangkat alisnya, agak aneh aja karena ini udah menunjukkan pukul delapan malam dan Gellar malah ngajakin beberes. "Besok aja abis balik ngampus."

"Sekarang aja. Suka banget lo nunda-nunda."

Tita gak sengaja ngelirik ke arah Echan, yang ternyata lagi ngelihatin dia pakai tatapan, 'udahlah ikut aja. Kayak gak tahu Gellar aja lo.'

Lewat pandangan tersebut, barulah Tita bangkit dari duduknya. Iya, harunsya dia udah apal kenapa Gellar ngajak ke kamar. Bahkan Echan, Rea, dan Jordan aja udah bisa menerjemahkan kalimat 'bantuin beberes baju' sebagai kode bahwa Gellar mau ke kamar sama Tita jadi tolong gak diganggu.

Well, tentu aja Jena yang gak ngerti hubungan macem mana yang dijalani Tita dan Gellar jadi gak peduli banyak.

Tita mengikuti langkah Gellar yang menuju kamarnya. Dia membiarkan cowok itu menutup pintu.

"Sini, Ta, duduk." ujar cowok itu yang udah duduk duluan di tepi ranjang.

Tita menurut.

"Kenapa?"

"Sebenernya gue mau nyuruh lo buat tinggal disini, sama gue."

"Hah?" alis Tita terangkat naik, memastikan dia gak salah dengar. "Lo sinting?"

"Iya, awalnya gitu—maksud gue awalnya emang gue mau nyuruh lo begitu, bukan iya gue sinting. Tapi karena Jena tetep ikutan pindah, jadi gak jadi."

Oke, kayaknya Tita patut berterimakasih pada adik temannya itu. Karena jujur aja, kalau dia sampai dipaksa Gellar tinggal disini, dia yang kerempongan sendiri berasa ngasuh bayi.

"Oke, terus kesimpulan lo ngajakin gue kesini adalah?"

Gellar gak jawab, tapi cowok itu yang menyerongkan tubuh ke arahnya dan tiba-tiba nyengir membuat Tita curiga dan berprasangka buruk.

"Kunci dulu pintunya."

Gellar tersenyum puas dan mengangguk menuruti.
Cowok itu baru akan berdiri ketika kemudian suara di luar ruangannya terdengar kencang.

"Jena, jangan dibuka!"

Teriakan histeris Rea dan Echan membuat Gellar dan Tita melotot, sebelum kemudian Gella cepat-cepat ngacir ke kamar mandi untuk bersembunyi.

**

Semuanya menoleh ke arah pintu kamar mandi kala Gellar keluar. Cowok itu mendengus.

"Ngapain lo pada liat-liat gue?"

Jena memicing. "Abang abis ngapain?"

"Boker," jawab Gellar nyolot. Andai bukan adik kandungnya, udah dia maki dari tadi si Jena. "Ngapain pada ngumpul di kamar gue dah?"

Pasalnya, sekarang seluruh manusia yang tadi berada di ruang tengah pindah semua ke kamarnya.

Jordan duduk di sofa kamarnya, di sebelahnya ada Rea dan Echan, sementara Tita dan Jena duduk di tepi ranjang. Gellar memilih buat duduk di single sofa yang terletak di samping sofa yang diduduki Jordan.

"Ah, mumpung gue inget," Gellar menatap lurus ke arah adiknya. "Jen, gue mau nanya."

Mendengar nada serius yang keluar dari bibir Gellar, Jordan ikut ngelirik. Jena menatap malas ke arah sang kakak.

"Cowok lo anak mana? Siapa?"

"What?"

"Nama pacar."

"Hn... Na Jaemin?"

Rea hampir menyemburkan tawanya. Gellar mendengus. "Serius."

"Ya gimana, sih, orang gak punya pacar kok ditanyain nama pacar. Ngaco, nih."

Gellar ngelirik ke arah Jordan yang menunduk ngelihatin hape, seolah gak peduli sama percakapan antara kakak dan adik itu. Gellar jadi mendengus dan yakin kalau Jordan cuman ngasih hoax ke dia.

"Demi apa lo gak punya pacar?"

"Demi Lovato!"

"Jen, gue serius, ya."

"Iya, demi Tuhan! Astaga, apa sih?!"

Gellar manggut-manggut, kali ini percaya karena dia tahu Jena emang paling gak bisa bohong. Mukanya transparan banget jadi kalau bohong langsung kelihatan.

"Pokoknya lo gak boleh pacaran dulu. Denger gak?"

"..."

"Lo, tuh, masih SMA. Gak ada gunanya punya pacar juga. Fokus belajar, fokus raih cita-cita."

Tita yang denger itu memutar bola matanya jengah. "Ngaca."

Gellar noleh dengan pandangan gak santai. "Apa? Gue udah kuliah, ya, Ta."

"Iya, elo-nya. Tapi yang lo pacarin bahkan adek kelasnya adek lo. Means lo macarin yang lebih muda dari Jena."

Jena yang denger itu langsung mendelik ke abangnya. "Hah abang punya pacar?!"

"..."

"Kok pacarannya bukan sama Kak Tita gimana, sih?!"

Sebagai penumpang kapal nomor satu abangnya dan Tita, Jena jelas gak terima dengan informasi baru ini. Udah dari lama banget dia ngarep abangnya pacaran sama Tita aja karena, well, menurut Jena pribadi, sih, cewek paling bener dan bisa ngendaliin abangnya cuman Tita doang. Makanya dia suka gak ikhlas kalau Gellar ada pacar dan itu bukan Tita.

"Mana gue liat fotonya!"

"Apa, sih?!"

Jena noleh ke Tita. "Wait, tadi kakak bilang abang pacaran sama adik kelasku?! Di SMA yang sama?! Kelas berapa? 10? 11?"

Tita cuman meringis. Apa lagi pas dia sadar Gellar langsung melotot ke arahnya. Salah Tita juga, sih, karena dari awal gak diem aja dan malah bocorin rahasia Gellar di depan adiknya sendiri.

"Gue laporin papa, ya, lo macarin anak di bawah umur!"

Gellar mendengus. "Tujuh belas tahun bukan bawah umur, kali."

"Aku malah udah 18 tahun! Berarti aku bolehlah mau pacaran sama siapa juga!"

"Gak," Gellar konsisten. "Gue bilang gak, ya enggak. Lo gak boleh pacaran sebelum lulus kuliah."

Jordan mengangkat kepala. "Lulus kuliah?"

Jena noleh ke arah Jordan pakai sorot bingung karena tiba-tiba cowok itu menyahut. Tapi Jordan pura-pura gak tahu aja kalau Jena ngelihatin.

"Lulus SMA maksud gue," Gellar meralat.

"Oh."

"Ngapa?" Gellar mengangkat alisnya tinggi. "Mau macarin adek gue lo?"

Kalau ini di sinetron Indonesia, pasti backsound-nya adalah suara detak jantung Jena yang jedug-jedug kenceng saat nunggu jawaban cowok itu. Setengah takut dan setengah penasaran sama jawaban Jordan. Bodo amat dia dibilang geer, tapi yang namanya halu, kan, gratis.

Jordan menggeleng dan kembali menunduk pada ponselnya. "Enggak."

Lalu gak ada yang bisa didengar Jena selanjutnya selain suara patah hatinya.

**

kiss me more.Where stories live. Discover now