; make her understand

9.3K 937 77
                                    

Satu tahun kemudian.

Hari ini tanggal merah.

Sebenarnya, kalau aja Tita mau sesuai aturan, dia harusnya pulang ke rumah. Tapi faktanya, cewek yang kini memakai outfit overall abu-abu tanpa lengan yang rambutnya dikuncir kuda itu malah berada di rumah Jeff dan Hanna.
Gak ada siapa-siapa di sana selain ia dan Hanna. Benar-benar cuman berdua. Jena, katanya sih lagi kerja kelompok. Jeff, kata Hanna lagi ke rumah pak RT entah ngapain. Sementara Gellar, cowok itu bahkan gak tahu kalau tunangannya ada di rumah sang mama.

"Tante udah lama banget gak makan pempek. Makasih, ya, Tita."

"Sama-sama, Tante."

"Nanti rencananya pulang dari sini kamu nginep di kos apa pulang ke rumah?"

"Ke kos," Tita mengambil keripik kentang dalam toples. "Kan besok masih kerja."

"Gimana kerjaan? Everything's good?"

"So so, hehe. Kalau lingkungan, aku gak terlalu masalah. Tapi pressure-nya disana yang bikin gak bisa nafas."

Hanna bisa mengerti. Apalagi Tita ini terhitung karyawan baru. Pasti banyak pekerjaan yang jadi dibebankan pada dirinya yang seharusnya milik para senior. Hal kayak gitu udah biasa terjadi. Apalagi kantor tempat Tita kerja gak bisa dibilang perusahaan kecil. Rasanya susah banget nemu temen yang beneran baik, bukan pasang topeng karena mau ngejatuhin dia.

Dunia kerja emang kejam.

"Tapi masih bisa bertahan? Gellar aja udah ngeluh pengin pengangguran aja katanya."

Tita ketawa. Hanna ikutan ketawa dibuatnya. "Iya, kan? Dia pasti juga sering sambat ke kamu katanya gak kuat disuruh-suruh mulu sama atasan."

"Iya banget lagi."

"Omong-omong," Hanna berdeham sambil menuang air putih di gelas Tita. "Kamu sama Gellar pernah bahas soal pernikahan belum?"

Tita meringis, "Pernah, Tan. Beberapa kali."

Bohong.

Itu gak cuman beberapa kali.

Gellar SERING KALI mengutarakan niatnya untuk menikahi Tita. Sayangnya, perempuan itu selalu mengelak dan mengalihkan pembicaraan.

Saking seringnya, Tita bahkan hafal, gak ada satu bulan terlewatkan tanpa Gellar ngomongin pernikahan dan memintanya agar mau melangkah ke jenjang yang lebih serius. Terakhir kali laki-laki tersebut membicarakan pernikajan benar-benar baru minggu lalu. Tita masih hafal detailnya.

Malam itu, kayak rutinitas biasa di setiap tanggal 18, Gellar dan Tita akan belanja bersama di supermarket demi mengisi kulkas di apartemen Gellar dan kebutuhan Tita di kosan.

Singkat cerita, pas keduanya sibuk milih brokoli hijau, mereka denger seorang wanita sekitar 50 tahunan lagi ngasih wejangan ke perempuan muda yang Tita tebak adalah menantunya.

"Ibu, tuh, seneng kalian cepet-cepet nikah. Kalau kelamaan pacaran, kan, enggak baik. Takut yang satunya jamuran nungguin satunya, takut keburu bosan, takut ini dan itu. Memang paling bener hal baik harus disegerakan. Kayak gini, Ibu yang biasanya belanja sendirian karena anak satu-satunya Ibu—suami kamu itu—sibuk terus, tapi sekarang ada yang nemenin Ibu belanja karena Aldo udah nikahin kamu. Lagian umur gak ada yang tahu, orang tua mana yang gak pengin anaknya cepet nikah dan punya anak?"

Kalimat panjang dari wanita di samping Gellar itu membuat dia dan Tita sama-sama terpaku beberapa saat, seolah mereka memang lawan bicara wanita tersebut padahal bukan.

Anehnya, karena wejangan tersebutlah Tita sama Gellar jadi agak diem bahkan sampai keduanya masuk mobil mau pulang.

Gellar yang menahan diri buat mengutarakan niat akhirnya hilang kontrol.

kiss me more.Where stories live. Discover now