1. Surprise Arinta

655 61 119
                                    

Deretan nama terpajang pada kertas yang tertempel di papan pengumuman sekolah. Menampilkan sepuluh murid yang lolos akan seleksi beasiswa kuliah di salah satu Universitas Singapura.

"Ada nama kamu di sini, Ta!" Sherin terlihat antusias tatkala membaca nama Arinta ada di urutan ke delapan. Sekali pun namanya sendiri justru tidak ada di dalam daftar.

"Ini serius, Rin?"

Arinta masih tidak percaya pada apa yang dilihat. Usahanya selama dua bulan terakhir, untuk menghadapi tes seleksi beasiswa itu terbayarkan.

"Serius lah, Ta. Masa iya bohongan? Orang jelas-jelas ada nama kamu di sini."

"Tapi, Rin. Nama kamu ...."

Sherin tersenyum serasa merangkul Arinta. "Mungkin emang itu bukan kesempatanku, Ta."

Jauh dari lubuk hati, Sherin kecewa pada dirinya sendiri. Apalagi jika kedua orang tua serta kakaknya tahu. Penyesalan dalam dirinya bertambah, ketika mengingat keluarganya yang selalu memberi dukungan setiap saat. Namun, apa boleh buat jika memang ini yang terbaik untuknya.

"Rin! Gimana kalau kita ke warung bakso Pak Joni ntar sore? Gue traktir deh."

"Boleh banget tuh.  Siapa sih yang nggak suka traktiran?"

"Maaf ya, gue cuma bisa traktir lo bakso sama es teh doang. Nggak bisa ke kafe-kafe."

"Aku yakin kamu bakalan sukses suatu hari nanti, Ta. Lagian bakso juga enak, apalagi belinya di Pak Joni yang emang aku udah sering ke sana. Jadi, mau jam berapa ntar sore?"

"Jam setengah empat gimana?"

Sherin mengangguk. "Oke! Janji, ya."

"Iya, janji dong Rin, tapi nanti kita langsung ketemu di warung Pak Joni aja, ya?"

Begitu keduanya sepakat. Sherin langsung menggandeng Arinta untuk kembali ke kelas. Walau sebenarnya hari ini memang tak ada kegiatan, karena ujian kelulusan juga telah selesai dilaksanakan. Hanya tinggal menunggu pengumuman dan melakukan persiapan acara perpisahan nanti. 

__________

Sore hari telah tiba. Arinta tengah bersiap-siap untuk mandi sebelum bertemu dengan sahabatnya. Namun, suara ponselnya berdering, membuat dia mengurungkan sejenak niatnya.

Rupanya ada panggilan dari Gibran yang mengatakan jika dia sedang perjalanan menuju ke rumahnya. Tunggu, untuk apa Gibran akan ke sini? Buru-buru Arinta masuk kamar mandi, bisa gawat kalau Gibran sampai di rumahnya dan dia masih acak-acakan seperti sekarang.

Sepuluh menit berlalu, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan segera Arinta membukakannya, sampai tak sadar keberadaan handuk yang masih setia di leher.

"Kak Gibran ternyata beneran ke sini? Mau ngapain, Kak? Kok dadakan banget. Untung aku udah mandi nih."

"Saya mau ajak Anda ke suatu tempat."

"Kita mau ke mana, Kak? Eh, tapi tunggu! Sore ini aku ada janji sa—"

Perkataan itu terhenti, kala Gibran memajukan dirinya dan menatap lekat Arinta, menyisakan jarak begitu dekat.

"Ikut saja. Lagi pula ini hanya sebentar, tidak akan memakan waktu lama. Justru, jika Anda menolak, akan semakin lama."

"Okelah. Yuk berangkat!"

"Lepas dulu handuknya. Yakin mau keluar dengan keadaan seperti itu? Kalau saya tidak masalah." Gibran terlihat sedang menahan tawanya, melihat muka polos Arinta.

Lain halnya Arinta yang menepuk dahinya karena lupa, dia lantas melepas dan meletakkan handuk di lehernya ke tempat semula. Barulah ikut ke mana Gibran  akan membawanya.

Formal Boy 2Where stories live. Discover now