Mistakes

203 159 24
                                    

Suhu tubuh Dek Ta mencapai 38 derajat Celcius. Badan menggigil ditambah batuk pilek tiada henti. Semalaman penuh Ibu tidak tidur dan terus mengompres air hangat di atas dahi dan lipatan ketiak adik agar suhu tubuhnya menurun.

Aku melakukan tugas kewajibanku setiap pagi. Masak nasi dan bersih-bersih rumah. Sesekali mengecek suhu tubuh adikku yang meringkuk di kamarnya.

“Bu, mulut Adek pahit,” ucap Dek Okta sambil menunjukkan lidahnya.

“Iya, Nak. Nanti ke dokter, ya. Sekarang makan dulu, ya?” pinta ibu.

“Nggak mau, pahit, Bu...”

“Kamu kemarin main hujan-hujanan, ya?” tanya ibu untuk memastikan penyebab Dek Ta sakit.

“Enggak, kan kemarin Adek di rumah aja,” jelas Dek Okta dengan suara serak.

“Kamu jajan sembarangan di luar?”

Dek Okta menggeleng yakin. Tiba-tiba tangan telunjuknya mengangakat, seperti sedang mengingat sesuatu.

“Kemarin dari rumah Bang Indra, Kakak Juni kasih Adek soda enak, Bu..” Dek Ta manggut-manggut yakin.

Ibu langsung memicingkan bola matanya mengarahku. Tatapannya seperti akan menghabisiku. "Benar, Kak? Kemarin kamu kasih Adekmu minuman apa?"

"Es krim McFlurry dari rumah Indra kayaknya." Aku mencoba mengingat-ingat.

"Kata Adek kamu kasih minuman soda."

Aku teringat dan mengangguk. Sisa soda minumanku kemarin. "Adek minta minuman Kakak kemarin."

"Kenapa asal kamu kasih? Kamu kan tahu Adek nggak bisa minum begituan. Tenggorokannya sakit. Kamu tuh, teledor banget jaga Adek." Suara Ibu meninggi.

“Iya. Adek yang minta, kok jadi aku yang salah,” jawabku sambil menunjuk Dek Ta.

Ibu menarik nafas dalam-dalam sambil berkacak pinggang. 

“Kamu bisa nggak sih, Kak, nggak ngejawab ucapan Ibu? Kamu itu salah. Adekmu itu masih kecil. Harusnya dengan sikap kedewasaan kamu, kamu bisa larang adik kamu." Ibu berkacak pinggang. "Kamu nih, kerja apa aja nggak ada yang benar. Apa-apa mesti diteriakin dulu. Gara-gara kamu Adek jadi nggak bisa masuk sekolah. Ibu capek sama kelakuanmu, Jun." Ibu masih memelototiku. "Lihat abangmu, di sekolah berprestasi, aktif organisasi, di rumah pun masih suka membantu Ibu antar ke sana ke mari. Sementara kamu, di rumah nggak pernah belajar, piring kotor bukannya dicuci dengan kesadaran sendiri. Kamu itu anak perempuan, Jun. Harus rapi, bersih, cekatan." Omelannya kian merembet ke sana ke mari.

"Kenapa sih, Bu semua kesalahan Adek aku yang kena? Kenapa Ibu terus bandingin aku sama Abang? Apa aku seburuk itu di mata Ibu? Aku juga kerja, Bu di rumah. Apa pernah aku membantah suruhan Ibu? Soal Dek Ta, dia sendiri yang mau minum soda. Apa aku harus larang kalau dianya sendiri pengin minum soda itu? Kenapa cuma aku yang disalahin sementara Dek ta nggak?" Suaraku bergetar.

Tatapan Ibu nanar menatapku.

Semua emosiku meluap. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap Ibu yang selalu membela abang dan adikku. Tak pernah aku dibela oleh keluargaku.

Pengorbanan Bang Januar yang dapat dihitung dengan jari tidak sebanding dengan semua pengorbananku setiap hari di rumah ini.  Tidak pernah sekali pun aku melawan perkataan Ibu. Apa yang Ibu suruh selalu aku turuti. Hanya karena satu kesalahan, semua pengorbananku dilupakan begitu saja.

Andai Ibu tahu kalau aku ini juga anaknya. Anak yang ingin didengar keluh kesahnya. Anak yang butuh dekapannya. Bukan anak yang bisanya hanya disuruh sesuai keinginannya.

Ibu tak menjawab. Bahkan aku menangis pun Ibu tetap tidak peduli. Mungkin yang diharapkannya adalah aku harus mengalah dan meminta maaf kepadanya. Namun kali ini, egoku begitu besar dan enggan meminta maaf. Aku tidak bersalah. Bukan tugasku untuk mengatur segala kehidupan adikku. Ia punya kendali atas hidupnya untuk memilih mana yang baik dan tidak. Bukan menjadikanku sebuah kambing hitam untuk disalahkan. Hanya karena Dek Ta masih berumur enam tahun bukan berarti ia dimudahkan untuk lepas dari kesalahannya. Ia juga perlu belajar untuk tidak menyalahkan orang lain.

Gardenia Familia [COMPLETED]Where stories live. Discover now