Lost Bracelet, Lost Hope

137 80 84
                                    

Hari Selasa tiba. Mami Rita dan Om Sulaiman akhirnya pulang dari Bali. Betapa hebohnya mereka pulang dan membawa oleh-oleh untuk para tetangga Gardenia.

Mami Rita langsung mencium anak kembar kesayangannya untuk melepas rasa rindu. Begitu pun Om Sulaiman, beliau hanya menyambut singkat anak kembarnya, namun tak lama beliau pergi lagi untuk urusan pekerjaannya.

Mami Rita berterimakasih kepadaku karena telah menolong Andra kala itu. Beliau langsung mengambil sebuah kotak di dekat kopernya dan memberikan sesuatu kepadaku.

Aku berteriak senang, "Asiiik, pie susu!"

Aku langsung memakannya dengan lahap hingga tersedak. Dengan sigap Indra segera mengambilkan segelas air untukku. "Dasar bocah, kayak nggak pernah makan pie susu aja lu."

"Bodo amat. Kalau gue makan di rumah, bisa-bisa langsung diabisin sama Bang Jan dan adek," ucapku yang terlihat egois karena sering disuruh mengalah untuk abang dan adik.

Mami Rita terkekeh. Beliau membuka isi koper dan memberikan kantong plastik kecil kepadaku. "Jun, ini gelangnya. Mami nggak tahu kamu suka yang mana. Kemarin Mami telepon, ponsel kamu mati," aku mengangguk. Kemarin memang aku ketiduran dan tak mendengar suara ponsel berbunyi.

"Nggak apa-apa, Mi. Cakep, kok. Juni suka," ucapku seraya memasang gelang di tangan kiriku.

Kini aku mempunyai dua gelang dari Bali. Motifnya hampir mirip seperti yang diberikan Leo. Yang membedakan hanyalah manik-manik dan warna dari bunga mawar. Pemberian Leo berwarna merah muda, sementara pemberian Mami Rita berwarna biru.

Andra memasuki ruang keluarga-- membantu Maminya membereskan barang.

"An, bagus nggak?" Ucapku pamer dengan gelang baru.

"Nggak," Andra melengos membawa koper Maminya ke kamar.

Sial.

"In, bagus nggak? Gelang gue ada dua dong sekarang," ucapku yang masih ingin pamer.

"Kayak dukun lo pakai gelang banyak-banyak."

Kampret! Bukannya dapat pujian malah dapat celaan.

***

"Jun, kita satu tim, nih! Siap-siap jadi pemukul, ya," jelas Serena di lapangan.

Hari ini ujian praktik olahraga. Aku dan Serena menjadi satu tim dalam permainan kasti. Sementara Tisha dan Selly adalah tim lawan. Tiap tim beranggotakan dua belas peserta.

Kebetulan Tisha menjadi pelempar dan aku menjadi pemukul. Sorot mataku tajam mengarah pada titik bola yang akan dilempar Tisha.

Permainan dimulai. Lemparan pertama gagal. Begitu pun yang kedua. Kesempatan terakhirku hanya tinggal ini--untuk bisa lari ke tiang I. Bola kasti kembali dilemparkan oleh Tisha. Aku berhasil memukulnya dan segera berlari kencang ke arah tiang I sebelum bola kasti mengenai badanku. Kami terus berlari mengitari tiang I hingga tiang III dan berhasil mendapatkan 1 skor penuh.

Selepas olahraga aku segera berganti pakaian seragam. Tiba-tiba Serena mengagetkanku. "Jun, gelang lo kok cuma satu?"

Aku mengecek pergelangan tanganku. Tanpa kusadari, gelang pemberian Mami Rita hilang. Dengan cepat aku kembali ke lapangan untuk mencari gelang.

Aku mengelilingi setiap sudut tempat yang pernah kusinggah, namun tetap tak menemukan gelang terjatuh.

Dari jarak lima belas sentimeter, aku melihat pantulan cahaya dari suatu benda yang tertutupi oleh pasir. Aku mendekatinya dan menemukan butiran manik-manik yang berceceran tertimbun oleh pasir. Aku langsung memungut manik-manik mawar biru, mutiara, dan senar benang yang terputus. Gelang pemberian Mami Rita benar-benar hancur dan tak bisa dibetulkan. Kini yang tersisa hanyalah gelang pemberian Leo. Aku harus menjaganya agar tak rusak seperti ini lagi.

Gardenia Familia [COMPLETED]Where stories live. Discover now