1 - Meja Apa Ini?

522 43 12
                                    

Assalamualaikum ....

Terima kasih sudah memilih cerita ini.

Selamat membaca dan semoga betah sampai akhir.

Mohon dukungannya, ya. 😊🙏

🍁🍁🍁

Punya Ayah tukang judi, pemabuk, dan suka main tangan adalah komposisi yang sangat sempurna untuk menyuramkan masa remaja Kinar. Namun, nyatanya itu belum cukup. Setahun yang lalu, Ayah yang sangat merepotkan itu tiba-tiba pergi meninggalkan segunung utang yang terpaksa ditanggung oleh Kinar dan Ibunya. Hari itu, hidup Kinar dihadapkan pada babak baru, yang ternyata jauh lebih rumit.

Para ajudan rentenir yang arogan itu datang hampir tiap hari. Kinar dan Ibunya benar-benar kewalahan.

Kinar bekerja di toko sepatu, sementara Mira, ibunya, hanya buruh cuci. Pendapatan mereka sangat tidak memungkinkan untuk melunasi utang peninggalan Ayah.

Di sisi lain, Kinar lega setelah Ayah tidak ada. Minimal tidak ada lagi teriakan-teriakan beringas di pagi buta, atau suara tamparan di pipi Ibu. Mungkin Ibu memang sedih setelah ditinggal pergi, karena setahu Kinar dia memang secinta itu. Namun, setidaknya fisik Ibu tidak tersakiti lagi. Bagi Kinar, itu jauh lebih penting.

"Ke Malaysia?" Alis Kinar bertaut saat mengulang nama negara yang barusan disebutkan Ibunya.

Mira mengangguk lemah.

"Ngapain ke Malaysia, Bu?" Kinar yang tadinya sedang melipat pakaian, menghentikan segenap aktivitasnya. Tatapannya tertancap tepat di mata Ibu.

"Di sana Ibu bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi."

Kinar tercekat. Tahu-tahu matanya sudah berkaca-kaca. Meski hidup serba kekurangan dan utang sedemikian banyak, Kinar mencintai hidupnya yang sekarang. Setidaknya ini lebih baik dibanding Ayah masih ada.

"Ini pasti iming-iming dari Bu Dian, kan?" tanya Kinar dengan nada sedikit kesal.

Bu Dian adalah tetangga mereka yang sudah belasan tahun merantau di Malaysia. Tiga hari yang lalu dia pulang karena ibunya meninggal. Tadi sore, Kinar memang melihat mereka terlibat obrolan serius di teras.

"Dia, janji akan membantu Ibu mengurus segala sesuatunya sampai Ibu benar-benar mendapatkan pekerjaan di sana."

"Jadi, Ibu serius benar-benar ingin pergi?" Nada suara Kinar terdengar berat.

"Tidak ada salahnya dicoba, kan? Kalau memang tidak betah, kan, bisa balik lagi ke sini."

Hening sejenak. Jutaan rasa berkecamuk di dada Kinar. Dia benci ini, tapi lagi-lagi protesnya mengalun kepada Sang Pencipta. Kenapa hidupnya tidak pernah beruntung?

"Kinar pikir kita akan sama-sama terus, Bu." Air mata Kinar menitik. "Bukannya Ibu yang selalu bilang, kita pasti bisa melewati semua cobaan ini."

"Karena itu Ibu harus pergi, biar semua ini cepat terlewati."

Kinar menyingkirkan tumpukan pakaian di depannya. Dia bergeser hingga kepalanya rebah di dada Ibu.

"Ibu akan sangat merasa bersalah kalau membiarkan kamu terus-terusan hidup dalam situasi seperti ini. Memastikan bahagiamu adalah tanggung jawab Ibu."

Kinar terisak. Selama ini dia tidak peduli dengan luka-luka yang mendera. Selama bersama Ibu, semuanya akan terasa lebih ringan. Apa jadinya kalau mereka harus hidup terpisah?

"Gimana kalau Kinar kangen Ibu?"

"Ibu janji akan sering-sering berkabar."

Kinar menggeleng pelan. Sekadar kabar tentu saja tidak cukup. Pada titik tertentu dalam hidupnya yang tidak baik-baik saja itu, Kinar butuh Ibu seperti sekarang, sebagai sandaran.

Jodohku Tertinggal di Tahun 1972Where stories live. Discover now