1. Intuisi

47 15 55
                                    

   Tak seperti hari Minggu sebelum- sebelumya, dimana penghuni rumah dengan teras yang dihiasi berbagai jenis tumbuhan ini akan sibuk dengan acara mereka masing-masing dan baru akan berkumpul di sore hari. Pagi itu, ditemani cuaca cerah dengan hawa yang cukup panas seperti Surabaya biasanya, keluarga Denandra memilih untuk menyibukkan diri di rumah.

   Diantaranya adalah dua remaja berstatus anak yang sibuk mengeluarkan beberapa barang untuk dipindahkan ke gudang di sebelah kediaman mereka. Hanya berbeda pintu masuk saja.

    Juanada sebagai pelopor kegiatan bersih-bersih itu tentu sangat semangat. Selain karena ini merupakan inisiatifnya sendiri, ia juga tidak sabar untuk bertemu kakaknya yang akan kembali menetap setelah menyelesaikan studi S1 di Bali, pulau yang juga pernah keluarganya tinggali selama kurang lebih enam tahun lalu. Pertemuan terakhir mereka secara langsung yakni saat Nada duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, sebelum akhirnya pindah ke kota Pahlawan dan meninggalkan si sulung bersama keluarga pak dhe yang merantau disana. Entah karena apa.

    Menjalani hubungan jarak jauh selama bertahun-tahun kerap membuat gadis itu frustasi. Selain karena harus toleransi dengan rindu, ia juga dipaksa memiliki karakter seorang anak sulung yang terlihat anti banting meski dihujani segala macam tuntutan sebab perhatian selalu tertuju padanya. Tangis penuh lelah kerap keluar saat berhasil terhubung dengan sang kakak di pulau seberang melalui saluran telepon ataupun video call. Tak seorang pun tahu bagaimana lemahnya Nada dibalik senyum yang membuat matanya menyipit. Hanya si sulung.

    Nada menyayangi kakaknya lebih dari apapun.

    Usai membalas pesan terakhir dari sang kakak yang mengatakan bahwa dirinya baru menginjakkan kaki di bandara, Nada kembali membersihkan ruang baca yang akan disulap menjadi kamar kakaknya nanti. Bersama Jiyan si bungsu, yang bertugas sebagai anak sekaligus adik laki-laki yang sedari kegiatan ini dimulai harus rela diminta kesana kemari oleh Nada beserta orang tuanya.

   Tak berbeda jauh dengan arti figuran secara harfiah yakni pemeran pembantu. Bocah dengan tinggi 180 cm—hampir menyentuh dua meter—itu sempat protes karena Nada memanggilnya babu meski dalam konteks bercanda. Dengan sogokan berupa es campur serut Arela langganannya, Jiyan pun dengan lantang berkata bahwa dia akan ikhlas membantu jalannya acara bersih-bersih ini.

   Ikhlas katanya....

    “Disuruh pindah kamar juga mau aja aku, Mbak.” kata laki-laki bermata sipit itu setelah mendapat sebungkus es campur kesukaannya.

   Pilihan untuk menukar kamar Jiyan dengan calon kamar kakaknya tentu tidak Nada ambil. Ibaratnya, Jiyan menukar barang bekas dengan kondisi buruk yang justru dibayar menggunakan barang baru yang jelas bagus. Siapa juga yang mau bersihin kamar si bocah tengil itu yang berantakan minta ampun! Mau dibayar pakai lima porsi Arela pun nggak bakal rela.

   Sementara itu, orang tua kakak beradik itu tengah asik membersihkan rak pot bersusun yang letaknya tepat di depan rumah. Keduanya memang menyukai kegiatan berkebun dan mengoleksi tanaman sejak masih tinggal di Pulau Dewata. Rumah bercat abu-abu khas industri yang mereka tinggali pun menjadi rumah dengan pekarangan sederhana paling hijau dibanding tetangganya. Hal ini membuat beberapa tetangganya kerap berkunjung untuk meminta bibit tumbuhan atau mengambil hasil pekarangan yang bisa diolah seperti cabai, gambas, dan daun kemangi.

    Belum tuntas kegiatan yang Nada lakukan, sebuah panggilan masuk membuat lagu milik Peterpan yang diputarnya harus terhenti. Jiyan yang duduknya lebih dekat dengan meja pun secara sukarela meraih ponsel dengan casing bergambar Optimus Prime milik kakaknya.

   “Epan nih Mbak, tak angkat ya?” Setelah memastikan sang pemilik setuju, Jiyan pun menggeser logo telepon berwarna hijau ke atas. Tak lupa juga untuk menghidupkan mode loudspeaker agar kakaknya yang kurang menaruh kepercayaan padanya itu dapat mendengar dengan jelas.

Tangga NadaWhere stories live. Discover now