Bab 23: Kulit Bedug

1 0 0
                                    

Xavier berdiri di balkon memperhatikan Reynand yang memacu kendaraannya keluar dari parkiran bakery dan membelah jalanan kota. Napasnya menyembur begitu saja. Lega rasanya dia bisa mengatur ekspresi wajah sesuka hati lagi. Setelah tersiksa semalaman mendengarkan obrolan konyol Dean dan Reynand, dia hanya sembunyi di bawah selimut untuk menahan tawa, sementara dua anak itu terbahak seolah tanpa henti menertawakan apa saja. Tapi itu masih tidak seberapa dibanding kalau Ayah Bima tiba-tiba menyebut nama Xavier, dan Reynand menyebut nama Aiden. Mereka berdua terlalu larut dalam obolan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Xavier maupun Aiden.

Xavier kembali masuk ke rumah dan pergi ke dapur. Reynand buru-buru pergi karena harus pulang dulu untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Dia menolak ajakan Ayah Bima untuk sarapan dulu. Padahal, pria itu sudah semangat sekali menyiapkan sarapan pagi ini.

"Ayah, biar saya saja," ujar Xavier ketika menghampiri Ayah Bima di depan counter.

"Tidak perlu. Kamu siap-siap aja berangkat sekolah. Nanti kesiangan."

"Apa?"

Xavier terkaget sendiri disuruh siap-siap sekolah, sedangkan Ayah Bima menoleh padanya dengan tatapan bingung.

"Kamu, kan, sudah mulai sekolah lagi," katanya. Ternyata Ayah Bima sadar kalau Xavier sempat pergi ke sekolah, padahal tidak bilang-bilang padanya.

"O-oh ... i-iya ...." Xavier menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Luna, kamu juga siap-siap. Ini biar Ayah yang selesaikan."

"Oke."

Luna bergegas pergi dengan riang, sedangkan Xavier pergi ke kamar Dean dengan perasaan bingung. Dean sedang memakai seragamnya ketika Xavier masuk. Rambutnya acak-acakan belum disisir. Namun, dia lebih peduli untuk merapikan tempat tidur dulu daripada rambutnya.

Xavier duduk di kursi belajar Dean dan berujar, "Ayah mengira aku benar-benar kembaran Aiden dan sekarang sudah mulai masuk sekolah lagi."

"Terus?"

"Aku harus bagaimana? Kalau tidak berangkat, dia akan bertanya-tanya."

"Ya udah, berangkat aja."

Xavier menghela napas mendengar Dean yang bicara enteng sekali. "Masalahnya, kalau aku pergi, aku pergi ke mana? Kalau ke sekolah dan di sana tiba-tiba ada dua Aiden, bisa-bisa heboh."

Dean menegakkan tubuh dan bola matanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kamu gantiin Aiden lagi aja."

"Tidak mau. Bisa-bisa syaraf wajahku mati semua kalau terus-terusan jadi Aiden."

Dean berdecih dan pergi mencari sisir sambil mengomel, "Kalau gitu ngapain tanya aku?"

Xavier merengut sebentar sebelum akhirnya penasaran akan sesuatu. "Tapi ngomong-ngomong, apa Aiden sudah sembuh?"

"Mana aku tahu?"

Xavier beranjak menuju nakas dan mengambil handphone Dean. Dia menyodorkan benda itu pada Dean dan berkata, "Panggil dia sekarang."

Dean menoleh sambil menghela napas. Diraihnya handphone itu dan dia mengotak-atiknya sebentar. Setelah bunyi tut-tut sebanyak tiga kali, terdengar suara Aiden di seberang sana.

"Halo, Dean." Suaranya terdengar sedikit lemah.

"Kamu udah sembuh? Hari ini mau sekolah?"

"Iya, nih. Lagi siap-siap."

Dean menoleh pada Xavier sebelum kembali berbicara. "Kalau kamu belum sehat betul, biar Xavier aja yang berangkat."

Xavier memelotot dan berniat menolak. Namun, perkataan Aiden keburu menginterupsinya.

The Reason Why I LiveWhere stories live. Discover now