3. Setelah Sekian Tahun

1.3K 49 0
                                    

Sebulan menuju ulang tahun pernikahan kami yang ke sepuluh. Kurasa saat ini pernikahan kami baik-baik saja. Setelah sepuluh tahun perjalanan yang melewati banyak tanjakan dan turunan tajam disertai banyak tikungan di antaranya, kami berhasil melaluinya dengan utuh.

Suamiku sudah cukup lama belum mendapatkan pekerjaan lagi dari mana pun. Namun, rejeki kami tetap saja mengalir melalui tanganku. Bisnis retailku cukup lancar dan stabil, paling tidak cukup untuk membiayai keseharian kami.

Masih mengontrak rumah setelah bermasalah dengan KPR dan enggan melewati lagi masa-masa stress dikejar cicilan. Tidak mempunyai asset berharga apa pun tidak masalah. Yang penting ada tempat tinggal yang nyaman untuk bernaung. Anak kami pun mulai bersekolah TK di tahun ini.

Sungguh aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa mungkin beginilah kehidupan kami. Dengan aku sang istri yang malah menjadi penopang kehidupan sementara suami belum kembali berpenghasilan. Lagipula suamiku sangat ringan tangan membantu segala pekerjaan rumah tangga kala aku terlalu lelah. Dia juga bisa diandalkan dalam urusan mengasuh anak. Bahkan guru-guru di sekolah anakku lebih sering melihatnya mengantar jemput anakku dibandingkan aku.

Aku tahu soal fitrah dimana seharusnya lelaki yang menjadi pencari nafkah utama. Lagipula, bukannya dia tidak sama sekali berusaha. Beberapa tahun yang lalu bersama kawannya mencoba membuka kedai kopi yang sempat laris. Namun, benturan dengan pemegang modal membuat usaha mereka mandek dan bubar jalan.

Dua tahun ke belakang pun suamiku sempat menjadi supir online yang kala itu sedang marak-maraknya dengan banyak insentif harian. Menggunakan mobil ibuku, yang akhirnya terbuka menerima kami kembali, sempat berjalan selama hampir satu tahun. Hanya saja mungkin bekerja dengan bertemu banyak orang setiap harinya tidak cocok untuk Mas Fahim. Sehingga sepertinya malah lebih banyak biaya yang dikeluarkan ketimbang hasilnya.

Aku tidak tega melihat suamiku yang pergi keluar rumah sejak Subuh hingga tengah malam mencari penumpang, tetapi tidak membawa hasil yang sesuai dengan lelah yang dirasakannya. Akhirnya dia berhenti menjadi sopir ketika ibuku memutuskan menjual mobil karena suatu hal.

Setelahnya suamiku sempat berkecimpung dalam bisnis penyewaan mobil dan pariwisata bersama rekan-rekannya sesama sopir online. Tidak turun langsung, tetapi menjadi otak perancang bisnis. Dia menjadi lebih sibuk dari biasanya dan jarang ada di rumah, tetapi setidaknya justru lebih sering memberi uang ketimbang waktu menyupir sendiri.

Karena bekerjasama dengan pihak yang salah, usaha terakhirnya malah menghasilkan banyak utang yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Entahlah, aku sempat berpikir bahwa mungkjn suamiku memang tidak berbakat bisnis. Kenyataannya memang tidak semua orang bisa mengembangkan bisnis, kan? Aku cukup bersyukur bahwa tetap saja usaha kecil-kecilanku terus berjalan sekalipun tidak mengalami peningkatan signifikan setelah sekian lama.

Aku memang memutuskan berhenti bekerja di luar setelah memiliki seorang anak. Jujur saja, dulu sering sekali aku menyesali keputusanku sendiri. Karena ketika sedang tidak memiliki uang sama sekali, sementara tagihan terus berdatangan, dan suami sedang di luar entah kapan akan pulang, anak kecilku menjadi sasaran empuk pelampiasan stress.

Di usianya yang enam tahun sekarang, aku merasa banyak luka pengasuhan yang kutorehkan dan membuatnya menjadi anak yang tidak percaya diri. Aku pernah mengurungnya di kamar saat dia masih belajar berjalan di atas baby walkernya hanya karena tidak mau makan di usianya yang belum juga dua tahun. Aku yang baru saja kedatangan penagih hutang cicilan rumah membentak balita malangku dari luar kamar sementara dia terus menangis. Ketika pintu kubuka, kulihat dia muntah di atas baki yang ada di baby walkernya, dan aku malah semakin mengomel saat tangisnya makin kencang.

Sungguh hingga hari ini aku tidak bisa melupakan kejadian itu dan betapa inginnya memutar ulang waktu. Sayang sekali belum ada yang bisa melakukannya. Maka yang kubisa hanyalah berusaha memeluk gadis kecilku sesering mungkin untuk memenuhi hatinya dengan cinta, sehingga mungkin lama kelamaan lukanya akan menghilang.

Kadang aku bersyukur dengan keadaan suamiku yang tidak bekerja dan banyak menghabiskan waktu bersama anak kami. Bukankah anak perempuan harus dekat dengan ayahnya? Walaupun kadang kedekatan mereka berdua membuatku iri.

Mungkin orang tidak akan percaya, tetapi rasanya aku bahagia! Ketidaksempurnaan yang ada tidak mengurangi rasa cintaku kepada keluarga kecilku.

"Mas, kita ini bahagia, kan?" Pertanyaan itu sering sekali kutanyakan kepada suamiku. Entah karena aku merasa demikian atau karena butuh untuk diyakinkan.

"Iya, kita bahagia, Sayang. Cuma masih bokek aja," jawab suamiku setiap saat yang akan membuat kami tergelak dan saling memeluk dengan penuh rasa. Rasa yang bercampur aduk antara cinta, haru, geli, dan syukur.

Mengantar anak berkegiatan bersama sekolah pun selalu kami lakukan bersama. Seperti kompetisi marching band pada hari ini. Anak kami yang tidak suka tampil sangat bersemangat dengan perannya sebagai pemukul xylophone. Berbulan-bulan berlatih setiap minggu bersama teman-temannya. Kami baru tahu hari itu kalau anak kami ternyata mendapatkan peran tambahan sebagai pembawa bendera yang berlari mengitari area depan sebelum lagu dimulai. Pantas saja dia berkata ada kejutan untuk Ayah dan Ibu.

Aku dan suamiku bersama para orang tua lainnya duduk di dalam stadion yang menjadi tempat berlangsungnya kompetisi. Saat anak-anak kami muncul, semua menjadi bersemangat dan berdiri sambil bersorak memberi semangat.

"Mas, itu lihat Ava di paling depan! Ya ampun, lucu banget! Tiang benderanya kayanya ketinggian dia repot banget bawanya ha-ha," kataku penuh semangat sambil bertepuk tangan dan menjawil lengan suamiku.

Betapa kesalnya aku ketika mendapatinya sibuk dengan ponselnya dan tidak bahkan memperhatikan kata-kataku apalagi melihat ke arah anak kami yang terlihat sedang mengedarkan pandangan mencari kami.

"Mas, yang bener aja dong! Kaya ga bisa nanti lagi aja lihat HP! Itu anaknya nyariin!" Tegurku dengan kesal.

"Apaan sih!" Dia bangkit dari duduknya dengan wajah yang terlihat kesal. Merasa terganggu? Aku yang merasa terganggu melihatnya lebih tertarik pada ponselnya daripada kepada anak kami!

"Semangat, Ava!" serunya kepada anak kami yang tersenyum lebar ketika menemukan kami di bangku penonton.

Anakku mulai berlari membawa tiang bendera yang terlihat terlalu besar dibawanya. Sungguh aku merasa sangat bangga melihat anakku yang tiba-tiba nampak sudah besar dan bukan lagi bayi kecilku yang bisa kupeluk kapan saja. Aku sibuk maju ke depan untuk merekam tim anakku beraksi dengan anakku berada di baris terdepan.

Dua lagu mereka mainkan dengan sangat baik. Jangan lupa bahwa anak-anak ini rata-rata baru berusia enam tahun. Berhasil memainkan dua lagu dengan tertib tanpa banyak kesalahan saja sudah merupakan pencapaian hebat di mataku. Sayangnya sepanjang penampilan mereka, suamiku hanya duduk dan matanya fokus menatap layar ponsel sambil sesekali tertawa sendiri, alih-alih memperhatikan anak kami. Rasanya belum pernah aku merasa sekesal ini sampai ingin membanting ponselnya dan menginjaknya sampai hancur.

Setelah selesai tampil tim sekolah anakku memutuskan untuk bubar dan tidak menunggu pengumuman pemenang. Aku sendiri sudah tidak terlalu peduli memang. Kasihan anakku terlihat sangat lelah meskipun tetap ceria layaknya anak kecil yang bersemangat.

"Mas  kita cari makan dulu ya? Ava laper, tuh," ajakku kepada suamiku. Dia hanya mengangguk dan tetap sibuk sendiri dengan ponselnya hingga aku dan anakku berpamitan kepada para guru dan temannya.

Kami memesan taksi online menuju restoran pizza kesukaan anak kami. Waktu makan siang memang sedikit terlewat, sehingga ketika makanan datang semua langsung fokus menyantap hidangan dengan lahap.

"Tadi aku bagus ga, Yah? Ayah lihat ga waktu aku lari bawa bendera?" tanya anakku kepada ayahnya setelah selesai makan dan masih duduk-duduk menikmati kekenyangan di restoran.

"Iya, hebat banget anak Ayah," jawab suamiku sambil tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya. Ponselnya hanya sejenak saja diletakkan di meja. Tidak lama kemudian, kembali lagi fokus pada entah apa dan siapa.

"Yah, ga usah liat HP terus kenapa? Orang lagi pergi sama anak istrinya juga," protesku sambil sedikit mengomel.

"Apaan sih. Orang lagi ada yang penting ini."

Entah kenapa kali ini aku merasa sangat terganggu. Ada yang penting. Selalu saja ada yang penting yang membuatnya lebih tertarik berlama-lama menatap layar ponsel, bahkan saat seharusnya menghabiskan waktu dengan keluarga.

Padahal sudah beberapa lama usahanya sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Keluar rumah hampir setiap hari entah kemana, tetapi tidak membawa hasil apa-apa. "Ketemuan sama si itu," alasan yang sering diucapkannya setiap pamit untuk pergi. Buat apa sih menghabiskan waktu sedemikian sering kalau tidak juga ada manfaatnya?

Kami tidak langsung pulang ke rumah setelahnya, karena sudah janji akan menginap di rumah Ibu yang merindukan cucunya. Rumah Ibu memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sesekali kami menginap di akhir pekan. Seringnya hanya aku dan Ava saja, karena bagaimana pun suamiku dan Ibu bukanlah perpaduan yang teramat cocok.

"Utih, tadi aku hebat banget bisa lari sambil bawa bendera, terus mainnya juga bener ga ada yang salah!" cerita anakku kepada neneknya yang dipanggilnya Utih. Singkatan dari Eyang Putri yang sewaktu lebih kecil sulit untuk diucapkan olehnya.

"Oh, ya? Hebat emang cucu Utih!" puji Ibu sambil memeluk cucu kesayangannya. Cucu semata wayangnya lebih tepatnya. Adikku baru satu yang sudah menikah dan belum dikaruniai buah hati. Sehingga Ava masihlah cucu kesayangan Ibu satu-satunya.

Terkadang bahkan Ava akan menginap sendirian di rumah Ibu tanpa kutemani, karena aku punya kesibukan sendiri. Namun, kurasa sebetulnya Ibu lebih senang demikian. Denganku masih saja dia sering mengomel untuk sebab sepele yang akan memancing kekesalanku dan akhirnya kami akan bertengkar. Ibu memang hanya butuh cucunya untuk menemaninya.

Beberapa tahun belakangan, Ayah semakin jarang pulang ke rumah dan lebih sering di Jakarta bersama keluarga keduanya. Aku tidak akan pernah mengerti mengapa Ibu memilih bertahan dulu sewaktu Ayah memutuskan berpoligami ketika aku duduk di bangku SMA.

Padahal Ibu sama sekali tidak menyukai apalagi ikhlas. Jawabannya selalu sama. "Demi anak-anak." Alasan menyebalkan yang selalu kami anak-anaknya tentang. Entah berapa kali kami meminta Ibu untuk bercerai saja dengan Ayah, karena kami tahu Ibu tidak akan pernah bahagia dengan kenyataannya. Namun, Ibu selalu saja menolak.

Setelah hampir dua puluh tahunan, mungkin bercerai pun terasa percuma. Akhirnya Ibu dan Ayah bertahan dalam pernikahan yang tidak normal. Ayah sering pulang dan tetap bertanggung jawab atas anak-anaknya. Namun, jujur aku sangsi bahwa mereka pernah bahkan bercinta beberapa tahun belakangan ini.

Kurasa kehadiran Ava merupakan pelipur lara buat Ibu. Karenanya sesering mungkin setiap libur kuminta Ava untuk menginap di rumah Ibu. Ava sendiri selalu senang karena saat sedang menginap sendiri Ibu selalu mengajaknya pergi ke tempat bermain, maupun sekedar pergi berjalan kaki ke supermarket besar di depan perumahan untuk membeli es krim berdua.

Kutinggalkan Ava bersama Ibu di lantai atas dan turun mencari suamiku. Kalau sedang menginap di rumah Ibu, biasanya suamiku akan tidur bersama adik bungsuku di kamarnya sambil mengobrol soal game online. Atau terkadang dia memilih tidur di sofa di ruang tamu sambil sebelumnya mengobrol dengan Omku yang setahun belakangan menumpang tinggal bersama Ibu.

Kulihat mereka berdua sedang mengobrol tentang entah apa. Namun, tetap saja suamiku masih sambil sesekali menatap ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya. Aku naik kembali ke atas meninggalkan mereka.

"Yah, kalo ngobrol sama orang jangan sambil liat HP! Ga sopan tau ga!" omelku kepada suamiku melalui pesan Whatsapp. Kupikir daripada berbicara langsung yang berpotensi berujung pada pertengkaran, lebih baik kami berbicara via chatting saja.

"Apaan sih, Bu. Ngga liat HP terus kok," balasnya. Huh! Masih saja mengelak.

"Ga seneng banget tau ga aku lihat kamu dari tadi pegang HP terus. Ngapain sih, Yah? Penting banget emang temen-temen kamu? Emang kalo kamu kenapa-kenapa siapa coba yang bakalan ngurusin kamu?"

Oke. Aku memang berlebihan, mungkin. Aku betul-betul kesal melihatnya bahkan setelah di rumah Ibuku tetap sibuk sendiri dan tidak memerhatikanku sama sekali!

"Biasa aja dong, ngomongnya." Jawabnya singkat. Ah, sudahlah. Aku tidak peduli lagi. Aku memutuskan untuk tidur duluan di kamar ibuku seperti biasanya saat kami menginap. Suamiku mau bagaimana pun, terserah!

Memoar Episode Luka (Tamat)Where stories live. Discover now