9. Ulang Tahun atau Kematian Pernikahan

731 36 4
                                    

"Kamu tahu satu hal yang aku paling benci dari kamu selama ini?"

Pertanyaan Mas Fahim sore ini sungguh mengejutkan. Namun, suasana hatiku sedang senang. Kami bisa kembali mengobrol di sore hari dengan santai seperti biasa setelah aku selesai dengan pekerjaanku. Yah, meskipun yang kami bicarakan adalah rumah tangga kami yang sedang kacau, dan kehidupan ganda yang dijalani suamiku.

"Apa? Sok atuh kasih tau biar aku bisa berubah."

"Aku benci kalau aku ajak kamu buat berhubungan kamu males-malesan. Nolak dengan segala macem alasan. Akunya juga jadi keburu males buat bujuk-bujuk kamu. Ilang udah moodnya," gerutunya.

Baiklah, itu memang salah satu kesalahan terbesarku. Aku sering merasa ga mood buat berhubungan terutama ketika aku sedang capek setelah seharian bekerja. Aku merasa bahwa aku berhak untuk menolak. Padahal ternyata saat seorang istri menolak ketika diajak berhubungan oleh suaminya, malaikat melaknat sang istri hingga waktu Subuh. Astagfirullah. Mungkin ketidaksetiaan suamiku pun adalah akibat laknat itu sendiri.

"Maafin aku, ya, Mas. Aku janji, sebisa mungkin aku ga akan pernah menolak ajakan kamu lagi. Tapi liat-liat juga Ava lagi ngapain, ya!"
Kenyataannya memang suamiku sering menuntut haknya di waktu yang menurutku sangat tidak tepat. Terutama saat anak kami belum tidur. Padahal dia tahu sekali Ava tidak pernah betah sendirian.

"Ya, selain itu juga ada yang lebih bikin aku kesel lagi. Kamu ga pernah mau mewujudkan impian seksual aku, buat BJ, padahal kamu tahu aku pengen banget. Aku pikir, toh, kita udah menikah. Seharusnya bisa sering. Dari awal kita nikah dulu aku mikir gitu. Tapi kamu kaya yang ga paham dan ga peduli sama keinginan aku, sih."

Bukan bermaksud membela diri, tetapi kurasa bukan hanya aku istri di dunia ini yang tenyata kurang aware tentang seks. Entahlah, mungkin di usia awal pernikahan, seks masih merupakan sesuatu yang menarik dan menjadi hal paling menyenangkan dalam keseharian. Namun, setelah beberapa tahun, apalagi setelah hadirnya seorang anak, banyak perempuan yang tidak lagi memiliki hasrat seksual yang tinggi.

Kebutuhan seksual bukan lagi menjadi kebutuhan utama bagi kebanyakan ibu rumah tangga. Keamanan dan kenyamanan jauh lebih menggoda dibandingkan dengan sekedar kepuasan seksual. Stamina pun tidak seoptimal dulu. Tenaga lebih banyak terkuras untuk mengurus rumah dan anak. Apalagi jika kemudian masih harus mencari uang untuk membantu menghidupi keluarga di saat suami tidak berpenghasilan.

Sayangnya tidak demikian dengan lelaki. Sampai usia berapa pun, kebanyakan lelaki akan tetap memiliki libido yang tinggi. Kebutuhan seksual tetaplah hal yang harus terpenuhi. Jika tidak, maka ada hal-hal yang harus dilakukan sebagai kompensasi. Bagus ketika energi seksual yang besar itu dialihkan pada aktivitas yang bermanfaat, seperti olahraga misalnya. Yang jadi masalah, kan, ketika yang dialihkan adalah pasangannya. Ah! Berbahaya!

"Iya, Mas. Aku janji mulai sekarang aku akan mencoba buat memenuhi keinginan kamu," janjiku sungguh-sungguh.

Kami lalu mengobrol tentang hal lain, sambil sesekali mengomentari Ava yang bermain tidak jauh dari tempat kami berbaring berdua di kasur lipat di ruang tengah. Kami tidak benar-benar memiliki ruang tamu. Hanya sebuah ruang luas di tengah rumah kontrakan kami. Namun, tidak masalah. Lagipula kami jarang kedatangan tamu.

"Nanti malam aku mau pergi ke Dago, ya. Ada tamu dari Bogor yang mau dateng buat diskusi kerjasama kami yang baru. Kemungkinan aku akan nginep."

"Nginep di mana, Mas?" tanyaku curiga.

"Kan, di Dago, mah, banyak anak-anak emang rumahnya pada di situ. Ada satu rumah yang suka dijadiin tempat ngumpul, tempat nginep juga."

Aku bisa apa selain berusaha percaya pada perkataannya? Lagipula aku tidak akan tahu kebenarannya seperti apa. Terkadang aku sangat ingin memasangkan alat pelacak di motornya, atau kalau perlu kusuntikkan ke dalam pembuluh darahnya. Angan liarku sungguh mendambakan hal tersebut. Nyamun, kenyataannya tidak bisa. Jadi mau tak mau, dan sebagaimana seharusnya, kutitipkan saja suamiku kepada Allah, supaya selalu berada dalam penjagaannya.

***

"Ga bawa baju ganti, Mas?" tanyaku mempersiapkan kepergiannya. Belakangan ini aku memang berusaha menjadi istri yang baik. Menyiapkan semua kebutuhan suamiku ketika mau pergi tentunya wajib untuk kulakukan.

"Ga usah. Bawa anduk kecil aja. Sikat gigi lipat, udah itu aja."

Kadang sepertinya kehidupan kami sudah berjalan dengan normal kembali. Lebih baik, bahkan. Kami sama sekali tidak pernah bertengkar sekarang. Ya, mungkin memang karena pilihanku untuk menjadi lebih baik dan manis di mata suamiku. Sekalipun aku masih memiliki rasa marah dan cemburu juga sakit hati, kupendam semuanya dan hanya akan kuadukan segalanya kepada Allah saja dalam salatku.

Dengan aku yang lebih manis, suamiku memang terlihat lebih nyaman berada di rumah. Meskipun kemarin saat kuingatkan untuk melihat bahwa aku benar-benar berusaha menjadi lebih baik, dia hanya menjawab, "Udah terlambat, Sha. Kenapa ga dari awal kaya begini?"

Suamiku pamit pergi setelah mengingatkanku untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu, dan menunggu dia saja. Aku habiskan sisa malamku dengan membacakan Ava buku dan menemaninya hingga tertidur.

Selepas Ava tertidur aku tidak bisa menahan diri untuk menghubungi Erwin. Belakangan ini Erwin kuanggan sebagai rekan lelaki yang sangat membantu. Minimal saat suamiku sedang pergi, aku bisa meminta tolong kepadanya untuk mencari tahu.

Aku bahkan berkenalan dengan istri Erwin, supaya tidak ada fitnah di antara kami. Maya, istrinya, kujadikan sekutu untuk mengingatkan suaminya akan sebuah tugas mulia. Mengembalikan suamiku ke sisiku.

Maya ternyata sudah mengetahui soal hubungan gelap suamiku sejak tahun lalu. Dia sudah sering meminta suaminya untuk memberitahuku. Solidaritas antar perempuan, kurasa. Kemudian Maya heran mengetahui pilihanku untuk bertahan menunggu suamiku kembali ke jalan yang benar.

"Teh, da Teteh mah masih muda, atuh. Pasti banget bakal ada yang mau sama Teteh kalo udah pisah sama Om Fahim. Saya, mah, ga ngerti apa yang diliat sama Om Fahim dari Delly. Lebih baik Teteh segalanya, jelas! Delly kan dijauhin emang sama banyak driver cewek yang ibu-ibu. Sombong, cenah. Ah! Tapi emang driver yang janda banyak yang centil, sih!"

Sebetulnya aku tidak pernah setuju dengan stereotipe janda itu centil dan suka merebut suami orang. Namun, kurasa perempuan seperti Delly inilah yang membuat stigma itu terus menempel. Janda kurang kasih sayang. Sebegitunya butuh perhatian sampai mendekat ke suami orang. Terlepas dari suamiku yang bilang bahwa Delly bukanlah Pelakor, kurasa dia juga bukannya polos tak berdosa. Pada intinya dia tahu bahwa suamiku sudah memiliki istri dan anak. Kalau memang tidak mau dianggap merusak rumah tangga orang, mengapa berada di dalamnya sebagai duri?

Tidak bisakah perempuan yang didekati suami orang berniat baik membantu memperbaiki pernikahan sang lelaki, alih-alih memperburuk hubungan suami istri dengan menjadi pelarian bagi sang suami?  Mungkin bisa. Di kehidupan lain. Jaman sekarang, segala menjadi benar hanya dengan mengatasnamakan cinta.

"Kayanya sih bakalan balik sama Teteh, kok, Teh," ucapan Erwin membangkitkan kembali harapanku.

"Sebetulnya Fahim juga udah mulai sadar da kalo sama Delly mah ga akan jadi apa-apa. Cuma emang Dellynya kan rada psikopat gitu. Jadi bingung mungkin mau ngelepasinnya gimana. Terus ada masalah yang uang Delly tea, mungkin itu juga yang pengen diberesin dulu sama Fahim."

Masalah uang ini adalah masalah paling absurd menurutku. Suamiku sering tanpa menyadari, atau justru sengaja, bahwa hal ini menyakitiku, sering curhat tentang hubungannya dengan Delly. Atau sekedar bercerita tentang Delly yang begini dan begitu. Aku mendengar dan menyimak semua ceritanya, bahkan kadang menanggapi sambil tersenyum nyinyir. Habis aku bisa apa lagi?

Beberapa hari yang lalu suamiku bercerita kepadaku bahwa dia tidak bisa begitu saja meninggalkan Delly, karena pernah tahun lalu saat sedang dijauhi oleh suamiku, Delly terlibat dengan lelaki lain yang ternyata hanya memanfaatkannya.

Suamiku kenal dengan lelaki lain ini, salah satu rekannya juga sesama sopir online. Katanya entah bagaimana, Delly mencarikan pinjaman sama empat puluh juta dari saudaranya untuk lelaki ini, dan tidak dibayar sampai sekarang. Satu hal yang tidak masuk ke logikaku yang pendek ini adalah, bagaimana mungkin hal tersebut menjadi tanggung jawab suamiku?

"Karena ya pas aku jauhin dia jadi kalut dan mau aja dideketin si Imam dan akhirnya dimanfaatin. Kalau waktu itu aku ga ninggalin dia, ga mungkin dia sampai bisa dimanafaatin orang lain."

Ya, Tuhan! Memang orang yang dibutakan cinta, atau setan penghancur rumah tangga, kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Bukankah seharusnya justru dia menyadari bahwa dengan begitu hanya berarti satu hal. Delly mau saja didekati lelaki lain dengan cepat. Bahkan Mas Fahim sendiri yang berkata kalau dia tidak percaya pada kata-kata Imam yang bercerita kalau mereka sudah pernah menginap bareng di hotel di luar kota.

"Itu mah pasti akal-akalannya Imam aja. Diajak ketemu dibilang urusan komunitas di luar kota, pulangnya kemalaman mending nginep hotel dulu. Delly pas tau mau diajak tidur bareng langsung nolak."

Andaikan dia bisa mendengar kata-katanya sendiri. Entah berapa banyak cerita yang mengalir dari mulut suamiku tentang perempuan itu. Meskipun setiap saat dia membelanya, tetap saja kalau dia bisa berpikir jernih pasti bisa menyadari ada yang salah. Bukan membela membabi buta.

Yah, tetapi bukankah memang setan akan memberi penglihatan seakan perempuan atau lelaki penggoda itu sempurna segala-galanya di mata orang yang berselingkuh? Sungguh aku tidak heran lagi. Bagaimana pula caranya bertanggung jawab?

"Jadi Om Fahim itu yang jadi perantara nagih uang ke Om Imam, karena kalau Delly sendiri malah jadi ribut dan uangnya juga ga ada terus."

Alasan yang dibuat-buat. Masa karena masalah uang maka suamiku tidak bisa melepas perempuan itu?

Demi Allah andaikan aku punya uang sebanyak itu, pasti sudah kuberikan saja semuanya untuk mengganti hutang yang suamiku anggap adalah kesalahannya. Kalau memang uang itu yang mengikat, aku sampai berpikir untuk mencari pinjaman saja supaya urusan di antara mereka lekas selesai.

"Ini Fahim lagi ada sama saya di basecamp, Teh. Tampangnya kusut banget. Kayanya ya dia mulai stress sendiri sama keadaan sekarang. Mau kembali seperti biasa sama teteh, berat. Misalnya mau milih Delly juga bakal berat."

Aku menarik napas lega. Lagi-lagi sampai tengah malam begini suamiku belum pulang dan sulit dihubungi. Namun, mengetahui bahwa dia ada di tempat yang aman bersama temannya yang kupercaya membuatku sedikit lebih tenang.

"Nitip, ya, Om. Tolong terus dikasih tau supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Supaya memilih menjaga keutuhan pernikahan. Saya udah ga tau gimana caranya ngomong sama dia. Saya cuma bisa nitip sama Om Erwin aja."

"Iya, semoga bisa, ya, Teh".

***

Malam-malam tanpa suamiku akan kuhabiskan dengan menghubungi Fitri, sahabatku. Terkadang aku akan menyambut jawaban teleponnya dengan menangis terisak-isak.

"Gimana, dong, Sha. Kan, loe yang milih mau jalanin aja. Ini pasti berat. Cuma perempuan terpilih yang bisa ngejalaninnya. Gue liat mertua gue, salut banget sama pengorbanannya demi anak dan keluarga. Setelah mertua laki meninggal baru pada tau kalo selama ini punya dua keluarga. Ternyata mama mertua mah udah tau duluan! Ga pernah dia ceritain sama siapapun dan ga ngeliatin sedih ke anak-anaknya. Nah, loe bisa ga kaya begitu?".

Aku sering bertanya dalam salatku, sebetulnya tepatkah langkah yang kuambil untuk bertahan ini. Bahkan beberapa kali aku menunaikan salat Istikhoroh untuk mendapatkan jawaban dari kebimbanganku, tetapi masih saja aku meragu.

Sebagian diriku merasa bahwa ini tidak bisa dipertahankan. Sebagian lagi merasa bahwa aku harus berjuang. Bukankah hal ini terjadi kepadaku karena aku, bukan orang lain, yang mampu menjalaninya? Orang lain belum tentu bisa menghadapi masalah ini, sebagaimana aku belum tentu bisa jika dihadapkan dengan masalah mereka.

Allah yakin aku mampu. Namun, terkadang aku masih juga bertanya. Mampu untuk apa? Mampu untuk bertahan, atau mampu untuk melangkah pergi?

Selain Fitri, belakangan aku rutin menelepon mertua. Mungkin mertuaku akan berpikir bahwa aku tidak tahu malu. Ada masalah saja, baru menghubunginya. Dahulu kemana saja? Selama sepuluh tahun hanya menghubungi mertua saat bertengkar dengan suami dan bilang ga kuat lagi menjalani pernikahan dengan suami yang begini begitu. Hanya menghubungi untuk mengeluh, dan baru belakangan aku tahu, untuk membuatnya menangis sedih hingga sakit karena memikirkan kami.

"Ma, maafin Alisha, ya. Selama ini jadi menantu kurang ajar. Maafin kalo sering bikin Mama sedih. Tapi Alisha masih pengen jadi menantu Mama," kataku kepada mertuaku saat itu di tengah percakapan kami.

"Gapapa, Sha. Mama juga minta maaf. Sekarang yang sabar dulu, ya. Fahim mama suruh dateng ke sini ga mau terus. Ga sempet, katanya. Mama tuh maunya ngomong langsung dan nanya langsung sama dia, ini tuh gimana. Mama mau tau maunya dia apa. Mama ga bisa marahin Fahim dan maksa dia harus begini begitu. Kamu, kan, hafal tabiatnya Fahim. Yang ada nanti dia malah sama sekali ga mau ketemu sama Mama karena merasa diserang. Nah, Alisha juga sekarang Mama nitip, ya. Jangan serang Fahim. Jangan ditanya terus mau gimana. Jangan dipaksa ninggalin perempuan itu. Kalau emang mereka udah deket, udah ada rasa, ya ga bisa hilang begitu aja. Jangan diserang, nanti malah jadi boomerang buat Alisha."

Ah, aku tahu sekali bagaimana suamiku. Setiap aku mulai gagal menahan diri, dia akan semakin menjauh.

"Mas, sekarang aku udah lebih baik, kan? Ayo dong, Mas. Lepasin hidup kamu yang lain dan perbaiki rumah tangga kita," kataku saat kami sedang duduk-duduk berdua di kamar kemarin sore selepas bercinta.

Begitu saja, suamiku terpancing marah.

"Kenapa jadi kamu lagi yang ngatur, sih? Kamu tuh kebiasaan! Aku mau apa pun yang aku lakukan nanti, semuanya adalah keputusan aku sendiri! Bukan maunya kamu!"

Kalau sudah begitu, seperti kembali lagi ke titik awal perjuanganku merebut hatinya kembali.
Entah sampai kapan.

***

Dua hari menjelang ulang tahun pernikahan kami yang ke sepuluh. Reward menginap di hotel bintang lima sudah kujual, karena beberapa hari yang lalu Mas Fahim sudah menyampaikan keberatannya.

"Aku ga bisa merayakan apa-apa dalam keadaan begini."

Dalam beberapa hari ini aku bisa merasakan bahwa dia semakin menjauh. Sekalipun Erwin berkata bahwa dia sepertinya akan benar-benar kembali kepadaku, tetapi aku merasa ragu. Aku tahu bahwa aku harus memasrahkan segalanya pada ketetapan Allah saja. Semua nasihat berujung pada satu kata. Sabar. Namun, sungguh sulit untuk bisa menerima bahwa suamiku masih saja berhubungan dengan perempuan lain.

Malam ini dia kembali tidak pulang ke rumah. Aku menanti kabar seharian, tetapi tetap saja tidak ada satu pun pesan darinya. Nomorku kembali diblokir. Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Pagi hari dia pulang setelah aku mengantar Ava ke sekolah, mengenakan kaos yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Setelah membersihkan diri, dia menghampiriku yang duduk di ruang tengah, tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Kemarin aku ketemu sama Delly. Ada urusan di Dago sampai malam sekalian. Aku ingat satu hotel kecil yang Delly pernah bilang mau nginep di situ tapi ga pernah aku kabulin. Semalam aku ajak dia ke situ, karena aku mau ngelepasin dia."

Aku diam mendengarkannya sambil berdoa bahwa ini akan berujung baik.

"Tapi semalam dia malah seakan menyerahkan dirinya sama aku. Tidur di sisi aku mau untuk diperlakukan bagaimana juga. Ga menuntut apa-apa. Cuma minta ditemenin. Dipeluk. Aku jadi ga tega ngeliat dia yang begitu. Aku bisa rasain, dia setulus itu cinta sama aku. Aku ga jadi bisa melepas dia. Kasian."

Airmataku mengalir deras seketika. Sakit. Sangat sakit. Entah karena kenyataan bahwa mereka menghabiskan malam berdua entah berbuat apa saja, atau karena suamiku berkata bahwa perempuan itu mencintainya dengan tulus dan itu menyentuh hatinya.

"Apa aku ga tulus mencintai kamu menurut kamu? Kamu bisa kasian sama dia, tapi kamu ga kasian sama aku?"

"Ga usah ngebanding-bandingin. Ya emang bakalan beda. Aku belum bisa lepasin dia sekarang. Jangan maksa. Aku juga akan blokir semua sosmed kamu sementara, ya."

Dia beranjak pergi dan masuk ke kamar untuk tidur sebelum nanti siang pergi kembali.

Aku merasa kehilangan daya juangku kali ini. Sepertinya apa pun yang kulakukan dan katakan sama sekali tidak bisa mengembalikan suamiku yang dulu. Aku menangis tanpa henti selepas melaksanakan salat Dhuha. Aku tidak sanggup lagi.

***

Suamiku pergi lagi di siang hari. Tanpa membuang waktu aku menghubungi Erwin, "Om, aku mau hubungi Delly aja. Aku udah terlalu lelah begini."

"Yakin, Teh? Tapi harus siap sama konsekuensinya, ya."

Sebuah SMS panjang kuketik untuk perempuan yang saat ini menjadi pusat perhatian suamiku.

"Hi, Delly. Ini Alisha, istrinya Fahim. Kamu menang. Saya mau mundur. Titip suami saya. Tolong kalau kamu benar-benar cinta sama dia, kalian segera halalin aja hubungan kalian. Saya terlalu cinta sama dia dan ga mau dia bikin dosa lebih lama lagi."

Terkirim.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, suamiku menelepon. Dengan ragu kuangkat teleponnya.

"Ngapain loe pake hubungin Delly segala, hah?! Brengsek, emang! Kan, udah gua bilang jangan pernah hubungi Delly sama sekali. Dia ga ada hubungannya sama kita! Pernikahan kita hancur, tuh, salah loe sendiri! Ga pernah bisa dengerin laki ngomong! Bangsat! Pake sok-sok nyeramahin orang! Anjing, loe, ya! Sok suci jadi manusia! Udah! Nih, gue talak, ya! Cerai, kita!"

Mas Fahim terus memakiku sambil membentak kasar. Aku sudah tidak sanggup lagi mendengar kalimat-kalimat jahatnya. Bagaimana bisa suamiku membela sedemikian hebatnya perempuan yang seharusnya bukan siapa-siapa. Betapa tega suamiku menjatuhkan talak seketika kepadaku. Sungguh sebetulnya aku berharap jika aku mengatakan aku menyerah, justu dia yang akhirnya akan luluh dan menghentikan semua kegilaannya. Bukannya malah begini.

Aku menangis kencang dan dilanda serangan panik. Kuhubungi mertuaku dan kuceritakan segala yang terjadi. Betapa hancur hatiku mendapati responnya yang malah menyalahkanku.

"Aduh, Alisha. Kenapa, sih, kamu ga mau sabar? Kan, Mama udah bilang, apa pun yang Fahim omongin jangan dianggap. Jangan pernah hubungin Delly. Kenapa kamu ga bisa menahan diri, sih? Padahal Mama udah mulai bisa mendekati Fahim. Malah kamu yang ngerusak semua usaha Mama. Mama udah ga bisa apa-apa kalo begini."

Aku membenci diriku dan keputusan gegabah yang kubuat. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sampai di sini saja kah pernikahanku?

Aku menghubungi Erwin untuk bertanya di mana suamiku saat ini.
"Teh, ini Om Fahim ada di sini. Om Fahim baru benar-benar cerita semuanya. Tentang keputusasaannya selama menikah sama Teteh, ga pernah didengar sebagai suami, dan udah ga bisa lagi buat dilanjutin. Sekarang, mah, ya udah aja, Teh. Mungkin cerai adalah jawaban terbaik."

Airmataku terus mengalir deras tanpa suara selagi mendengarkan Erwin berbicara tentang cerai bukan lah akhir dari segalanya. Bahwa aku sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi mungkin takdir Allah mengharuskan kami berpisah. Bahwa mungkin aku akan lebih bahagia nantinya.

Aku hanya mengiyakan segala perkataannya. Baiklah. Mungkin memang aku harus menguatkan hatiku. Lagipula kata talak sudah terucap. Mana bisa ditarik kembali. Aku memeluk Ava yang tiba-tiba ikut menangis melihatku, lalu berkata, "Aku benci Ayah! Ayah jahat sama Ibu!"

Aku baru sadar, sepanjang Mas Fahim memakiku tadi, Ava berada di sisiku dan mendengar semua makian ayahnya kepada ibunya. Tanpa perlu kunyalakan pengeras suara, bentakan yang keras terdengar sangat kencang. Ya, Tuhan. Kira-kira apa yang anak malang ini pikirkan?

Aku memeluk Ava tanpa mampu berkata apa-apa. Suara tangis kami bersahutan. Akhirnya Ava lelah dan ketiduran dalam pelukanku. Aku tidak tahu apakah Mas Fahim akan pulang, dan apa yang akan kukatakan bila akhirnya dia pulang.

***

Jam dua malam, suara motor Mas Fahim terdengar di depan rumah. Aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku turun dan menunggunya masuk. Dia masuk dan memandangku pandangan penuh kebencian.

"Udah, ya. Kita cerai. Selesai! Ga usah ada apa-apa lagi. Kamu emang ga bisa sama sekali nurutin aku dari dulu. Brengsek!"

Padahal aku sudah berjanji akan kuat dan tidak menangis. Menerima bahwa mungkin perceraian adalah yang terbaik. Namun, pertahananku jebol juga.

"Mas, maafin aku, Mas. Aku ga sengaja. Maafin aku. Aku ga mau cerai, Mas," isakku sambil menundukan kepala di hadapannya dan meraih kedua tangannya.

Mas Fahim bergeming. Dengan dingin dia berkata, "Ngga bisa. Satu hal yang aku minta sama kamu jangan hubungi dia, atau aku akan pergi. Gitu aja ga bisa kamu turutin. Inget-inget sama kamu, ya. Dia sama sekali ga ada hubungannya. Semua salah kamu sendiri!"

Kebenciannya menyakitiku. Bagaimana bisa lelaki yang selama ini paling menyayangiku, ternyata melukaiku sedalam ini?

Aku memohon dan memohon, sementara dia tetap menolak dan kukuh pada keputusannya.

"Kamu harus hubungi Delly dan minta maaf sama dia!"

Aku akhirnya menyerah dan berusaha menerima kenyataan bahwa kami sudah benar-benar berakhir. Aku bahkan meminta maaf kepada Delly melalui SMS. Sinting, memang. Sekali lagi, kuucapkan selamat pada perempuan itu.

***

Maret ke sepuluh semenjak kami mengucapkan janji suci dan resmi menjadi suami istri. Aku sudah menyiapkan video manis dengan latar belakang suaraku menyanyikan lagu "Grow Old With You". Siapa yang menyangka bahwa justru tepat di satu dasawarsa pernikahan kami, justru talak yang jatuh.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Talak itu berarti apa. Entah mengapa aku mengira bahwa berarti seharusnya dia sudah tidak tinggal di rumah bersamaku lagi.

"Mas mau pulang ke rumah Mama? Aku dan Ava mau nginep di rumah Ibu. Biasa sampai Minggu."

"Iya, nanti aku diantar sama Erwin bantuin bawa barang-barangku." Ya, Tuhan. Dia benar-benar akan pergi.

"Ya udah. Aku bantu pak bajumu, ya, Mas. Kayanya pakai kresek hitam besar biar muat semua, ya."

Aku segera berlalu dari hadapannya karena sudah tidak mampu lagi menahan airmataku. Kukemas pakaiannya sambil menangis tersedu-sedu. Tidak pernah kubayangkan akan begini akhirnya. Suamiku memang tidak memiliki banyak barang pribadi selain set komputernya. Pakaian dan beberapa barangnya muat terkemas dalam satu kantong plastik besar yang biasa kupakai untuk mengirim barang. Semua yang tersisa dari suamiku akan pergi bersamanya selamanya.

Aku tidak sanggup berada di sisinya. Aku segera naik dan menghubungi adik perempuanku.

"Ki, gue mau pulang ke rumah Ibu. Fahim selingkuh dan dia udah talak gue." Tanpa berbasa-basi aku langsung menceritakan segalanya kepada adikku yang sangat terkejut mendengarnya.

"Apa? Kurang ajar banget laki loe! Brengsek! Marah banget gue rasanya!" amuknya sambil menangis. Mas Fahim melukaiku dan seluruh keluargaku.

"Nginep aja di rumah Ibu. Loe jangan sampe sendirian! Udah cepet-cepet urus aja ke pengadilan kalo begitu, lah! Ga usah lama-lama! Biar selesai aja hubungan loe sama dia!"

Kurasa untuk mereka yang mendengar bahwa Mas Fahim berselingkuh dan menjatuhkan talak kepadaku, mereka semua akan marah. Adikku terutama. Dia tahu bahwa aku bukanlah istri yang sempurna, tetapi dia juga tahu betapa aku memberi segalanya untuk keluarga kecilku selama ini.

Aku mengemas beberapa baju milikku dan Ava untuk dibawa menginap di rumah Ibu. Tinggal menunggu Ava pulang sekolah, lalu kami akan pergi. Namun, sebelum itu kurasa Mas Fahim akan mengucapkan selamat tinggal kepada Ava. Hatiku sakit membayangkan sakit hati yang akan dirasakan oleh Ava.

Mas Fahim bersiap menjemput Ava ke sekolah. Aku sudah selesai mengganti baju dan akan langsung pergi setelahnya. Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk dari guru Ava.

"Ibu, tadi Ava nangis di sekolah. Kasian banget sedih banget kelihatannya. Trus saya tanya kenapa, dia ga jawab. Tapi tadi ada tugas menggambar di sekolah. Ini gambarnya saya foto, ya, Bu."

Di kertas A4 Ava menggambar tiga manusia stick berpegangan tangan di tengah gambar hati yang besar. Ada sebuah tulisan di sisi gambar. 'Ayah Bunda jangan berpisah'. Ditulis dengan huruf yang acak-acakan tetapi terbaca jelas. Di bawahnya terlihat ada dua bercak, tetesan air mata yang membekas jelas.

Hatiku hancur seketika. Airmataku mengalir deras, tepat ketika Ava datang menghampiri dan memelukku. Aku menangis dan meraung memeluk gadis kecilku yang baru berusia enam tahun itu. Mas Fahim berdiri di depan pintu kamar hanya menatap.

"Mas, lihat ini, Mas. Lihat gambar Ava, Mas. Mas jangan begini, Mas. Kasihan Ava, Mas. Aku ga tega. Aku ga bisa, Mas," isakku kencang sambil menyodorkan ponselku kepadanya.

Dia melihat gambar Ava, kemudian meraih Ava ke dalam pelukannya.

"Ava tadi nangis di sekolah?" tanyanya lembut. Bagaimana pun, aku tahu dia sangat menyayangi Ava.

"Ngga, kok. Cuma sebentar aja." Ah! Dari mana anakku memiliki kekuatan buat menahan perasaannya di hadapan orangtuanya? Kenapa malah aku yang menangis dan tidak mampu menyembunyikan perih?

Mas Fahim memeluk Ava. Airmatanya menggenang, tetapi disekanya segera.

"Ava, sayang, Ayah harus pergi dulu, ya. Ayah dan Ibu udah ga bisa bersama lagi. Tapi Ayah dan Ibu sayang sekali sama Ava dan ga akan pernah ninggalin Ava. Sekarang Ava jagain Ibu, ya."

Dia kembali menarik Ava dalam pelukannya. Ava masih saja terdiam tanpa suara. Setelahnya Ava menghampiriku dan memelukku sambil mengusap punggungku.

"Ibu jangan nangis. Kan, ada aku."

Oh, gadis kecil. Maafkan ibumu yang lemah dan meneteskan airmata di pundakmu. Maafkan ibumu yang tidak bisa membuat ayahmu tetap berada di sini dan tidak meninggalkan kita. Maafkan ibumu yang membuatmu menekan perasaanmu karena takut melihat ibumu semakin sedih. Maafkan ibumu yang lemah ini.

Sebuah rasa putus asa menyapa. Bahkan kehilangan anaknya pun bukan lagi hal yang memberatkan langkahnya. Tangisan Ava tidak mampu menahannya untuk pergi. Seberharga itu perempuan itu baginya, sehingga kami yang selama ini ada untuknya dibuangnya begitu saja.

Ponselnya berdering. Wajah perempuan itu terlihat di sana. Kubayangkan saat ini dia merasa jumawa, merasa menang, merasa telah berhasil merebut suamiku sepenuhnya.

Aku teringat saat marah semalam suamiku memperlihatkan ponselnya kepadaku, yang menampilkan wallpaper wajah Delly sambil berkata, "Nih, lihat. Aku pasang gambar dia. Sepanjang kita nikah aku ga pernah pasang gambar kamu. Saat ini aku mau beneran mengejar dia lagi. Dia yang udah mau ninggalin aku karena SMS dari kamu! Dia ga mau dibilang penghancur rumah tangga orang. Dan memang bukan. Kamu yang bikin semuanya berantakan!"

Mungkin saat ini dia merajuk meminta Mas Fahim segera menemuinya. Mungkin dia bahagia akhirnya Mas Fahim keluar dari nerakanya. His hell, nama yang dia pilihkan buat menamai titik rumah kami di aplikasi 360 yang mereka bagi bersama.

Aku hapus airmataku dan memutuskan menunjukkan ketegaran saat berpamitan menuju rumah Ibu. Aku gunakan gamis terbaikku dan memoles tipis wajahku supaya tampil sederhana tetapi terbaik yang bisa kutampilkan. Supaya dia mengingat kelak, perempuan inilah yang dia tinggalkan untuk perempuan lain yang bahkan dia sendiri akui tidak sebanding denganku.

"Nanti kunci rumah aku bawa, ya. Aku masih boleh pulang, kan?"

Aku hanya mengangguk. Pulang kemana? Bukankah aku bukan lagi tempatmu kembali?

Kukendarai motor dengan membonceng Ava di depan dengan pelan. Aku berusaha menahan airmataku supaya tidak jatuh karena akan sangat menghalangi pandangan. Tidak seberapa lama kami sudah sampai di rumah Ibu. Ibu menyambut dengan senang kedatangan cucunya. Tidak mengucapkan apa pun tentang Mas Fahim, meskipun aku yakin Kiki pasti sudah bercerita kepada Ibu.

Setelah masuk dan duduk di sofa ruang tamu Ibu, pertahananku kembali jebol. Aku memeluk Ibu dan menangis sekuat tenagaku. Ibu hanya diam dan memelukku erat. Setelah tangisku hilang, Ibu berkata sambil menatap lurus ke arahku, "Sudah. Ga usah ditangisin. Bersyukur kamu lepas dari manusia seperti itu. Udah. Gapapa."

Aku tahu mungkin Ibu adalah yang paling senang bahwa kami akhirnya berpisah. Ibu memang tidak pernah menyukai Mas Fahim sejak awal, dan sekarang Mas Fahim memberinya sebuah alasan kuat. Aku terus menangis dan Ibu terus mengatakan bahwa sudah cukup sepuluh tahun saja hidupku yang kubuang sia-sia. Aku berusaha mempercayai perkataannya bahwa semua akan baik-baik saja, ketika sebuah pesan masuk ke ponselku.

"Aku pergi dulu ya ke rumah Mama. Nanti dikabarin kalau sampai."

Suamiku pergi. Betul-betul pergi.
Tidak, Tuhan. Aku tidak mau begini!

Memoar Episode Luka (Tamat)Where stories live. Discover now