5. Mati Rasa

1K 36 0
                                    

Sudah dua hari ini Mas Fahim mendiamkanku. Aku tidak tahu apa maunya. Dia memang berkata sudah mati rasa dan lain sebagainya. Namun, toh, tidak ada kata cerai yang keluar dari mulutnya.

Pagi ini setelah Ava sekolah, aku mengajak Mas Fahim untuk berbicara di kamar. Selain itu mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungan kami.

"Mas, aku ga bisa terus begini. Please, jangan gini. Aku minta maaf. Kalau ada yang masih bikin kamu kesal, kasih tau aku. Aku ga tau harus gimana."

Aku duduk di pinggir kasur menatapnya yang berdiri di hadapanku. Kutarik pelan badannya untuk ikut duduk di kasur bersamaku.

"Ga tau, Sha. Aku juga ga tau kenapa begini. Kayanya kalau mikirin tentang kita, bawaannya udah ga peduli. Udah dingin. Ga tau deh mau gimana."

Sekarang ini, menatap mataku saat berbicara pun dia seperti enggan.

"Mas, aku ini istri kamu. Sayang banget sama kamu. Emang kadang aku keterlaluan dan kelewatan, tapi ga bener-bener, Mas. Mas ga kangen?" Aku mendekatkan erat tubuhku sampai hampir menempel dengan tubuhnya, sambil tanganku perlahan membuka kancing kemejanya.

Dia menangkap tanganku dan menahannya.
"Ga kaya gini, Sha."

Aku tidak peduli dan menepis genggamannya sambil terus melucuti pakaianya dan menghujani lehernya dengan ciuman. Dia selalu menyukainya. Bisa kudengar suamiku mendesah pelan.

Aku melepas pakaianku dan meletakkan telapak tangannya di dadaku. Hal lain yang selalu disukainya. Sambil terus menciumi bibirnya, kulepaskan semua sisa pakaiannya dan kugeser badanku ke tengah ranjang. Dia pun bergerak seirama denganku. Suara desahan kami pelan bersahutan. Dansa yang sama selama hampir sepuluh tahun. Keindahan dan kenikmatan yang kucoba ingatkan kepada suamiku. Tidak mungkin dia tetap mati rasa setelah ini, kan?

***

Kutatap suamiku yang terbaring tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Sangat dekat, sekaligus terasa sangat jauh. Seharusnya saat ini aku berada di dalam dekapannya dan merasakan kepuasan yang membahagiakan. Atau mungkin ketiduran bersama sambil tersenyum bahagia.

Tidak kali ini. Dia hanya terpejam dengan dahi yang berkerut, menandakan sedang memikirkan sesuatu yang entah apa. Waktu berjalan sangat lambat. Tidak sepatah kata pun terucap. Air mataku masih mengalir perlahan tanpa suara. Ini terlalu menyedihkan. Perlahan aku bergerak mendekatinya. Seketika itu juga dia mengangkat badan dan terduduk dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya.

"Mas..." Tidak sanggup aku berkata-kata.

Dia menghela napas panjang lalu kembali terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata sambil menatap lurus ke depan.

"Ga bisa, Sha. Aku udah ga ada rasa apa-apa sama kamu. Memang aku ga bisa menolak kalau kamu menggodaku seperti tadi. Aku laki-laki normal. Tapi semuanya udah beda."

Mas Fahim beranjak berdiri dari ranjang kami menuju kamar mandi. Hal yang selalu dilakukannya selepas memadu kasih denganku. Bedanya, tidak ada kecupan di keningku kali ini. Tidak juga ada ucapan cinta yang terucap sambil berbisik di telingaku. Dia hanya pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di ranjang yang terasa terlalu besar di kamar yang mendadak terasa dingin ini.

Aku merasa sangat hina. Ingin rasanya aku menjerit sekuat tenaga, memakinya, memaksanya kembali, dan meluapkan segala rasa yang menyesakkan hatiku. Namun bukankah aku yang begitu yang membawa kami pada kebisuan ini? Maka untuk entah ke berapa kalinya minggu ini, aku hanya bisa menangis tanpa suara, memegang erat dada yang terasa nyeri.
"Mas, paling ngga jelasin sama aku kenapa kamu jadi begini. Please. Aku akan berubah," pintaku mengiba.

Mas Fahim menghela napas dan terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menatap wajahku.

"Kamu ga pernah dengerin aku. Kaya sekarang aku bilang aku udah mati rasa juga kamu ga mau denger. Banyak alesannya. Yang selama ini aku coba tahan. Kamu yang selalu bentak-bentak aku, padahal kamu tau aku paling ga bisa dikurangajarin kaya gitu. Kamu yang ga pernah mau tau apa maunya aku. Hal kecil kaya bikinin air minum tiap aku pulang aja ga pernah kamu lakuin. Terus kamu yang ga pernah mau deket sama Mama. Banyak banget alesan kamu. Padahal aku udah kasih tau sesekali telpon Mama tanya apa kabar kek atau gimana. Begitu aja kamu ga lakuin. Intinya sih kamu ga pernah dengerin aku!"

Panjang lebar dia berbicara dan sepertinya benar-benar melepaskan semua beban yang ditahannya selama ini. Aku bisa melihat bersamaan dengan setiap kata yang terucap, kemarahannya kepadaku makin menggebu. Sampai akhirnya dia bangkit dengan wajah yang terlihat kesal dan bersiap untuk pergi.

Mas Fahim menyambar kunci motor dan segera pergi tanpa berkata mau kemana dan berapa lama. Dia memang sering begitu. Pergi siang hari, pulang menjelang tengah malam, bahkan beberapa kali baru pulang sekitar jam satu pagi. Biasanya aku akan marah dan mencecarnya kenapa harus selarut itu, bekerja pun tidak. Jawabannya selalu sama, sedang mengusahakan sesuatu bersama temannya yang entah apa.

Sungguh aku bukanlah mereka yang mampu menyembunyikan sakit kepada dunia. Satu kebisaanku yang dibenci suamiku adalah membuat status di media sosial saat merasa galau seperti sekarang.

"Ngapain sih kamu tulis status begitu? Biar orang kasian, terus kamu dapet dukungan? Orang luar tuh ga bener-bener peduli sama kamu, tau ga? Yang ada malah mungkin ngetawain kamu tiap kamu buka-bukaan di status!"

Selalu begitu omelnya setiap kali, kemudian memintaku buat menghapusnya. Namun, entah kenapa selalu kuulangi. Mungkin memang aku berharap ada yang akan bertanya, sehingga aku bisa menceritakan segalanya. Paling tidak walaupun tidak selalu mendapatkan jawaban, bercerita saja sudah membuat bebanku berkurang. A call for help. Aku memang lemah.

"I'm hopeless. Please, God, save us."

Tidak berapa lama setelah kutulis status tersebut di WhatsApp, adikku perempuanku Kiki yang tinggal di luar kota membalas.

"Kenapa? Berantem ya sama Mas Fahim?"

Aku jarang bercerita soal rumah tanggaku kepada adikku ini. Aku tidak mau ada permasalahan yang sampai ke telinga orang tuaku dan menjadi nilai minus baru bagi mereka, terutama Ibu. Kali ini berbeda, aku ceritakan semua perubahan sikap Mas Fahim, dan alasan-alasan yang barusan diutarakannya kepada Kiki. Dia tidak mengetik apa pun hingga aku selesai.

"Hm.. Ya emang bener sih biar gimana juga istri harus nurut sama suami, ga boleh ga sopan sama suami. Emang kadang suami loe tuh nyebelin. Tapi biar gimana juga dia suami. Gue suka kesel kalo liat sikap loe ke suami ngomel-ngomel mulu ga sopan, biar pun emang dia yang nyebelin juga. Ya udah, sekarang coba bikin dia nyaman aja. Turutin semuanya. Bikinin minum, masak, sama jangan males mandi!"

Aku tersenyum kecut membacanya. Adikku hapal sekali tabiatku yang malas. Udara Bandung yang sejuk membuatku sering merasa tidak perlu mandi setiap hari, yang penting tetap wangi. Benar juga, mungkin aku mulai kurang memperhatikan penampilanku sehingga tidak semenarik dulu, terutama saat di rumah.

"Sha, loe kenapa?" Pesan masuk lainnya dari Amel, seorang teman yang lumayan dekat denganku saat kuliah dulu. Yang kutahu Amel adalah seorang terapis metode SEFT. Aku sendiri belum begitu memahaminya, tetapi mungkin dia bisa membantuku. Maka kepadanya juga kuulangi apa yang sudah kuceritakan kepada adikku. Termasuk bahwa aku tidak bisa berhenti menangis sejak dua hari yang lalu.

Dia mengajarkan teknik sederhana untuk menenangkan diri dengan istigfar sambil meletakkan tangan di dada, juga menekan beberapa titik di tubuh, dan mempersiapkan sebotol air untuk kudoakan dan balurkan ke tubuhku juga kuminum.

"Semua yang kita rasakan ini datangnya dari Allah, Sha. Ketika merasa ga sanggup lagi, kembalikan aja semuanya ke Allah. Kalau hati kamu sekarang terasa sakit, minta kembalikan kepada Allah untuk digantikan dengan hati yang tenang dan berbahagia."

Mas Fahim benar-benar keluar sampai tengah malam. Setelah menidurkan Ava, aku melaksanakan salat Isya di musola kecil kami. Kucoba untuk mempraktekkan apa yang Amel ajarkan walaupun masih tidak terlalu paham bagaimana teknisnya. Kulakukan selepas salat sambil terus berdoa. Mungkin ini yang disebut sugesti atau apa, setelah kuteguk air yang sudah ikut didoakan, aku sedikit merasa lebih tenang. Aku terus duduk berdoa di atas sajadah hingga entah berapa lama.

Jam dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Biasanya aku sudah akan menelpon Mas Fahim memintanya segera pulang. Sebelum Ava tidur tadi sudah kucoba untuk menghubunginya, tetapi sepertinya nomorku diblokir Mas Fahim. Biasanya kalau aku sedang mengamuk dan akan mencecarnya dengan menelepon terus-terusan dan mengomel sampai kelewatan, Mas Fahim memang sering memblokirku sementara. Kali ini entah akan sampai kapan.

Sayup kudengar suara motor matic mendekat. Buru-buru kusiapkan air hangat dan memoles bibirku tipis dengan lipstik. Kubuka pintu dan menyambutnya dengan senyum termanisku dan segelas air hangat.

"Kamu kenapa belum tidur?"

"Nungguin Mas pulang. Ini minumnya, Mas," jawabku sambil menyodorkan gelas yang kupegang.

"Ngapain ditungguin. Aku kan bawa kunci. Biasanya juga kamu tidur duluan." Dia minum beberapa teguk lalu mengembalikan gelasnya kepadaku, kemudian melepas jaket dan menuju kamar mandi.

Aku menantinya keluar dari kamar mandi untuk menanyakan sesuatu.

"Mas, kenapa nomerku diblokir?"

"Daripada nanti kamu riweuh kaya biasanya nelponin terus. Aku ketemuan beberapa orang hari ini. Mulai sekarang ga usah suka nelponin terus-terusan, tunggu aja aku yang kasih kabar."

"Iya, Mas."

"Ya udah tidur sana. Aku tidur di bawah kok."

Begitu saja kemudian dia meninggalkanku keluar dan merokok. Biasanya ada kecupan di kening dan bibirku. Ah, aku rindu dikecup oleh suamiku.

Memoar Episode Luka (Tamat)Where stories live. Discover now