He is gone

253 14 0
                                    

Jam sarapan telah berlalu, namun Abigail masih berharap bahwa Max akan datang. Karena semalam Max sudah memberitahunya bahwa hari ini ia akan kembali ke San Severo. Abigail tidak berkecil hati, Ia masih punya waktu hingga sore hari.

Walau sibuk melayani pelanggan yang datang dan pergi, tetap saja mata Abigail selalu mencuri pandang ke arah pintu masuk ataupun tempat duduk di sudut yang menjadi tempat favorit Max. Entah kenapa hari ini keinginannya begitu kuat untuk bertemu Max. Ia bahkan tak mengerti dengan pikirannya sendiri.

Namun tampaknya ia harus menelan kekecewaan karena, jam kerjanya hampir berakhir  tapi sosok yang ditunggu belum juga tampak batang hidungnya. Ada rasa cemas di hatinya, apakah sesuatu yang buruk terjadi? Tanyanya dalam hati.

Dengan agak kecewa Abigail menuju loker untuk mengganti seragamnya  dan mengambil tas.

Setelah mengucapkan kata pamit pada teman-temannya Abigail tergesa-gesa menuju jalan raya untuk menuju toko bunga. Tempat kerjanya yang kedua.

Dalam hati ia berharap semoga ia bisa bertemu Max di sana.

Setengah berlari ia tiba di perempatan . Pandangannya di arahkan ke parkiran toko tapi tak ada mobil atau pun motor yang parkir. Itu artinya  saat ini tak ada pengunjung di dalam toko.

Sambil mendesah kecewa ia menyeberang. Tiba di depan pintu, ia menarik napas berulang kali untuk menentramkan perasaannya. Bagaimanapun juga ia harus terlihat baik-baik saja saat bertemu Aron.

"Kau sudah tiba Abby? Bagaimana harimu? " sapa Aron dari balik meja kasir sesaat setelah Abigail mendorong pintu kaca dan masuk.

"Ya Aron. Sungguh semuanya seperti biasanya. Tak ada yang istimewa" Nada bicara Abigail terdengar berbeda di telinga Aron.

"Apa kau baik-baik saja Abby? " lanjut Aron.

"Tentu saja. Hanya sedikit kelelahan. Aku hanya perlu menyesuaikan diri lagi seperti semula" Abigail berlalu dan menghilang di balik pintu karyawan.

Ia tak ingin berlama-lama di depan Aron, atau pria tua itu akan curiga kepadanya. Ia terlihat seperti orang yang sedang patah hati.

Setelah mengganti bajunya dengan seragam toko bunga, Abby menghampiri Aron.

"Oh kau sudah siap rupanya. Semua yang harus kau kerjakan ada disini" kata Aron sambil mengulurkan sebuah daftar kecil yang berisi pesanan pengantaran pelanggan.

Abigail membacanya sekilas lalu berjalan menuju tumpukan rangkaian  bunga untuk menyelipkan kartu nama sesuai pesanan di daftar.

Setelah mengerjakannya ia memasukan semuanya ke dalam boks di motor dan pamit pada Aron.

Sepanjang perjalanan ia masih saja memikirkan keberadaan Max. Ia telah mencoba menghibur dirinya dengan pikiran-pikiran positif tapi tetap saja perasaan galau enggan pergi dari hatinya.

Bunyi klakson mobil mengagetkannya.
"Jangan melamun saat berkendara nona" teriak seorang pria dari balik kaca mobil.

Abigail hanya menunduk sebagai permintaan maaf. Ia mengumpat dalam hatinya.

Lihat saja pengaruh buruk dari pria itu. Untung saja ini bukan hari sial untukku..

Abigail memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Lagi pula Max bukan siapa-siapa untuknya jadi bagaimana bisa waktu dan tenaganya terkuras memikirkan kehadiran pria itu di hadapannya.

Tepat jam 7 malam, semua pekerjaannya selesai. Sambil melepas lelah, ia dan Aron menikmati teh chamomile hangat buatan Aron. Sungguh menenangkan.

"Kau terlihat seperti menyimpan sesuatu Abby" kata Aron.

"Ya Aron. Aku hanya memikirkan hidupku di masa depan. Semakin hari, aku tau aku bukanlah gadis remaja lagi. Aku harus memikirkan hidupku ke depan. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan" mata Abigail terlihat sendu. Ada kesedihan di sana.

"Aku mengerti Abby. Maafkan aku tidak bisa membantumu. Aku tahu sangat sulit menjadi dirimu di zaman ini. Aku hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak sekali saja padamu".

" Thank you Aron. Aku rasa aku harus pergi sekarang. Nanti aku terlambat naik bus"pamit Abigail pada Aron.

"Hati-hati di jalan Abby. Semoga kau selalu bahagia" teriak Aron sebelum Abby menutup pintu.

Hatinya terharu melihat gadis sebatang kara itu menyeberang ke sisi jalan. Ia tahu di balik sikap dewasa dan mandirinya sebenarnya ada kerapuhan. Abigail bukanlah tipe orang yang gampang berbagi cerita.

Ia selalu menjaga jarak dengan orang lain. Hampir di hadapan semua orang, ia akan menunjukan jika hidupnya baik-baik saja seperti orang kebanyakan.

Suasana malam di gang tampak sepi. Abigail mempercepat langkahnya. Tiba di rumah kecilnya ia segera membersihkan diri dan memakai piyama.

Ia membuka kulkas untuk mengambil kotak makanan untuk di hangatkan.

Setelah meletakan di meja makan ia mengaduk segelas susu hangat. Abigail selalu cermat mengurus dirinya. Ia mencoba sebisa mungkin agar tidak sakit. Karena jika itu terjadi ia akan tersiksa sendirian. Tak ada yang akan merawat dirinya.

Itulah sebabnya ia selalu menjaga kesehatannya dengan ketat. Terutama hal-hal penting yang berhubungan dengan jam makan, asupan nutrisi hingga kebersihan rumahnya.

Baru saja ia berniat untuk merebahkan dirinya ketika ponselnya berdering. Ia mencari-cari dan mengingat di mana ponselnya.

Lalu pandangannya tertuju pada cahaya yang keluar dari tasnya. Ia lupa belum mengeluarkan ponselnya saat tiba tadi.

Abigail melihat pada layar. Deretan angka tanpa nama tertera di sana. Dengan ragu-ragu ia menekan tombol hijau dan melekatkan ponsel ke telinga.

"Halo?" sapa Abigail pelan.

"Hai Abby... " jawab suara di seberang.

Abigail terdiam dan mencoba meyakinkan dirinya dengan suara itu. Tapi ia tak yakin. Dari mana Max bisa mendapatkan nomor ponselnya.

"Ini aku Abby. Maafkan aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Ada urusan mendadak yang membuatku pergi tadi malam. Kuharap aku tidak melakukan kesalahan" ucap Max panjang lebar.

Abigail terdiam mendengar setiap kalimat Max. Tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja.

Antara senang dan kecewa, ia bahkan tidak tahu. Seharian ini hatinya benar-benar porak poranda. Ia bahkan menduga-duga apa yang terjadi. Lalu sekarang apa yang ia harapkan ia dapatkan, namun ia juga tak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Apa kau mendengarku? Jawab aku Abigail"

"Ya Max"...

" Ada apa dengan suaramu? Apa sesuatu terjadi padamu?"

"Aku... Aku baik-baik saja Max".

" Syukurlah. Aku kira kau marah padaku. Abby.... "Max  menjeda ucapannya sebentar.
" Aku merindukanmu, entahlah tapi aku benar-benar rindu padamu".

"Terima kasih Max. Jaga dirimu" jawab Abigail singkat.

"Setelah urusanku selesai, aku akan kembali ke Helzinki".

" Ya Max".

"Baiklah. Selamat beristirahat. Tolong jaga hatimu untukku Abby".

" Ya Max".

Abigail mengakhiri sambungan teleponnya. Kini perasaannya lega. Ia heran pada dirinya sendiri. Tapi tanpa sadar ia menertawakan tingkahnya.

Terima kasih Max... Setidaknya aku tahu bahwa kau masih mengingatku.. Dan malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak...

*****

ABIGAIL (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang