Be Happy, Please!

27 6 6
                                    

Apa yang harus kita lakukan untuk memberikan peringatan pada orang lain bahwa mereka seharusnya tidak menaruh hati pada kita? Gambaran dicintai orang lain terkadang begitu menakutkan untuk beberapa orang. Begitu juga sebaliknya, dari mana tanda peringatan ketika kita tidak seharusnya menaruh hati pada orang lain?

Cinta biasanya tidak datang sendirian, ia membawa serta rasa kepemilikan, ketergantungan dan ketakutan akan kehilangan. Dan tidak semua orang sanggup merasakan perasaan bertubi-tubi sekaligus dalam satu waktu.

Winda menarik tirai putih yang menggantung di jendela kamarnya. Ia berjalan santai menuju balkon kamarnya. Melihat bagaimana matahari sedikit demi sedikit mulai naik. Benda bundar berwarna jingga itu masih menjadi fokusnya. Kebetulan saat ini ia sedang sendirian, sejak 3 hari yang lalu Gigi pulang ke rumahnya.

Sejak dua bulan setelah ia menikmati perjalanan mendaki ke Gunung Semeru, -ralat, camping di Ranu Kumbolo, Winda masih terus menerka-nerka apa yang ia lakukan hingga seseorang berkata dengan terus terang bahwa tertarik padanya.

Apa yang membuat orang itu tertarik? Apa yang orang itu harapkan dari seseorang seperti dirinya? Sekeras apapun ia mencoba memikirnya, Winda sendiri bahkan gagal menemukan jawabannya.

Chandra, ya laki-laki itu yang diam-diam selalu menghantui malam-malam Winda. Kalimatnya yang apa adanya dan terkesan terlalu jujur sedikit banyak membuat Winda tidak pernah bisa mengarungi alam mimpi dengan tenang.

"Aku tertarik sama kamu." ungkapnya kala itu, mungkin sebulan yang lalu saat Chandra kembali menginjakkan kakinya di Malang dengan alasan yang sangat apa adanya, merindukan Winda.

Bara adalah saksi sekaligus jembatan Chandra untuk mendapatkan persetujuan Winda. Apakah gadis itu mau menemuinya, atau tidak? Chandra tidak ingin kedatangannya yang tiba-tiba membuat gadis itu tidak nyaman. Dan, nasib mujur, Winda bersedia bertemu dengannya saat itu.

Winda diam di tempat, meskipun tatapan matanya menunjukkan gestur heran dan bertanya-tanya. Sedangkan diseberangnya, Chandra yang gugup menautkan sepuluh jarinya di atas meja.

"Maaf membuatmu mungkin nggak nyaman, tapi bahkan setiap hari, aku masih terus mikirin kamu. Gimana caranya bisa deket sama kamu tanpa membuat kamu risih." jelasnya.

Winda masih diam di posisinya. Ia bisa melihat ketulusan dan nada putus asa dari ucapan Chandra. Uap kopi di depannya mengepul, aromanya wangi tapi tidak sedikitpun menggugah selera Winda untuk menikmatinya. Ia bertanya-tanya, apa yang Chandra lihat darinya? Sedangkan laki-laki yang duduk di seberangnya ini terlihat begitu sempurna. Meskipun bukan orang yang memperhatikan sekelilingnya, ia cukup peka melihat penampilan laki-laki itu yang semua barangnya dari brand mahal sudah dipastikan ia kaya dan tentu saja, begitu tampan.

Itu adalah pertemuan mereka untuk pertama kalinya setelah mendaki saat itu. Dan ternyata ada pertemuan-pertemuan lain setelah itu. Chandra yang terkadang ikut ke UKM Sasmu dengan alasan ingin membicarakan tentang lirik lagu yang sedang digarapnya bersama Bara, atau pernah suatu ketika Chandra mengantarnya pulang karena rapat yang saat itu terlalu malam dan tidak ada teman yang bisa memberikannya tumpangan. Entah sejak kapan Chandra jadi lebih sering di Malang. Bagaimana dengan kuliahnya? Entahlah, hanya Chandra dan dosennya yang tau.

Lamunannya harus terjeda ketika mendengar ketukan pintu. Winda membukanya dan menemukan sahabatnya, Ital tengah tersenyum sambil menunjukkan beberapa kantong plastik di tangan kanannya. Winda mundur beberapa langkah agar Ital dapat masuk kemudian menutup pintunya kembali.

"Kita sarapan bareng, aku ada kuliah pagi dan kebetulan pengen banget sarapan sama kamu." kata Ital ketika melihat raut keheranan pada wajah Winda.

Dua porsi bubur ayam sudah tersaji di atas meja, kemudian Winda membuat teh hangat sebagai pelengkap sarapan mereka pagi ini. Sebenarnya ini cenderung terlalu pagi untuk Winda sarapan, ia biasanya menikmati brunch selepas kuliah.

"Winda.." panggil Ital ketika Winda sedang memisahkan bawang goreng dari atas buburnya yang belum tersentuh sama sekali. Ia tidak bisa memakan bawang goreng di menu makanan apapun. Bubur ayam, soto atau apapun itu.

"Iya?" sahut Winda masih fokus dengan acara memisahkan bawang gorengnya.

"Kamu boleh cerita tau kalau lagi ada yang dipikirin. Pasti nggak enak kan nyimpen apa-apa sendiri?" Balas Ital. Gadis berambut panjang itu tau tentang kegelisahan Winda, karena sedikit banyak Bara pernah menceritakan tentang Chandra dan Winda kepada Ital. Namun, ia memang tidak berniat mencari tau lebih jauh apabila sahabatnya itu tidak ingin menceritakannya sendiri.

Gerakan Winda terhenti, ia menatap sahabatnya itu dengan pandangan gelisah. Antara iya dan tidak. Winda bukan orang yang terbuka, ia tidak biasa menceritakan masalah maupun keresahannya dengan orang lain, bahkan ibunya sekalipun. Sedari kecil ia hanya menumpuk beban-beban itu, berusaha mengenyahkannya, melalui hari-harinya seolah tidak pernah merasakan kesedihan dan kesakitan apapun.

Ia memeluk segala kesakitan itu sendirian. Ia tidak terbiasa membaginya dengan orang lain, sekeras apapun ia mencoba. Hal itu lah yang membuat Winda seperti memiliki dunianya sendiri, tertutup, asing dan memiliki batasan-batasan dengan orang lain.

"Oke, nggak harus sekarang. Aku siap dengerin kapanpun kamu siap cerita. Yang harus kamu tau Win, kamu nggak sendirian. Setiap kamu butuh teman mendengar, teman berbagi atau butuh pertimbangan, aku selalu siap. Ada Gigi juga kan?"

"Cerita sama orang lain nggak membuat kamu terlihat rapuh. Setidaknya itu menurut aku." Tandas Ital. Ia bisa melihat raut ragu pada wajah Winda, dan ia mencoba memahaminya. Mungkin memang benar, tidak semua orang bisa terbuka dengan oranglain, bahkan yang sudah dekat sekalipun.

Selepas Ital pergi ke kampus, suasana kembali hening, pikirannya melayang pada kejadian  ketika Winda berusia 7 tahun, ayahnya membuatkan rumah pohon di sebelah rumahnya. Rumah itu berada di atas pohon mahoni yang dibuat dari papan-papan bekas, kemudian alasnya hanya dari tikar dan beberapa ranting sebagai jendela.

Masa-masa ketika menikmati makan malam bersama, atau akhir pekan yang mereka habiskan dengan berkebun dan membereskan rumah. Sesekali akan ada agenda jalan-jalan ke alun-alun simpang 5 hanya untuk membeli beberapa jajanan kaki lima. Bayangan indah tentang masa kecil itu yang membuat Winda sulit menerima kenyataan bahwa hidupnya sudah berubah sejak ayahnya memilih wanita lain dan meninggalkan ibunya. Hal itu membuatnya tidak pernah bergerak maju dan ketakutan itu membekas entah kapan hilangnya.

Winda pernah merasakan bahagianya memiliki keluarga utuh, diantar jemput ayah ketika berangkat sekolah, merasakan nikmatnya masakan ibu yang tidak ada tandingannya. Tapi karena selalu tinggal di masa lalu, ia hampir lupa tentang menata masa depan. Ia tidak percaya dengan cinta, begitu ia selalu mengatakannya.

Sedangkan di sisi lain, Chandra hidup dengan penuh kasih sayang orang tua, keluarganya harmonis, ia hidup bergelimang harta. Winda merasa rendah diri, ia takut Chandra hanya penasaran dengannya, ia takut nanti pada saat hatinya mulai menerima, Chandra akan pergi meninggalkannya sama seperti ayahnya dulu.

Namun segigih apapun Winda mencoba mengenyahkan bayang-bayang Chandra, tetap saja lelaki itu jauh lebih bertekad untuk mendekatinya. Beberapa saat yang lalu si jangkung itu bahkan memberikan oleh-oleh dari Sumbawa khusus untuknya. Chandra hanya menitipkannya kepada Bara. Karena ia tidak ingin menemui Winda apabila Winda tidak menghendakinya.

"Buat lo katanya, Win. Orangnya baru aja cabut dari sini." Ucap Bara sore itu ketika Winda baru saja sampai di pintu masuk UKM Sasmu. Tanpa disebut pun, Winda sudah tau bahwa yang dimaksud Bara adalah Chandra.

Siapa lagi selain Chandra yang saat ini terang-terangan mendekatinya. Bahkan kebanyakan teman laki-lakinya menganggapnya aneh, kutu buku dan sebutan-sebutan yang sebenarnya tidak bisa dibilang benar, meskipun juga tidak sepenuhnya salah.

Namun Chandra melihatnya dengan berbeda. Winda bahkan sadar sejak pertemuan pertama ketika mereka mendaki Semeru dengan yang lain, Chandra beberapa kali terlihat memperhatikannya, mencuri pandang atau mengajaknya turut dalam obrolan. Berbeda dengan teman-temannya yang lain.

Kata orang, langkah pertama untuk melangkah maju adalah dengan menerima dan memaafkan apa yang terjadi di masa lalu. Ketika hati kita sudah dengan lapang menerima segala kesedihan itu, semuanya akan terasa lebih ringan. Hanya saja, tidak semua orang semudah itu untuk dapat menerima apa yang sudah digariskan tuhan untuknya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GREYWhere stories live. Discover now