Prolog Seoul Love Story

889 77 57
                                    

Prolog

*.*.*.*.*.*.*.*.*.*

Aku terbangun dengan kepala pening yang terasa sedikit sakit, juga dadaku yang panas. Ruangan dan benda-benda di sekitarku terasa berputar, hilang gravitasinya.

Kembali aku membuka mata setelah memejamkan rapat-rapat hingga hidungku mengerut. Ah, ini lebih baik. Barulah sesudah itu aku pun sadar tempat ini bukan kamarku atau kamar kakek nenek.

Kamar kami tidak memiliki poster The Beatles. Lalu rumah kakek nenek tidak berwarna hitam dan abu-abu, juga aroma parfum yang bercampur dengan keringat yang sangat berbeda denganku atau mereka. Intinya ini bukan tempat kami!

Lalu ....

Samar-samar bayangan pergulatan tadi malam bersama Pradipta memenuhi kepalaku. Sontak aku menurunkan padangan dan mendapati pakaianku yang berubah total menjadi kaos kedodoran tanpa celana pendek, hanya ... Ya Tuhan apa yang kami lakukan?

Suara-suara desahan, erangan dan sentuhan yang aku dengar dan rasakan beberapa jam lalu memenuhi otakku dengan jelas, aku mengingatnya. Memejamkan mata, aku menekan pangkal hidung yang berdenyut hingga ke kening.

Aku harus keluar dari sini! Segera. Tanpa merapihkan lagi rambut yang acak-acakan dan pakaian yang tidak terbentuk lagi aku berjalan ke arah pintu dengan tergesa-gesa.

Ceklek! Pintu rumah Pradipta tiba-tiba terbuka. Pria itu berdiri di depanku dengan dua kotak susu, sandwich, dan ramyeon.

"Sakura, saya belikan ini." Pradipta tersenyum kecil ke arahku.

Melihatnya berdiri tanpa setitik rasa bersalah membuat mataku memanas dan segala macam amarah bertumpuk di kepalaku. Ini semua salahnya! Sialan! Perlahan aku mengepalkan erat kedua tanganku, menahan sebentar segala bentuk emosi, namun aku rasa pria itu benar-benar harus diberi pelajaran.

Dengan napas tertahan, dan air mata yang mengalir membasahi pipi, aku berjalan satu langkah ke depannya dan melayangkan satu tamparan keras hingga meninggalkan bekas merah di pipinya yang pucat.

"Ka ... Kamu kurang ajar! Tega, ya!" bentakku lalu mendorong tubuh Pradipta yang terkejut sekuat tenaga dengan kasar hingga ia terhuyung satu langkah.

Aku berlari keluar rumah pria itu dan detik berikutnya langkahku tertahan. Betapa terkejutnya aku ketika nenek dan kakek berada di depan pintu rumah hendak membuka pintu. Mereka pun menoleh ke arahku dengan kening mengernyit heran.

Kami saling bertukar pandang beberapa detik sebelum aku menundukkan kepala dengan mata yang memanas kembali. Aku sama sekali tidak bisa menatap mereka lebih lama lagi. Rasa sakit hati, jijik, tidak layak, kecil, buruk, najis, semuanya mengisi kepalaku saat ini. Aku kotor, aku buruk karena tidak bisa menjaga kepercayaan mereka. Aku tidak layak lagi disebut cucu mereka. Aku memundurkan satu langkah, hendak berlari pergi dari sana.

Pintu rumah Pradipta terbuka, aku menoleh kepadanya. Bekas merah di pipi pria itu masih terlihat jelas. Biarkan! Aku kecewa dan marah padanya! Pradipta jahat dan bejat!

"Ada apa ini? Kenapa kamu keluar dari kamar Pradipta?" tanya Nenek kebingungan, dari balik kacamatanya aku tebak mata nenek tengah meneliti kami. "Itu pakaian kamu?"

Saat ini tengah turun salju dan aku sama sekali tidak merasa dingin melainkan panas oleh emosi, amarah, kekesalan, kekecewaan, dan hal lainnya yang benar-benar membuatku down-tidak bisa aku deskripsikan.

"Masuk dulu, di luar dingin." Kakek menepuk pundakku pelan. Aku tahu kakek sedang menahan banyak pertanyaan dan kekecewaan.

"Kamu juga ikut saya!" Kali ini padangan kakek berubah datar ketika berbicara Pradipta.

*.*.*.*.*

"Kalian berdua harus kami nikahkan secepat mungkin! Nenek sudah bicarakan ini sama mama dan ayahmu, Sakura." Aku tertunduk lesuh.

Harapanku, mimpi yang diam-diam aku pupuk setelah aku siram dengan banyak doa kini layu, mati diterpa dalam satu malam! Aku menyesal. Terlebih aku sangat membencinya! Pradipta. Dia ... Jika ia sadar kenapa harus melakukan hal itu?!

Jika aku hamil, bagaimana dengan mimpiku menjadi penyanyi? Aku bukan egois, tentu memiliki anak adalah hal yang baik dan sangat membahagiakan dengan syarat didapatkan di waktu yang tepat, dan sekarang sama sekali bukan waktu yang pas. Masih jauh.

"Ta ... Tapi Nek?" Bahuku merosot dengan hembusan napas kasar.

"Nggak ada tapi-tapian! Bagaimana jika kamu hamil?"

Next Chapter!

Seoul Love Story ✓Where stories live. Discover now