6

189 26 3
                                    

🍊

"Aku mau pulang," ujar Nami.

Ia memperhatikan 'tunangan' atau entah Jihoon bisa disebut apa, yang pasti laki-laki itu berjam-jam rebahan di tengah ilalang sambil menunggu Nami selesai memotret.

Ia memperhatikan 'tunangan' atau entah Jihoon bisa disebut apa, yang pasti laki-laki itu berjam-jam rebahan di tengah ilalang sambil menunggu Nami selesai memotret

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamera itu untukmu saja," kata Jihoon sambil membersihkan bajunya.

"Aku tidak mau terima, kau sudah memberiku banyak kemewahan."

Nami pergi mendahuluinya. Ia sedikit tidak suka dengan laki-laki yang seenaknya memberi ini itu. Tidak mengertikah dia bahwa Nami sangat berhutang Budi padanya?

"Atau kau mau kamera yang lain?" tawar Jihoon, ia menunduk mengikuti langkah dan tinggi Nami.

"Sunbae.." gadis itu mendelik tidak suka. Menyadari hal itu, Jihoon tidak mau lagi menggodanya.

Selama di perjalanan menuju rumah, Jihoon benar-benar tidak mengajak Nami berbicara karena tatapan gadis itu terpantul dari kaca mobil, tatapan yang bikin Jihoon enggan melirik dua kali.

Dua jam Jihoon memfokuskan pandangannya ke jalan yang cukup sepi, mereka selalu memilih spot yang jauh untuk refreshing. Detik-detik terakhir lampu merah menyala, Nami mencengkeram tangan Jihoon bersamaan dengan kaki laki-laki itu menginjak rem.

"Ada apa?" tanyanya terkejut.

"Semua tagihan itu kau yang membayarnya?"

Jihoon menelan ludah, "dengan kau berpindah rumah saja mereka bisa mendatangimu, aku bisa saja tidak tahu mereka tiap malam mengganggumu kalau tetangga sekitar tidak melapor padaku karena kebisingan."

Nami tersenyum miring, "setelah banyak merepotkanmu kau masih saja baik padaku?"

Laki-laki itu mengerutkan dahinya, bingung, bukan bingung dengan ucapan Nami, tapi bingung menyusun kata agar gadis itu tidak tersinggung.

"Aku tidak memaksa kau menikah denganku tapi.." Jihoon berhenti, dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

Nami menggeleng pelan, "memang tidak seharusnya aku bertemu denganmu, sunbae."

Lampu hijau menyala, percakapan itu langsung terhenti. Hanya terdengar isak kecil dari gadis Song itu. Lantas Jihoon menelan tombol pada tip dan sebuah lagu terputar. Sekedar instrumen, namun cukup menyedihkan meski tanpa lirik.

Tak lama hujan mengguyur ketika mobil mereka memasuki kota. Lagi-lagi Nami tidak menangis karena matahari terbenam, ia menangis karena Jihoon terlalu baik untuknya di saat dia terlalu jahat menerima takdirnya.

"Buka hatimu untuk orang yang sungguh sungguh ingin singgah, meski berat setidaknya kau tidak sendiri." Itu kata terakhir yang Nami dengar sebelum ia memutuskan untuk memejamkan mata.


.



.


.


.



ORANGE | Park Jihoon [TREASURE]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang